Berita Nasional
RUU Penyiaran Keblinger, Hambat Pemberantasan Korupsi hingga Upaya Kontrol Pers
revisi UU Penyiaran juga berpotensi tumpang tindih kewenangan dalam penyelesaian sengketa antara KPI dan Dewan Pers.
Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) menyoroti Revisi Undang-Undang (RUU) Penyiaran menambah daftar panjang regulasi yang tidak pro terhadap pemberantasan korupsi.
Ketua YLBHI Muhamad Isnur mengatakan, adanya norma yang membatasi konten investigatif, yakni Pasal 50 B ayat (2) huruf c justru berpotensi semakin menghambat kerja-kerja masyarakat sipil.
“Pelarangan konten liputan investigasi jurnalistik dalam RUU Penyiaran tidak sejalan dengan nilai transparansi, partisipasi, dan akuntabilitas sebagai prinsip Good Governance,” kata Isnur.
Dalam konteks pemberantasan korupsi maupun gerakan masyarakat sipil, Isnur mengatakan, tidak sedikit kasus yang terungkap berasal dari informasi publik yang diinvestigasi oleh jurnalis.
Baca juga: Diduga Bungkam Pers Lewat RUU Penyiaran, DPR RI Janji Serap Aspirasi Masyarakat
“Meski ada beberapa kanal whistleblower, namun masyarakat cenderung lebih percaya pada para jurnalis maupun inisiatif kolaborasi investigasi jurnalistik yang dilakukan oleh jurnalis, yang juga jadi bentuk pengawasan terhadap kebijakan maupun pejabat publik,” ucapnya.
Dia menekankan, pembatasan liputan eksklusif investigasi jurnalistik akan berdampak negatif pada penindakan kasus korupsi. Sebab, hasil liputan investigasi seringkali membantu aparat penegak hukum dałam proses penyelidikan atau penanganan perkara korupsi.
“Karya liputan investigasi jurnalistik yang ditayangkan di media tidak hanya sekadar pemberitaan. Tapi lebih dari itu, karya tersebut juga bentuk pencegahan korupsi khususnya di sektor publik,” katanya.
“Sebab, hasil liputan yang dipublikasikan di media massa akan menggerakkan masyarakat untuk terlibat dalam upaya pencegahan korupsi. Tak hanya itu, para koruptor yang berniat melakukan kejahatan bisa jadi akan semakin takut karena khawatir tindakannya terbongkar,” pungkas Isnur.
Upaya Kendalikan Pers
SETARA Institute menilai, Rancangan Perubahan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran (RUU Penyiaran) memuat beberapa ketentuan yang memiliki intensi untuk mengendalikan kebebasan pers.
Peneliti Hukum dan Konstitusi SETARA Institute, Sayyidatul Insiyah menyoroti, khususnya aturan mengenai jurnalisme investigasi melalui Pasal 50B ayat (2) huruf c RUU Penyiaran.
Dia menilai, pasal yang melarang jurnalisme investigasi merupakan upaya untuk mengurangi kontrol terhadap pemerintah.
“Padahal, pilar demokrasi modern salah satunya adalah kebebasan pers yang, antara lain, memberikan ruang bagi jurnalisme investigasi untuk melakukan kontrol atas bekerjanya kekuasaan dan berjalannya pemerintahan,” kata Sayyida.
Dia juga mengatakan, konten dan produk jurnalistik seharusnya tetap menjadi yurisdiksi Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers.
Dimana jurnalisme investigasi seharusnya tetap berada di bawah pengaturan UU Pers, meskipun penyiarannya dilakukan melalui televisi ataupun situs internet.
“Dalam konteks itu, RUU Penyiaran secara intensional melemahkan UU Pers,” katanya.
Kemudian, dia juga menilai, ekspansi kewenangan Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) sebagaimana Pasal 8A huruf q RUU Penyiaran untuk melakukan penyelesaian sengketa jurnalistik khusus di bidang penyiaran akan mengebiri kewenangan Dewan Pers.
Selain itu, katanya, perlu adanya pengertian yang lebih jelas pada beberapa istilah dalam RUU Penyiaran.
Misalnya, penggunaan istilah ‘konten kreator’ yang dinilai akan multitafsir dan berpotensi menambah kontrol pada kreator digital perorangan.
Menurutnya, hal ini dapat mengurangi ruang gerak penggunaan kebebasan berekspresi individu.
Sementara itu, Pakar hukum tata negara, Mahfud MD menilai larangan untuk menyiarkan konten ekslusif jurnalisme investigasi adalah keblinger.
Larangan itu termuat dalam Pasal 50 B Ayat (2) Rancangan Undang-undang (RUU) Penyiaran tertanggal 27 Maret lalu.
Mahfud menegaskan sebuah media akan menjadi hebat jika memiliki jurnalis-jurnalis yang bisa melakukan investigasi.
“Kalau itu sangat keblinger, masa media tidak boleh investigasi, tugas media itu ya investigasi hal-hal yang tidak diketahui orang. Dia akan menjadi hebat media itu kalau punya wartawan yang bisa melakukan investigasi mendalam dengan berani,” kata Mahfud.
Baca juga: Soroti Draft RUU Penyiaran, Pemuda Katolik: Penyusunannya Mesti Partisipatif dan Deliberatif
Menko Polhukam periode 2019-2023 itu menilai, melarang jurnalis-jurnalis melakukan investigasi dan melarang media menyiarkan produk investigasi sama saja melarang orang melakukan riset.
“Masa media tidak boleh investigasi, sama saja itu dengan melarang orang riset, ya kan Cuma ini keperluan media, yang satu keperluan ilmu pengetahuan, teknologi. Oleh sebab itu, harus kita protes, harus kita protes, masa media tidak boleh investigasi,” ujar Mahfud.
Mahfud menganggap hari ini konsep hukum politik kita semakin tidak jelas dan tidak utuh. Sehingga, pesanan-pesanan terhadap UU yang bergulir hanya kepada yang teknis.
Padahal, kata dia, jika ingin politik hukum membaik harusnya ada semacam sinkronisasi dari UU Penyiaran.
Artinya, kehadiran UU Penyiaran harus bisa saling mendukung dengan UU Pers, UU Pidana, bukan dipetik berdasar kepentingan saja.
“Kembali, bagaimana political will kita, atau lebih tinggi lagi moral dan etika kita dalam berbangsa dan bernegara, atau kalau lebih tinggi lagi kalau orang beriman, bagaimana kita beragama, menggunakan agama itu untuk kebaikan, bernegara dan berbangsa,” ucap Mahfud. (tribun network/yuda)
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.