RUU Penyiaran
Diduga Bungkam Pers Lewat RUU Penyiaran, DPR RI Janji Serap Aspirasi Masyarakat
Meski mengklaim tidak berupaya membungkam pers, DPR beranggapan dampak produk jurnalistik perlu diminimalkan.
POS-KUPANG.COM, JAKARTA - Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) membantah intensi pembungkaman pers melalui sejumlah pasal yang ada pada draf Rancangan Undang-Undang atau RUU tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran.
Baik Panitia Kerja RUU Penyiaran maupun Badan Legislasi DPR berjanji untuk menyerap aspirasi masyarakat dan mempertimbangkannya karena norma yang ada pada rancangan legislasi tersebut masih bisa diubah.
Anggota Panitia Kerja (Panja) RUU Penyiaran dari Komisi I DPR, Nurul Arifin, tidak memungkiri, draf RUU tentang Perubahan atas UU Nomor 32 Tahun 2002 tentang penyiaran menuai kritik publik.
Kritik dimaksud terkait dengan Pasal 8A Ayat (1) huruf (q) dan Pasal 42 yang memberikan wewenang kepada Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) untuk menyelesaikan sengketa jurnalistik khusus di bidang penyiaran.
Selain itu, masyarakat juga menyoroti Pasal 50B Ayat (2) huruf (c) yang memuat larangan isi siaran dan konten siaran menayangkan tayangan eksklusif jurnalistik investigasi.
Nurul mengatakan, RUU Penyiaran yang beredar di tengah publik masih dalam proses pembahasan. Norma-norma yang ada di dalamnya pun masih mungkin untuk diubah. Oleh karena itu, pihaknya terbuka terhadap masukan dari seluruh lapisan masyarakat.
”RUU yang beredar bukan produk yang final sehingga masih sangat dimungkinkan untuk terjadinya perubahan norma dalam RUU Penyiaran,” kata Wakil Ketua Umum Partai Golkar itu melalui keterangan tertulis, Selasa (14/5/2024).
Ia menambahkan, DPR juga tidak berintensi untuk membungkam pers melalui RUU Penyiaran. Sebab, upaya untuk merevisi UU Penyiaran sudah digulirkan sejak tahun 2012.
Urgensi perubahan UU tersebut juga semakin kuat seiring dengan perkembangan teknologi yang membutuhkan penguatan regulasi penyiaran digital, khususnya terkait layanan over the top (OTT) dan user generated content (UGC).
Selain itu, terdapat beberapa hal yang juga diatur dalam RUU Penyiaran, antara lain, pengaturan penyiaran dengan teknologi digital dan penyelenggaraan platform digital penyiaran. Selain itu, perluasan wewenang KPI dan penegasan migrasi analog ke digital atau analog switch off juga masuk dalam RUU Penyiaran.
”Tidak ada tendensi untuk membungkam pers dengan RUU Penyiaran ini,” ucap Nurul.
Ditemui seusai Rapat Paripurna Pembukaan Masa Persidangan V Tahun Sidang 2023-2024, Selasa, di kompleks Parlemen, Jakarta, Wakil Ketua DPR Sufmi Dasco Ahmad tidak memungkiri, pandangan yang menganggap bahwa RUU Penyiaran berisiko membungkam pers juga menjadi pembicaraan di DPR.
Bahkan, sejumlah anggota Komisi I DPR meminta waktu untuk berkonsultasi dengan pimpinan DPR untuk membahasnya. Pertemuan itu akan dilakukan untuk mencari jalan tengah antara pemenuhan hak pers dan kepentingan untuk meminimalkan dampak dari produk jurnalistik.
Ketua Harian Partai Gerindra itu pun mengakui, kebebasan pers memang dijamin oleh UU. Akan tetapi, menurut dia, perlu penanganan khusus agar dampak dari liputan investigasi bisa diminimalkan. Apalagi, Dasco pun meragukan hasil liputan investigasi.
”Ya, seharusnya (penayangan liputan investigasi) enggak dilarang, tapi impact-nya aja yang kita pikirkan. Jangan sampai, kadang-kadang enggak semua, kan, ada juga yang sebenarnya hasil investigasinya benar, tapi ada juga yang kemarin kita lihat investigasinya separuh benar. Nah, itu saja. Kita akan bikin aturannya supaya sama-sama berjalan dengan baik,” kata Dasco.
Baca juga: Anggota Komisi IX DPR RI Minta Semua Pihak Terlibat Tangani Stunting di Sumba Barat Daya
RUU Penyiaran merupakan satu dari 47 RUU yang ada dalam daftar Program Legislasi Nasional (Prolegnas) Prioritas 2024. RUU yang merupakan usul inisiatif DPR itu hingga saat ini masih dalam tahap penyusunan di Badan Legislasi (Baleg) DPR.
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.