Opini

Opini: Melawan Politik Devide et Impera

Dua kenyataan ini yakni kebodohan dan banyaknya kerajaan dalam wilayah Nusantara dilihat oleh Belanda sebagai peluang untuk menguasai Indonesia.

Editor: Agustinus Sape
FOTO PRIBADI
Arnoldus Nggorong 

Oleh: Arnoldus Nggorong

POS-KUPANG.COM - Ketika saya masih duduk di bangku SD, salah seorang guru pernah berkisah tentang keberhasilan Belanda menjajah Indonesia dalam kurun waktu yang begitu lama. Awal mula kedatangan Belanda, ceritanya, adalah mencari wilayah jajahan baru yang memiliki potensi sumber daya alam yang kaya.
Indonesia, ternyata, memenuhi harapan Belanda untuk maksud tersebut. Sumber daya alam yang dimiliki bangsa Indonesia sangat kaya. Buktinya adalah penjajah Belanda membawa banyak rempah-rempah ke negerinya yang merupakan hasil dari bumi persada ini.

Pada waktu itu, kondisi rakyat Indonesia masih banyak yang belum mengenal pendidikan. Kompas.com mencatat, pendidikan formal di Indonesia baru mulai sekitar tahun 1901, saat Belanda menduduki Indonesian. Sistem pendidikan ini dibagi berdasarkan kelas sosial dan keturunan (kompas.com 17/8/2021). Dengan demikian tidak semua rakyat dapat mengenyam pendidikan.

Ditambah lagi dalam wilayah Nusantara terdapat banyak kerajaan. Dalam sebuah pulau bisa terdiri dari beberapa kerajaan. Ada kerajaan yang memiliki wilayah yang sangat luas dan ada pula yang wilayahnya kecil. Setiap kerajaan mempunyai otoritasnya sendiri-sendiri.

Dua kenyataan ini yakni kebodohan dan banyaknya kerajaan dalam wilayah Nusantara yang masing-masing memiliki otonomi, tidak tunduk-takluk pada yang lain, dilihat oleh Belanda sebagai peluang untuk menguasai Indonesia. Belanda pun, dengan kecerdikannya, menerapkan politik devide et impera untuk mewujudkan cita-citanya itu.

Dengan lain perkataan, terdapat dua unsur potensial yang membuat persada Nusantara ini dengan mudah dikuasai dan selanjutnya dijajah oleh Belanda yakni warga Nusantara masih terkotak-kotak dalam sistem kerajaan (kurangnya kebersatuan kerajaan-kerajaan) dan keterbelakangan pendidikan warga pribumi Nusantara.

Cerita ini diperoleh pada saat mata pelajaran Ilmu Pengetahuan Sosial (jika tidak salah ingat) sedang berlangsung pada waktu itu, yang dikisahkan oleh ibu guru bernama Agustina Dimu.

Kondisi Indonesia kini

Jika dikaitkan dengan situasi saat ini, kedua faktor tersebut masih menghantui persada Nusantara ini, namun dalam model dan kadar yang berbeda. Di sini ditambahkan lagi satu faktor yaitu kemiskinan. Dengan demikian ada tiga faktor yang masih menemani Indonesia hingga saat ini yakni kebodohan, kemiskinan, dan keterbelahan (yang memiliki padanannya dengan keterpecahan, keterpilahan, disintegrasi).

Kondisi ini menjadi palagan implementasi politik devide et impera yang diperankan kelompok elite tertentu. Pertunjukan politik devide et impera yang amat jelas dan terang benderang adalah dalam peristiwa Pemilu.

Sebagai contoh, sudah umum diketahui bahwa politik uang begitu masif dipraktikkan dalam setiap peristiwa Pemilu terutama sejak diselenggarakannya pemilihan langsung. Bahkan pemilihan kepala desa tak luput dari permainan politik uang, cerita seorang teman.

Dalam hal keterbelahan, Pilpres 2019 menjadi contoh yang sempurna yang mendeskripsikan situasi keterbelahan itu, dan tak kalah paripurna juga adalah Pilkada Jakarta 2017 (lihat tulisan saya ‘Peran Elite Mematangkan Demokrasi’, posku-pang.com 20/4/2023). Perbedaan pilihan politik telah menjerumuskan para pendukung dalam kubu-kubu yang saling bertentangan.

Polarisasi itu tercermin dalam terminus kampret, cebong, kadrun. Setyo Widagdo mengatakan, narasi-narasi yang kontraporduktif justru memperkeruh dan mempertajam keterbelahan itu. Manuver-manuver politik yang dilakukan segerombolan elite pun turut memberi kontribusi di dalamnya (detiknews.com 2/1/2023).

Perihal dukung-mendukung dalam alam demokrasi, pada hakikatnya adalah lumrah. Malah dukungan merupakan suatu keharusan. Namun dukungan baru menjadi masalah mana kala para pendukung sudah terperangkap dalam kondisi yang membuatnya terobsesi yang berlebihan pada pasangan calon yang didukungnya.
Apalagi kalau dukungan yang diberikan pemilih kepada calon kandidat berbasis pada etnis, suku, daerah, agama, budaya, hubungan kekerabatan, baik karena perkawinan maupun hubungan darah, berpenampilan sederhana, tampak ramah, murah senyum.

Kondisi tersebut dalam istilah akademiknya disebut fanatisme. Sebab mereka sudah kehilangan akal sehat dan yang lebih dominan adalah sentimen. Bagi mereka, yang ada adalah hanya dan hanya pilihan (dukungan) saya yang lebih baik.

Halaman
123
Berita Terkait
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved