Timor Leste

Timor Leste: Kisah Penembakan yang Dialami Wartawan Kompas Kornelis Kewa Ama di Dili 1999

Kemerdekaan Timor Leste resminya diproklamirkan pada 20 Mei 2002. Tetapi proses menuju kemerdekaan berawal pada tahun 1999.

Editor: Agustinus Sape
DOKUMEN SUSANA CARDOSO
Wartawan Kompas Kornelis Kewa Ama (kedua dari kiri, berkumis), bersama beberapa wartawan lokal Dili, sedang mewawancarai utusan khusus PBB yang datang ke Dili, Mei 1999, menjelang penentuan pendapat Timor Timur, 30 Agustus 1999. 

Saat terjatuh di tanah, saya melirik ke arah barat. Berjarak sekitar 10 meter, seorang perempuan wartawan warga negara asing, dengan ikat kepala kain merah titik-titik putih, ikut terjatuh. Mengenakan baju kaus putih, celana jeans. Ia mendadak rebah. Rupanyatertembak. Entah selamat atau tidak. Belakangan saya mendengar informasi bahwa perempuan wartawan itu bernama Beatrix berkebangsaan Inggris.

anggota kopassus tertembak-09
Seorang anggota Kopassus, saat itu berpangkat prajurit dua, memperlihatkan luka-luka akibat penganiayaan oleh kelompok Fretelin di Suai, Timor Timur, Agustus 1998. Dia adalah satu-satunya anggota Kopassus yang selamat dari delapan anggota Kopassus, saat dalam perjalanan dari Dili ke Suai. Ia berpura-pura mati setelah tertembak dan disabet senjata tajam di dalam truk. Tubuhnya terimpit anggota Kopassus lain yang gugur saat itu, Juli 1996.

Saya berpikir untuk sesegera mungkin menyelamatkan diri. Saya mulai mengamati suasana sekitar. Dentuman senjata makin menjadi. Suasana begitu mencekam. Semua wartawan, entah lari ke mana, saya tidak tahu lagi. Termasuk rekan wartawan Kompas yang meliput saat itu, Paulus Tri Agung Kristanto (TRA), Rien Kuntari, dan Eddy Hasby. Mereka semuamenyelamatkan diri ke arahTNI/Polri yang mengawal milisi prointegrasi dari belakang.

Di depan saya ada sungai. Namanya Kuluhun. Musim kemarau, sungai itu penuh lumpur. Bau busuk. Jaraknya sekitar 5 meter dari tempat saya. Segera saya bangun, meraba rosario yang disimpan istri di dalam saku celana. Ternyata masih ada.

Selanjutnya, dengan gerak cepat, saya berlari ke arah sungai. Saat bersamaan terdengar rentetan senjata. Rupanya tertuju ke saya lagi. Kali ini lebih keras. Itu senjata asli.

Beberapa peluru di antaranya mengenai rompi belakang. Rasanya seperti tertumbuk batu, sangat keras. Dari arah depan, dua peluru mengenai saya, satu bagian dada kiri dan satu lagi agak dekat perut. Entah dari kelompok prointegrasi atau prokemerdekaan, kedua pihak sama-sama menggunakan senjata api.

Saya membuang badan ke dalam sungai, mengambil posisi terduduk sambil memiringkan badan ke kanan. Kelompok penembak bersorak gembira. Mereka berteriak dalam bahasa Tetun, mate tiha’sudah mati’. Untung rententan peluru itu tidak mengenai kepala atau anggota tubuh yang tidak terlindungi rompi.

Dari dalam sungai, saya melirik ke arah prointegrasi. Beberapa milisiberboncengan sepeda motor dengan senjata api, mengamati situasi sekitar. Suasana saat itu mulai remang-remang, gelap. Saya tetap terdiam di kubangan lumpur. Entah mereka tahu atau tidak. Lampu kota Dili sebagian besar belum menyala, termasuk sekitar sungai. Mereka pun meninggalkan lokasi bentrokan sambil berteriak-teriak seperti telah memenangi pertarungan.

Suasana mulai sepi. Saya merayap menuju kolong jembatan. Kondisi tubuh basah, berlumpur, dan bau. Namun, tas kerja berisikan kamera dan note tetap aman tersimpan. Senja telah pergi. Malam mulai menghampiri Kota Dili.

Saya bergerak ke perkampungan prokemerdekaan. Letaknya di sebelah kiri Sungai Kuluhun.Sepanjang perkampungan, menyusur sungai itu, terpasang kawat berduri. Memang sengaja dipasang untuk membendung masuknya kelompok prointegrasi atau lawan politik.

Saya tidak berani berbalik arah menunju tempat yang sebelumnya saya ditembak. Dalam pikiran saya, masih ada kelompok prointegrasi yang bersembunyi di sekitar itu. Intel-intel pun berkeliaran di mana-mana. Salah bertindak, nyawa melayang.

Saya nekat menerobos kawat berduri menuju perkampungan prokemerdekaan. Karena lubang kawat hanya berjarak sekitar 40 cm, saya membuang tas lebih dulu. Saat menjulurkan kepalakeluar pagar kawat, tiba-tiba seorang pemuda prokemerdekaan datang. Ia memegang sepotong kayu, panjangnyasekitar 3 meter berdiameter sekitar 15 cm.

Diinterogasi

Pemuda itu berteriak, ”Se mak ne’e (siapa kau)?”

Jawabku singkat, ”Timor oan. Hamutuk independen (Saya putra Timor, merdeka bersama).”

Pemuda itu pun dengan cepat bernada tinggi menjawab, ”Tama lai (masuk segera), ke wilayah prokemerdekaan.”

Halaman
1234
Berita Terkait
  • Ikuti kami di
    AA

    Berita Terkini

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved