Opini

Opini: Melawan Politik Devide et Impera

Dua kenyataan ini yakni kebodohan dan banyaknya kerajaan dalam wilayah Nusantara dilihat oleh Belanda sebagai peluang untuk menguasai Indonesia.

Editor: Agustinus Sape
FOTO PRIBADI
Arnoldus Nggorong 

Pemilu 2024 pun tak lepas dari praktik-praktik kecurangan, keterpisahan para pendukung, termasuk pelanggaran terhadap etika. Demikian pula halnya dengan Pilkada serentak 2024 yang sebentar lagi akan segera dimulai. Dugaan terhadap praktik kecurangan pun akan terus menemaninya.

Yang menarik adalah Pilkada serentak 2024 terdiri dari Pemilihan Gubernur-Wakil Gubernur dan Pemilihan Bupati-Wakil Bupati/Wali Kota-Wakil Wali Kota di seluruh Indonesia. Detik.com merilis, seturut laporan data dari KPU, ada 37 provinsi dan 508 kabupaten/kota yang akan menyelenggarakan Pilkada (detik.com 25/4/2024).

Sudah umum pula diketahui, praktik kecurangan selalu menghiasi setiap pemilu dan sudah ‘dipandang’ sebagai hal yang biasa. Lalu mulai ‘berasumsi’ bahwa kecurangan itu dapat pula diterima oleh khalayak. Sebab ada kebenaran umum yang mengatakan, tidak ada yang sempurna di dunia ini. Dengan kata lain, alasan tidak ada yang sempurna ‘dianggap’ sebagai pembenaran terhadap praktik kecurangan.

Etika

Sehubungan dengan etika, patut diingat bahwa ia tidak memiliki seperangkat aturan yang tertulis seperti hukum positif dengan urutan 1,2,3, dan seterusnya. Etika lebih sebagai sebuah konsep, yang menjadi penuntun dalam perilaku hidup. Dalam arti yang lebih dalam dan luas, etika tercatat di dalam hati nurani setiap pribadi. Secara intrinsik, etika berpautan dengan adab. Ini mengandaikan adanya kesadaran dari pribadi yang bersangkutan (subjek).

Kesadaran ini hanya diperoleh lewat proses pendidikan. Itulah sebabnya kata terdidik dikenakan pada orang atau sekelompok orang yang telah mengenyam pendidikan dan membatinkannya. Sejumlah pengetahuan yang telah diperoleh dan dipelajarinya, yang kemudian diolah dan diinternalisasi, mengangkatnya menjadi pribadi yang utuh.

Termasuk ajaran tentang pendidikan moral yang paling sederhana itu didapat dari orangtua (mama-bapa) di rumah (keluarga). Pengalaman ajaran dan didikan dalam keluarga sebagai fondasi pertama dan utama pembentukan diri akan sangat membantu pertumbuhan dan perkembangan diri individu yang bersangkutan di kemudian hari.

Itu pula yang membedakan manusia dari binatang secara tegas. Aspek kesadaran, keinsyafan inilah yang memberi nilai lebih dan bobot nilai yang tinggi pada manusia yang memiliki martabat yang lebih tinggi daripada segala ciptaan lainnya. Sebab hanya manusia dianugerahi kelebihan itu.

Maka dari itu, ketika ada yang melanggar etika, tidak ada hukuman fisik yang dapat dikenakan kepadanya. Sebab pelanggaran itu berhubungan erat dengan disposisi batin subjek/pelaku yang telah melanggar etika tadi. Bila si pelaku merasa tidak melanggar etika, menurut kata hatinya, maka dia akan merasa nyaman-nyaman saja dan tidak terusik sedikit pun.

Namun patut disadari bahwa kesadaran etis tertinggi dibarengi dengan keyakinan religius yang mendalam akan membuat seseorang merasa tidak nyaman (hatinya selalu terusik) terhadap setiap model kesalahan yang telah dilakukan. Suara hatinya (hati yang bening, jernih) akan selalu menegurnya kapan pun dan di mana saja dia berada. Itulah hukuman untuk dirinya yang bersalah.

Model penjajahan baru

Dengan deskripsi ringkas tentang Pemilu sebagai medan praktik politik devide et impera gerombolan elite tertentu, yang berakar dalam kebodohan, kemiskinan, dan keterbelahan, menemukan maknanya dalam model ‘penjajahan baru’, yang dilakukan oleh sesama warganya sendiri. Dalam formula yang ekstrem, praktik ‘hukum rimba’ ala modern mendapatkan momentumnya. ‘Yang kuat’ menindas ‘yang lemah’. Yang punya uang, kuasa, menguasai yang fakir, tidak beruntung, terpinggirkan.

Kawanan elite itu diakui ‘pintar’ yang didukung pula oleh setumpuk gelar baik akademik maupun gelar kehormatan yang ditempelkan pada namanya. Kepintaran itu ditampakkan dalam kemampuan mengemas isu kesejahteraan sambil mengutip ayat-ayat suci.

Benar bahwa de jure, Indonesia sudah merdeka yang diproklamirkan oleh Soekarno-Hatta dengan gagah berani atas nama bangsa Indonesia pada 17 Agustus 1945. Akan tetapi apakah dengan itu serta merta penjajahan pun sirna dari muka bumi Indonesia?

Bila dicermati secara saksama, penjajahan yang telah berhasil dihapus dari bumi Pertiwi adalah penjajahan dari bangsa asing. Secara faktual, penjajahan oleh sesama bangsa sendiri masih berlangsung hingga saat ini. Model penjajahan baru ini, terkesan, malah semakin menguat. Seolah-olah ‘dibiarkan’. Seakan-akan pula bukan sebuah persoalan. Oleh karena ‘dianggap’ bukan masalah, maka tidak perlu pula ditanggapi secara serius.

Halaman
123
Berita Terkait
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved