Opini

Opini: Bahaya Fake Comprehension dalam Interaksi Pembelajaran di Kelas

Sebuah kebiasaan paten dan pakem bawasannya proses pembelajaran yang terjadi di dalam ruang kelas lebih banyak ditutup-tutupi.

|
Editor: Agustinus Sape
POS-KUPANG.COM/HO
Direktur U-Genius Institut Kefamenanu, Apolonius Anas. 

Oleh Apolonius Anas

Direktur Lembaga Bimbingan Kursus dan Pelatihan U-Genius Kefamenanu

POS-KUPANG.COM - Judul gagasan ini bermula saat diskusi bersama para siswa kelas khusus dalam proses bimbingan Bahasa Inggris di Bimbingan dan Konsultasi Belajar U-Genius Kefamenanu beberapa waktu lalu. Seperti biasa salah satu cara meningkatkan kemampuan berbicara Bahasa Inggris, para siswa di U-Genius wajib mempresentasikan materi masing-masing secara bergantian.

Kebiasaan ini telah lama diterapkan di U-Genius Kefamenanu demi meningkatkan keterampilan berbicara para siswa. Mereka berdiskusi dalam Bahasa Inggris tentang berbagai tema menarik yang berpeluang menjadi polemik dalam diskusi.

Tema ditentukan oleh masing masing siswa yang berpedoman pada keunikan dan minat siswa. Saat diskusi berlangsung muncullah sebuah diksi yang menurut saya pantas untuk penulis elaborasi dalam sebuah opini media yaitu "mengerti palsu atau pura-pura mengerti" atau (fake comprehension) dalam kelas sebagai fenomena unik dalam interaksi pembelajaran di sekolah.

Berdasarkan pemaparan siswa, terkuak sebuah kebiasaan paten dan pakem bawasannya proses pembelajaran yang terjadi di dalam ruang kelas lebih banyak ditutup-tutupi terutama dalam memahami isi materi pelajaran. Dalam arti ruang terbuka untuk berdiskusi dan menjalin tanya jawab terhadap materi yang diajarkan guru sama sekali tidak dibudayakan dengan baik.

Guru punya kecenderungan kejar materi, waktu demi memenuhi tuntutan kurikulum. Keadaan seperti ini terjadi dalam pembelajaran dengan jumlah siswa sangat banyak. Alhasil banyak peserta didik pulang dengan tangan hampa tanpa mendapat sedikit pun asupan ilmu baru dari pelajaran yang diikutinya. Seperti kata pepatah tong kosong nyaring bunyinya. Celakanya itu terjadi secara berulang sampai kelas selanjutnya.

Kebiasaan menutup-nutupi dalam upaya menguasai materi pembelajaran memang lumrah terjadi. Apalagi jumlah siswa dalam kelas sangat banyak. Guru mengajar berbasis otoritas tanpa mengedepankan prioritas melayani siswa sampai tuntas (nothing left behind). Guru mengabaikan interaksi dialogis yaitu aktivitas resiprokal antara guru dan siswa pada materi yang diajarkan.

Di pihak siswa terpaan dan kompetisi secara sosial yang terjadi dalam kelas baik siswa yang cepat paham, sedang dan lambat sangat terasa. Nasib siswa yang lamban cenderung apes. Mereka sering diabaikan sehingga hal ini berpeluang memahami materi secara palsu (fake comprehension).

Dalam dunia pendidikan, interaksi antara guru dan siswa sangat penting dalam memastikan pemahaman materi yang diajarkan. Komunikasi dalam pola interaksi dialogis yang efektif antara guru dan siswa memainkan peran kunci dalam proses pembelajaran. Guru perlu menyampaikan materi dengan jelas dan menarik agar siswa dapat memahaminya dengan baik. Di sisi lain, siswa juga perlu merespons dengan baik agar proses komunikasi menjadi dua arah yang produktif.

Interaksi yang positif dua arah (resiprokal) antara guru dan siswa membantu membangun hubungan yang kuat dan saling percaya. Ketika siswa merasa nyaman dengan guru mereka, mereka cenderung lebih terbuka bertanya dan berdiskusi tentang materi yang sulit dipahami.

Suasana pembelajaran yang kaku berimplikasi pada munculnya fenomena yang dikenal sebagai "fake comprehension" (mengerti palsu) tadi, di mana siswa menyatakan bahwa mereka mengerti padahal sebenarnya mereka masih bingung atau belum memahami sepenuhnya.

Siswa ingin cepat selesai, cepat pulang karena materi atau presentasi guru tidak menarik dan membingungkan mereka. Ini adalah masalah yang serius yang dapat menghambat proses dan tujuan pembelajaran secara keseluruhan. Implikasi akademisnya bermuara pada salah mengerti, beda mengerti bahkan tidak mengerti dengan sumber belajarnya.

Ketika seorang guru bertanya kepada kelasnya, "Sudah paham?", banyak siswa akan dengan cepat menjawab "sudah", terlepas dari seberapa baik mereka benar-benar memahami materi tersebut. Alasan di balik fenomena ini bisa bermacam-macam, mulai dari rasa malu untuk mengakui ketidaktahuan hingga tekanan sosial untuk terlihat cerdas di hadapan teman-teman sekelas.

Beberapa siswa mungkin merasa malu atau takut dijauhi oleh teman-teman mereka jika mereka mengakui bahwa mereka belum mengerti. Ini bisa menjadi tantangan besar terutama di lingkungan sekolah yang kompetitif. Siswa-siswa yang kurang percaya diri mungkin merasa tidak nyaman untuk mengungkapkan ketidakpahaman mereka di depan guru dan teman-teman sekelas. Atau berbagai fenomena psikologis yang membuat siswa berpura-pura mengerti.

Halaman
123
Berita Terkait
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved