RUU Penyiaran

Diduga Bungkam Pers Lewat RUU Penyiaran, DPR RI Janji Serap Aspirasi Masyarakat

Meski mengklaim tidak berupaya membungkam pers, DPR beranggapan dampak produk jurnalistik perlu diminimalkan.

Editor: Agustinus Sape
KOMPAS/PRADIPTA PANDU MUSTIKA
Anggota Panitia Kerja RUU Penyiaran dari Komisi I DPR, Nurul Arifin. 

Meski belum dibahas oleh DPR dan pemerintah, draf yang disusun oleh DPR sudah beredar di masyarakat. Kalangan masyarakat sipil mengkritik draf RUU Penyiaran yang memuat sejumlah pasal yang mengancam kebebasan pers. Salah satunya Pasal 50B Ayat (2) yang melarang penayangan karya jurnalisme investigasi.

Ketua Baleg DPR Supratman Andi Agtas menjelaskan, semua pengajuan UU beserta revisinya, termasuk RUU Penyiaran, bakal segera diselesaikan oleh Baleg DPR. Dalam pembahasan, ia memastikan bakal mendengarkan pandangan dari semua pihak, termasuk dari kelompok media. Namun, poin yang dibahas tidak berfokus pada polemik hasil karya jurnalisme investigasi.

”Isi (RUU Penyiaran), kan, ada banyak. Ada yang berhubungan pada kelembagaan KPI, tapi kami batasi agar tidak bertentangan dengan UU Cipta Kerja, tidak melulu soal jurnalisme investigasi,” kata politikus Gerindra itu.

Saat ditanya mengenai sikap resmi terhadap RUU Penyiaran, Supratman mengatakan, Baleg DPR belum membahas RUU tersebut. Oleh karena itu, pihaknya belum bisa menyampaikan pandangan secara resmi.

Ia hanya memastikan bahwa pembahasan RUU itu akan diselesaikan pada sisa masa jabatan DPR periode 2019–2024. ”Insya Allah, dalam waktu dekat, semua akan kami selesaikan agar mengakhiri periode ini tanpa utang,” ujarnya.

Bermasalah

Sebelumnya, Ketua Umum Pengurus Pusat Ikatan Jurnalis Televisi Indonesia (IJTI) Herik Kurniawan mengatakan, revisi UU Penyiaran problematik sejak tahap penyusunan. Draf RUU Penyiaran dibuat tanpa melibatkan organisasi profesi jurnalistik ataupun komunitas pers. Akibatnya, draf terlihat disusun secara tidak cermat dan mengancam kebebasan pers.

Ancaman kebebasan pers salah satunya muncul dari Pasal 50B Ayat (2) yang melarang penayangan hasil karya jurnalisme investigasi. Pelarangan itu dinilai tidak berdasar karena selama ini pers bekerja berdasarkan fakta serta menjunjung kode etik jurnalistik. Tak hanya itu, produk jurnalistik dibuat secara profesional untuk kepentingan publik sehingga tidak boleh ada yang melarang pemuatannya.

Sekretaris Jenderal IJTI Usmar Al Marwan mengatakan, pasal pelarangan tayangan eksklusif jurnalisme investigasi itu bisa dilihat sebagai upaya intervensi dan pembungkaman kebebasan pers. Hal itu menjadi ancaman serius bagi kehidupan pers yang tengah dibangun bersama dengan penuh rasa tanggung jawab.

”Tidak hanya itu, dikhawatirkan revisi RUU Penyiaran akan menjadi alat kekuasaan serta politik oleh pihak tertentu untuk mengebiri kerja-kerja jurnalistik yang profesional dan berkualitas,” ujar Usmar (Kompas, 12/5/2024).

Baca juga: Anggota DPR RI Anita Gah Beri Pemahaman Empat Pilar Kebangsaan Bagi Warga Bello Kota Kupang

Selain itu, IJTI juga melihat beberapa pasal multitafsir lain yang berpotensi mengintervensi pers, misalnya, Pasal 50B Ayat (2) huruf (k) yang mengatur soal penayangan isi siaran yang bermuatan berita bohong, fitnah, penghinaan, dan pencemaran nama baik.

Begitu juga pasal yang mengatur penyelesaian sengketa jurnalistik oleh KPI. Hal ini mengingat KPI merupakan lembaga negara yang dibentuk melalui keputusan politik di DPR.

Untuk itu, IJTI menolak seluruh pasal RUU Penyiaran yang mengancam kebebasan pers. DPR juga diminta untuk mengkaji ulang draf RUU tersebut dengan melibatkan organisasi pers serta publik secara umum.

(kompas.id)

Ikuti berita POS-KUPANG.COM di GOOGLE NEWS

Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved