Opini
Opini: Pertanian Konservasi Oleh-Oleh Bagi Pemimpin di NTT
Hal ini berarti semua negara berkewajiban untuk menjaga dan mengelola sumber daya air secara bertanggung jawab dan berkelanjutan. Mengapa?
Oleh Leta Rafael Levis
Dosen Fakultas Pertanian Undana dan Penulis Buku Pertanian Konservasi
POS-KUPANG.COM - Di dalam dokumen Sustainable Development Goals salah satu poin penting adalah upaya menjaga dan meningkatkan akses air bersih dan sanitasi layak.
Hal ini berarti semua negara berkewajiban untuk menjaga dan mengelola sumber daya air secara bertanggung jawab dan berkelanjutan. Mengapa?
Air dibutuhkan oleh semua makluk hidup, manusia, ternak, hewan, tanaman, tumbuhan, tanah serta mikroorganisme lainnya. Ada indikasi kuat akibat pemanasan global, banyak sumber air yang mengering dan mengecil debitnya yang menyebabkan terganggunya suplai air untuk kebututuhan makhluk hidup.
Dalam kaitannya dengan kebutuhan pertanian dalam arti luas, berkurangnya debit air pada sumber air khususnya untuk irigasi menyebabkan produksi beras terus menurun. Oleh karena itu, forum seperti ini amat penting dilakukan.
Dalam tulisan ini, penulis tidak memotret kebutuhan air untuk manusia serta lainnya seperti yang dibahas dalam WWF tetapi hanya fokus pada kebutuhan air untuk sektor pertanian dalam arti luas secara khusus lagi pada sector pertanian lahan kering. Secara potensial luas lahan kering di NTT lebih dari 1,5 juta hektar dan hanya sekitar 49 persen yang dimanfaatkan.
Salah satu kendala pemanfaatan lahan tersebut adalah kekurangan air. Perlu diketahui bahwa pertanian di lahan kering juga tetap membutuhkan air walaupun tidak sebanyak kebutuhan air untuk daerah irigasi sebab 2 faktor alam penentu pertumbuhan tanaman yakni air dan lahan.
FAO atau Food and Agricutural Organization milik PBB telah lama mengingatkan negara-nagara di dunia untuk mengantisipasi dampak pemanasan global yang menguras air karena meningkatnya evaporasi yakni terjadi penguapan air dari permukaan bumi ke atmosfir yang berakibat suhu permukaan bumi semakin panas yang mengganggu kehidupan manusia dan pertanian.
Oleh karena itu, sejak tahun 2014 FAO mengembangkan sistem pertanian konservasi yakni suatu teknik pertanian yang memanfaatkan sumber daya pertanian secara arif- tidak hanya mengambil hasilnya saja tetapi juga berupaya memelihara, menjaga melestarikan sumber daya pertanian - untuk menjaga kestabilan dan keberlanjutan produktifitas pertanian secara
berkesinambungan melalui ‘saving’ air dan tanah untuk memenuhi kebutuhan tanaman.
Tujuan dari penerapan sistem ini adalah untuk meningkatkan ketersediaan bahan organik dalam tanah; menjaga kelembaban tanah, meningkatkan produksi tanaman, mengurangi penggunaan zat kimiawi., menekan biaya serta mengatasi kelangkaan tenaga kerja dalam hal mengolah lahan, penyiangan, pemupukan, pengendalian hama dan penyakit.
Untuk mencapai tujuan di atas maka sistem ini menerapkan tiga prinsip utama yakni prinsip tanpa olah lahan, olah tanah seadanya dan penggalian lubang permanen, prinsip penutup tanah melalui penggunaan mulsa dan tanaman penutup tanah dan prinsip tumpang sari dan rotasi tanaman.
Jadi, tidak mencangkul, tidak membalik, tidak membajak tanah; menggunakan mulsa atau tanaman penutup tanah; cegah erosi dengan penanaman searah kontur, teras gulud, terasering, dan sebagainya; pertahankan sisa tanaman di lahan tidak dibuang atau dibakar, jangan dibawa ke luar lahan; jangan gembalakan ternak di lahan; biarkan sisa tanaman di lahan; memanfaatkan kotoran ternak dan dedaunan sebagai
kompos dan pupuk kendang.
Keandalan sistem ini tidak hanya menurut FAO atau secara teori tetapi telah dilakukan kaji tindak oleh Badan Penelitian Sumber Daya Lahan Kementrian Pertanian (2018) terhadap praktek pertanian konservasi yang dilakukan petani di sejumlah daerah khususnya di NTB dan NTT. Mereka membuktikan bahwa dengan menerapkan prinsip pertanian konservasi akan terjadi perubahan positif yakni:
1) peningkatan mikro oragnisme tanah dan nitrogen; 2) PH tanah meningkat; 3) terjadi penggemburan tanah; 4) meningkatkan kadar air dan retensi air dalam tanah; 5) kadar air tanah lebih tinggi.
Selanjutnya dari aspek sosial ekonomi, (Ngongo, dkk, 2018) menyebutkan bahwa di daerah Lombok, Sumba dan Timor, menunjukkan sistem ini mampu meningkatkan produktifitas sebesar 80 persen di Sumba dan 88 persen di Timor, serta mampu meningkatkan income petani di Timor dan Sumba masing-masing sebasar 77 persen dan 53 persen.
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.