Opini

Opini: Orang-Orang yang Berjalan di Atas Air

Dalam konteks sastra Indonesia, saya membaca sekurangnya ada tiga cerpen yang berbicara soal berjalan di atas air sebagai laku mukjizat para tokohnya.

Editor: Dion DB Putra
DOK PRIBADI
Mario F Lawi. 

Oleh Mario F Lawi
Penyair, Tinggal di Kupang

POS-KUPANG.COM - Dalam kisah-kisah hagiografis, ada beragam aspek yang ditampilkan untuk menonjolkan keunggulan para orang suci.

Ada kisah yang menonjolkan aspek kehidupan (vita) para santo-santa, ada yang menonjolkan aspek mukjizat (miracula) yang terjadi setelah berdoa melalui perantaraan mereka, ada yang menonjolkan aspek kemartiran (passio), sampai yang menonjolkan bagaimana keutuhan jasad mereka ketika dipindahkan (translatio) (lihat James T. Palmer, Early Medieval Hagiography, 2018: 20).

Dalam konteks sastra Indonesia, saya membaca sekurangnya ada tiga cerpen yang berbicara soal berjalan di atas air sebagai laku mukjizat para tokohnya.

Cerpen terakhir yang saya baca adalah cerpen berjudul “Mukjizat Terakhir” karya Christian Dan Dadi. Cerpen ini pernah dimuat dalam antologi cerpen Narasi Rindu, penerbit Kosa Kata Kita, 2019.

Dua cerpen sebelumnya saya baca jauh sebelum itu. Berjalan di atas air sebagai contoh mukjizat penanda kesalehan para tokoh dalam cerita setidaknya pernah ditunjukkan juga dalam cerpen “Gus Jakfar” karya A. Mustofa Bisri, dan “Dodolitdodolitdodolibret” karya Seno Gumira Ajidarma.

“Gus Jakfar” pertama kali terbit di Kompas, edisi Minggu, 23 Juni 2002, lalu dimuat dalam Waktu Nayla, Cerpen Pilihan Kompas 2003, pertama kali saya baca di Seminari Menengah St. Rafael Oepoi.

Judul cerpen diambil dari nama tokoh utama, seorang saleh yang mampu melihat tanda “rahasia yang tersembunyi” di kening orang-orang yang dijumpainya.

Orang-orang yang dijumpainya mengalami hal-hal yang diramalkan oleh Gus Jakfar setelah Gus Jakfar melihat tanda-tanda di kening mereka.

Gus Jakfar kemudian berhenti membaca tanda-tanda di kening orang-orang setelah menemui seseorang bernama Kiai Tawakkal, wali yang ia jumpai berdasarkan petunjuk sang ayah yang ia jumpai dalam mimpi.

Penyebabnya, setelah menjumpai Kiai Tawakkal di pesantren bambu sambil dikelilingi para santrinya, Gus Jakfar justru membaca tanda “Ahli Neraka” di kening Kiai Tawakkal, dan merasa sangsi karena Kiai Tawakkal, menurut cerita, adalah seorang yang begitu saleh.

Gus Jakfar pun menguntit Kiai Tawakkal saat sang Kiai melakukan lelana brata, dan akhirnya menemukan tempat yang biasa dikunjungi Kiai Tawakkal. Tempat itu adalah sebuah warung dengan para wanita berdandan menor.

Ketika hendak kembali ke pesantren, Kiai Tawakkal mengajak Gus Jakfar melalui jalan pintas menyeberangi sungai.

Di jalan pulang itulah, Gus Jakfar melihat Kiai Tawakkal berjalan di atas air, sebelum menerima nasihat-nasihat dari sang Kiai yang mengubah kebiasaan Gus Jakfar setelah pertemuan tersebut.

Kemampuan berjalan di atas air juga muncul di akhir cerpen “Dodolitdodolitdodolibret” karya Seno Gumira Ajidarma.
“Dodolitdodolitdodolibret” pertama kali terbit di Kompas, Minggu, 26 September 2010, dan dipilih sebagai Cerpen Terbaik Kompas 2010.

Ketika diterbitkan sebagai bagian dari antologi Cerpen Pilihan Kompas 2010, “Dodolitdodolitdodolibret” dipilih sebagai judul antologi.

Guru Kiplik, tokoh utama cerpen tersebut, mengajar cara berdoa yang benar di berbagai tempat, dan menganggap bahwa cara berdoa yang benar membuat orang-orang yang melakukannya mampu berjalan di atas air.

Suatu ketika, Guru Kiplik menemukan sebuah pulau kecil di tengah danau luas, yang hanya dihuni sembilan penduduk. Guru Kiplik membutuhkan waktu lebih lama untuk mengajarkan cara berdoa yang benar kepada mereka.

Setelah berhasil, Guru Kiplik pun melanjutkan perjalanannya dengan perahu layar, sebelum dikagetkan salah satu awak perahunya di tengah danau bahwa orang-orang yang ia ajarkan cara berdoa yang benar mendekati mereka sambil berlari di atas air.

Menganggap bahwa doa yang diajarkannyalah yang membuat mereka mampu berlari-lari di atas air, Guru Kiplik memperoleh satu pernyataan yang sekaligus menutup cerita: mereka lupa cara berdoa yang diajarkan Guru Kiplik.

Sebagai respons kreatif, kisah serupa bisa kita temukan dalam “Three Hermits” karya Leo Tolstoi, kisah pembuka dalam novel Paulo Coelho berjudul Di Tepi Sungai Piedra Aku Duduk dan Menangis, maupun kisah reflektif yang disampaikan Anthony de Mello.

Di awal cerpen “Three Hermits”, Tolstoi memberikan dua catatan: legenda yang beredar di Distrik Volga, dan epigraf Injil Matius. Dalam versi Paulo Coelho, Uskup dalam versi Tolstoi berganti menjadi misionaris Prancis, dan para pertapa berperan sama seperti tiga imam Aztec.

Berbeda dari Tolstoi yang menjadikan ceritanya sebagai kritik terhadap gereja Ortodoks Rusia dan parodi terhadap Doa Bapa Kami versi Matius, Coelho menjadikan kisah sejenis sebagai penegasan terhadap karya Allah monoteistik yang bisa terjadi di bangsa mana pun.

Dalam cerpen “Mukjizat Terakhir”, sang pastor, tokoh utama cerpen, tidak berhasil melakukan mukjizat tersebut.

Di akhir cerita, si pastor malah dinasihati rekan pastornya yang lebih tua, untuk juga mempertimbangkan sesuatu secara matang, termasuk mempersiapkan alternatifnya jika hal yang terjadi di luar kendali.

Alusi utama peristiwa tersebut, sebagaimana dinyatakan secara eksplisit di dalam cerpen, adalah kisah Yesus yang berjalan di atas air dalam Injil.

Sebagai satire dan parodi terhadap standar kehidupan beragama yang demikian, yang menakar kesalehan para penganutnya berdasarkan mukjizat yang ditunjukkan, ketiga cerpen tersebut justru melemparkan gagasan tentang kehidupan beragama yang sederhana, bersahaja, dan rendah hati, dengan tidak mengabaikan pertimbangan akal sehat dan hati nurani. (*)

Sumber: Pos Kupang
Berita Terkait
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

Berita Populer

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved