Opini
Opini: Orang-Orang yang Berjalan di Atas Air
Dalam konteks sastra Indonesia, saya membaca sekurangnya ada tiga cerpen yang berbicara soal berjalan di atas air sebagai laku mukjizat para tokohnya.
Ketika diterbitkan sebagai bagian dari antologi Cerpen Pilihan Kompas 2010, “Dodolitdodolitdodolibret” dipilih sebagai judul antologi.
Guru Kiplik, tokoh utama cerpen tersebut, mengajar cara berdoa yang benar di berbagai tempat, dan menganggap bahwa cara berdoa yang benar membuat orang-orang yang melakukannya mampu berjalan di atas air.
Suatu ketika, Guru Kiplik menemukan sebuah pulau kecil di tengah danau luas, yang hanya dihuni sembilan penduduk. Guru Kiplik membutuhkan waktu lebih lama untuk mengajarkan cara berdoa yang benar kepada mereka.
Setelah berhasil, Guru Kiplik pun melanjutkan perjalanannya dengan perahu layar, sebelum dikagetkan salah satu awak perahunya di tengah danau bahwa orang-orang yang ia ajarkan cara berdoa yang benar mendekati mereka sambil berlari di atas air.
Menganggap bahwa doa yang diajarkannyalah yang membuat mereka mampu berlari-lari di atas air, Guru Kiplik memperoleh satu pernyataan yang sekaligus menutup cerita: mereka lupa cara berdoa yang diajarkan Guru Kiplik.
Sebagai respons kreatif, kisah serupa bisa kita temukan dalam “Three Hermits” karya Leo Tolstoi, kisah pembuka dalam novel Paulo Coelho berjudul Di Tepi Sungai Piedra Aku Duduk dan Menangis, maupun kisah reflektif yang disampaikan Anthony de Mello.
Di awal cerpen “Three Hermits”, Tolstoi memberikan dua catatan: legenda yang beredar di Distrik Volga, dan epigraf Injil Matius. Dalam versi Paulo Coelho, Uskup dalam versi Tolstoi berganti menjadi misionaris Prancis, dan para pertapa berperan sama seperti tiga imam Aztec.
Berbeda dari Tolstoi yang menjadikan ceritanya sebagai kritik terhadap gereja Ortodoks Rusia dan parodi terhadap Doa Bapa Kami versi Matius, Coelho menjadikan kisah sejenis sebagai penegasan terhadap karya Allah monoteistik yang bisa terjadi di bangsa mana pun.
Dalam cerpen “Mukjizat Terakhir”, sang pastor, tokoh utama cerpen, tidak berhasil melakukan mukjizat tersebut.
Di akhir cerita, si pastor malah dinasihati rekan pastornya yang lebih tua, untuk juga mempertimbangkan sesuatu secara matang, termasuk mempersiapkan alternatifnya jika hal yang terjadi di luar kendali.
Alusi utama peristiwa tersebut, sebagaimana dinyatakan secara eksplisit di dalam cerpen, adalah kisah Yesus yang berjalan di atas air dalam Injil.
Sebagai satire dan parodi terhadap standar kehidupan beragama yang demikian, yang menakar kesalehan para penganutnya berdasarkan mukjizat yang ditunjukkan, ketiga cerpen tersebut justru melemparkan gagasan tentang kehidupan beragama yang sederhana, bersahaja, dan rendah hati, dengan tidak mengabaikan pertimbangan akal sehat dan hati nurani. (*)
Opini: Prada Lucky dan Tentang Degenerasi Moral Kolektif |
![]() |
---|
Opini: Drama BBM Sabu Raijua, Antrean Panjang Solusi Pendek |
![]() |
---|
Opini: Kala Hoaks Menodai Taman Eden, Antara Bahasa dan Pikiran |
![]() |
---|
Opini: Korupsi K3, Nyawa Pekerja Jadi Taruhan |
![]() |
---|
Opini: FAFO Parenting, Apakah Anak Dibiarkan Merasakan Akibatnya Sendiri? |
![]() |
---|
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.