Timor Leste
Timor Leste: Kisah Penembakan yang Dialami Wartawan Kompas Kornelis Kewa Ama di Dili 1999
Kemerdekaan Timor Leste resminya diproklamirkan pada 20 Mei 2002. Tetapi proses menuju kemerdekaan berawal pada tahun 1999.
Ia pun membuang kayu itu ke arah sungai. Kemudian dengan jujur saya mengakui identitas saya, sebagai wartawan Kompas, sambil menunjukkan kartu pers yang digantung dengan tulisan huruf besar di dada.
Beberapa pemuda prokemerdekaan lain dengan parang dan busur di tangan menghampiri saya dan pemuda itu berdiri. Mereka kembali menginterogasi saya, memeriksa isi tas, rekaman kamera, blok note bertuliskan Kompas, pena, dan tape recorder kecil. Mereka lantas memperdengarkan rekaman suara.
”Ini suara siapa?” tanya mereka.
”Bapak Taur Matan Ruak,” jawabku singkat. Padahal, itu suara Antonio da Costa, tokoh prokemerdekaan dari Viqueque yang direkam beberapa hari sebelumnya.
Mereka diam. Mereka juga belum kenal suara Taur Matan Ruak. Suara para pemuda melembut.
Tiba-tiba seorang bapak yang mengenakan sarung datang menghampiri. Ia prokemerdekaan juga. Dengan senter di tangan, ia menyinari wajah saya. Melihat darah yang sedang mengalir di beberapa titik kepala dan wajah, ia pun menenangkan anak-anak muda itu. Baju kameja lengan panjang, warna krem yang saya kenakan, bercampur darah.
Anak-anak muda itu pun mengajak saya pergi ke kamp Taur Matan Ruak malam itu. Kamp Taur Matan Ruak ada di Gunung Mata Bian, sekitar 150 kilometer lebih dari Dili. Saya menolak ajakan itu dengan alasan sudah membuat janji untuk bertemu pekan depan.
Jumlah kerumunan anak muda makin banyak. Mereka mengajak saya ke sebuah rumah gubuk, milik seorang nenek di bukit Kamea, dekat Dili. Setelah menelusuri jalan setapak di pinggiran Desa Becora, tibalah kami di rumah sang nenek.
Diobati
Nenek itu pun keluar dari dalam gubuk. Dengan sebatang obor bambu yang menyala, ia mengamati luka-luka tersebut.
Ia kembali masuk ke gubuk, lantas membawa satu sendok makan berisikan minyak kelapa, yang sudah dipanaskan di bara api. Tangan kirinya memegang kapas. Ia mencelupkan kapas itu ke dalam minyak. Kapas berminyak panas itu digosokkan pada luka-luka yang kelihatan jelas. Saya merasakan perih di luka itu. Ia meyakinkan saya, luka itu segera sembuh.
Saya pun diminta duduk sebentar di dalam gubuk itu bersama beberapa pemuda. Mereka yang lain duduk di luar gubuk. Sang nenek khawatir, kelompok milisi pro-Jakarta menyusul.
Saya pun bercerita, dalam bahasa Tetun, ”Sebelum jadi koresponden Kompas, saya pernah bertugas di Paroki Darabai, Kecamatan Uatulari, Viqueque. Membantu pastor paroki P Andreas Hane SVD.”
Mendengar cerita itu, mereka mengangguk dan semakin bersahabat. Salah satu di antara para pemuda itu kembali mengajak saya bertemu Taur Matan Ruak. Saya menolak lagi dengan alasan sudah membuat janji bertemu beliau.
Dada saya yang tertumbuk peluru kencang terasa agak sakit. Saya meraba di bagian dada itu. Ternyata tidak ada luka atau darah. Nenek itu pun coba mengurut bagian dada tersebut dengan minyak kelapa panas miliknya.
Hari makin gelap. Salah seorang bapak di rumah itu menyampaikan, waktu sudah menunjukkan pukul 20.30 Wita. Dari bukit Kamea, masih terdengar rentetan senjata api di beberapa titik di Kota Dili, tetapi suasana di sekitar Sungai Kuluhan sudah aman.
Saya memaksakan diri untuk pulang ke rumah. Mereka menanyakan alamat rumah. Setelah mengetahui alamat rumah saya di Kintal Bot, dekat pekuburan Seroja, mereka makin yakin. Di situ tinggal kelompok prokemerdekaan. Para penghuni kampung itu adalah warga Darabai, Uatulari, Viqueque. Sebagian dari mereka adalah anak murid saya, saat mengajar di SMPN Uatulari, 1989-1991.
Mereka menawarkan diri mengantar saya ke rumah. Namun, salah satu dari para pemuda itu mengusulkan agar saya langsung dibawa ke RSUD Dili, berlokasi di Kuluhun, Becora. Saya setuju.
Namun, saya hanya diantar sampai di pintu gerbang masuk rumah sakit. Mereka takut terhadap TNI/Polri yang berjaga di rumah sakit itu. Saya pun menuju ruang instalasi gawat darurat (IGD) sambil memperkenalkan diri.
Dikabarkan ditembak dan diculik
Aparat keamanan yang berjaga pun merasa lega. Lalu mereka saling kontak melalui radio, handy talky, mengabarkan bahwa saya selamat. Sebelumnya, sejumlah media televisi, seperti RCTI dan SCTV, menyiarkan saya ditembak dan diculik.
Beberapa dari aparat keamanan mengantar saya ke ruangan IGD. Salah satu petugas kesehatan langsung melapor ke dokter jaga malam itu, dokter Anang. Jarum jam di rumah sakit itu menunjukkan pukul 22.00 Wita. Dokter jaga itu menanyakan nama, alamat, status, dan pekerjaan saya.
Ia pun langsung menyebutkan, ”Nama Bapak sudah menyebar di sejumlah televisi nasional, Jakarta. Berita itu menyebutkan, Bapak diculik kelompok prokemerdekaan, dibawa ke hutan. Itu yang kami pantau.”
Sambil mengobati luka-lukaku, ia mengambil gagang telepon rumah sakit. Ia berbicara dengan seseorang. Suara orang itu perempuan. Suara penerima telepon makin jelas terdengar. Di balik gagang telepon saya mendengar perempuan itu menangis. Sang dokter pun berupaya menenangkan suara yang sedang menangis itu.
Ternyata dokter Anang menelepon istri saya, drg Maria Goreti Sumiyati. Ia sedang di rumah dengan hati gundah. Kebetulan kami tinggal di rumah dinas dokter, di Kintal Bot, Dili Utara. Dokter pria itu mengaku pernah tinggal di rumah dinas itu sehingga masih hafal nomor telepon rumah.
”Sudah Dok. Jangan menangis lagi. Saya sedang tangani suami dokter. Saya sedang obati luka-lukanya di sini. Tidak ada luka parah atau serius. Hanya ada luka-luka kecil saja. Tenang. Aman saja,” kata dokter itu sambil menutup gagang telepon.
Mendengar suara istri yangmenangis di balik gagang telepon, air mataku berlinang. Saya sedih, sekaligus bersyukur, masih diberi kesempatan Tuhan untuk hidup. Dokter itu coba menenangkan saya. Suasana batin terasa bercampur baur. Sedih, jengkel, kecewa, dan bersyukur.
Saya diberi teh hangat dan tiga kue cucun oleh perawat. Sambil menceritakan kejadian yang saya alami, mendadak masuk seseorang berpakaian loreng, menyusulKepala Biro Antara Dili, Jonar Siahaan (alm), di belakangnya.
Anggota TNI itu dengan sikap tegas dan terburu-buru bertanya kepada dokter jaga malam itu. ”Apakah korban sudah diobati, Dok?”
Dokter pun menjawab, ”Sudah, Pak. Tidak ada luka serius. Untung ada rompi. Lebih dari itu, Tuhan masih menjaga wartawan kita,” katanya.
Saya menatap Jonar Siahaan. Ia tampak begitu sedih. Matanya sempat berlinang, lalu memeluk saya. Kami beradu pandang, lalu berpelukan. Sedih dan pilu terasa.
Jonar sejatinya orangnya sangat lucu dan humor setiap bertemu saya. Kami sering liputan bareng dengan mobil miliknya ke sejumlah kabupaten di Timtim. Kali ini ia tampak beda. Ia pun mengajak kami segera meninggalkan rumah sakit.
Saya berpamitan dengan dokter jaga. Di luar ruangan itu ada tiga anggota Kopassus dengan senjata laras panjang berjaga. Mereka menjemput saya. Mobil operasional milik Kantor Berita Antara parkir di depan rumah sakit. Kami masuk ke dalam mobil.
Jonar Siahaan menyetir mobil dengan kecepatan tinggi. Di sampingnya duduk anggota TNI yang masuk ke ruangan IGD. Saya duduk di belakang Jonar, diapiti dua anggota Kopassus, lengkap dengan senjata. Moncong senjata mengarah ke luar kaca mobil yang setengah terbuka. Satu anggota Kopassus lain tiarap di bagian mobil paling belakang, sambil mengarahkan moncong senjata ke luar.
Kami bergerak menuju perumahan dokter di Kintal Bot, berjarak sekitar 3 kilometer dari rumah sakit. Tiba di rumah saya, sekitar pukul 23.30 Wita, istri sudah menunggu di depan pintu. Rupanya dokter dari rumah sakit telah menghubunginya.
Saat itu istri sebagai dokter PTT, menjabat Kepala Puskesmas Becora karena dokter kepala puskesmas tersandera korupsi. Istri menangis, memeluk saya. Sontak ia berkata, ”Tidak usah kerja begini lagi.”
Dievakuasi ke Jawa
Jonar dan anggota TNI pun pamit pulang. Saya dan istri pun makan malam. Pukul 24.30 Wita sebuah mobil berhenti di depan rumah. Pintu rumah diketuk sambil ada yang berbicara dari luar, ”Permisi, saya Kapten Agus, Kapenrem.”
Istri saya ketakutan, tetapi saya mengenal suara itu, lalu meyakinkan dia.Saya pun membuka pintu. Ternyata benar, Kapenrem Dili Kapten Agus. Ia berbicara singkat.
”Saya diperintahkan Danrem agar menghubungi Pak Wartawan dan Ibu Dokter agar besok, 29 Agustus, dievakuasi bersama 75 anggota TNI/Polri yang terluka ke Madiun. Ini perintah, wajib dijalankan,” katanya tegas.
Kami tidak bisa menolak perintah itu. Malam itu juga saya dan istri menyiapkan satu tas berisikan pakaian secukupnya untuk evakuasi.Saya berpikir, setelah itu bakal pulang lagi ke Dili untuk bertugas.
Kami menuju Bandara Komoro, Dili. Di situ, puluhan anggota TNI/Polri sudah menunggu. Pesawat Hercules pun sedang parkir menunggu penumpang lain.
Saat itu pula saya dihubungi wartawan Kompas, Mas TRA, melalui ponsel Nokia, ponsel keluaran pertama dengan antena di ujung. TRA bersama Rien Kuntari dan Eddy Hasby masih berada di Perumahan Delta Komoro, Dili, menjalankan tugas liputan.
Ia menanyakan kondisi saya, dan mau memastikan, apakah benar saya dievakuasi ke Jawa bersama istri. Kami berbicara sebentar, lalu berpamitan.
Hercules sudah parkir di Lanud Bandara Komoro. Saya menyaksikan puluhan anggota TNI/Polri dalam kondisi terluka sedang dudukdi aspal, sekitar pesawat parkir. Mereka pun dievakuasi. Duduk di dalam Hercules tidak seperti duduk di pesawat komersial. Terpenting, bagi saya saat itu, bisa tiba dengan selamat.
Herculesmendarat di Lanud Surabaya menurunkan anggota TNI/Polri di wilayah itu. Perjalanan berikutnya ke Madiun, saya dan istri turun di situ, kemudian menuju Semarang dengan mobil.
Selanjutnya, saya menjalani perawatan di RS St Elisabeth, Semarang. Sepulang dari rumah sakit, saya tinggal di rumah mertua di Semarang. Saat itu saya mendapat kunjungan dari perwakilan Kompas Semarang, Sudirman Toha Lalu (alm), dan Sonya Helen Sinombor. Saat itu pula saya diberi buket bunga, kiriman dari artis Cornelia Agatha, yang peduli terhadap peristiwa yang saya alami itu.
Selasa, 31 Agustus 1999, semua saluran televisi dan surat kabar mengabarkan bahwa Dili sudah porak poranda akibat peperangan. Seluruh wilayah Timtim hancur dibakar. Indonesia kalah telak dalam penentuan pendapat.Semua WNI sudah mengungsi balik ke Timor Barat dan sebagian lagi ke Jawa, Sulawesi, dan Bali.
Tentu saya tidak lagi kembali ke Dili. Enam bulan bertugas di Jawa Tengah, saya kemudian mengikuti pelatihan pengangkatan menjadi karyawan tetap. Jumat, 31 Desember 1999, saya pindah tugas di Jayapura, Papua, menggantikan wartawan Kompas, Okto Mote, yang melarikan diri ke luar negeri karena diduga terlibat gerakan Papua merdeka.
Juli 2006, saya dipindahtugaskan di Kupang, Nusa Tenggara Timur. Pada Agustus 2007, saya ke Dili untuk meliput pemberontakan Mayor Alfredo yang ingin kembali bergabung dengan Indonesia. Alfredo saat itu tewas ditembak.
Kesempatan liputan ke Dili itu juga saya gunakan untuk berkunjung ke rumah dinas dokter yang kami tempati dulu. Saya melihat semua rumah peninggalan warga Indonesia dalam kondisi masih baik. Rumah-rumah itu telah ditempati penduduk asli.
”Kalau warga Indonesia ingin kembali menempati rumah ini, kami segera keluar,” kata Marques de Araudjo, warga Colmera, Dili.
(kompas.id)
Ikuti berita POS-KUPANG.COM di GOOGLE NEWS
Timor Leste
pembankment di Dili
kornelis kewa ama
wartawan kompas
Timor Timur
Pos Kupang Hari Ini
POS-KUPANG.COM
Sekretariat ASEAN Komitmen Dukung Perjalanan Transformatif Timor Leste |
![]() |
---|
Presiden Timor Leste Sampaikan Pidato Kebijakan di Sekretariat ASEAN |
![]() |
---|
Presiden Timor Leste Beri Kuliah Umum di UGM Yogyakarta |
![]() |
---|
730 Personel Gabungan Amankan Kunjungan Presiden Timor Leste di Yogyakarta |
![]() |
---|
Timor Leste Anugerahkan Medal of the Order kepada Prof Ikhfan Haris |
![]() |
---|
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.