Opini
Opini: BPJS dan Desain Pembiayaan
Kondisi objektif ini menyebabkan terbangunnya paradigma biomedis yang mengedepankan aspek kuratif dalam pembangunan kesehatan.
Oleh Habde Adrianus Dami
Mantan Sekda Kota Kupang, Pengamat Kebijakan Publik
POS-KUPANG.COM -Kementerian Kesehatan berusaha memperkuat pelayanan kesehatan primer yang lebih menekankan promotif, preventif, dan kuratif non-spesialistik.
Kondisi objektif ini menyebabkan terbangunnya paradigma biomedis yang mengedepankan aspek kuratif dalam pembangunan kesehatan.
Seiring dengan itu perlu pembenahan yang serius mulai SDM, kefarmasian, teknologi, sistem informasi hingga pembiayaan kesehatan yang handal.
Dalam konteks pembiayaan kesehatan, instrumen jaminan kesehatan atau asuransi kesehatan pada hakikatnya ialah mengonversi risiko sakit menjadi biaya.
Besar biaya sepenuhnya bergantung pada seberapa besar manfaat yang dijaminkan serta keadaan tingkat kesehatan masyarakat.
Semakin luas lingkup manfaat yang dijaminkan dan semakin besar masalah kesehatan yang dihadapi, semakin besar pulalah biaya yang diperlukan.
Namun demikian, kabar kenaikan iuran program JKN mencuat di tengah kekhawatiran menipisnya dana cadangan BPJS Kesehatan.
Apabila likuiditas BPJS mengalami defisit, tentu mengganggu arus kas membayar klaim pelayanan fasilitas kesehatan.
Menurut Direktur Utama BPJS Kesehatan, Ali Ghufron Mukti, (Detikhealth,7/3/2024), “tahun ini ada tambahan 45 triliun yang belum dibayarkan.
Sementara itu besaran klaim sekitar Rp 113.472.538, triliun (2022) meningkat menjadi Rp 158.852.391 triliun (2023).
Implikasinya, penyesuaian iuran ini tentu menuntut partisipasi tambahan dari masyarakat dan pemangku kepentingan.
Menariknya, apabila merujuk putusan MA nomor 7 P/HUM/2020, yang membatalkan kenaikan iuran BPJS Kesehatan, MA menilai bahwa defisit BPJS Kesehatan disebabkan salah satunya karena kesalahan dan kecurangan (fraud) dalam pengelolaan dan pelaksanaan program jaminan sosial oleh BPJS.
Oleh karenanya, menurut MA, defisit BPJS tidak boleh dibebankan kepada masyarakat, dengan menaikan iuran bagi peserta pekerja bukan penerima upah dan peserta bukan pekerja). (CNN Indonesia, 2020).
Dilema ini menjadi salah satu perhatian kita akhir-akhir ini. Namun demikian, harus diakui, dalam upaya penanganan kesehatan masyarakat, BPJS lebih banyak terpaku pada upaya pemulihan kesehatan masyarakat yang berbasis pada penerimaan BPJS.
Sehingga, kita paham, mengambil sebuah keputusan di tengah ketidakpastian kondisi keuangan BPJS Kesehatan saat ini sudah pasti akan tetap menuai risiko pro-kontra terutama desain pembiayaan kesehatan.
Tiga konsep sakit
Secara akademik, sakit terkait dengan tiga konsep, yakni disease, illness, dan sickness. Ketiganya menunjuk bahwa sakit mengandung dimensi psikososial.
Disease berdimensi biologis, illness berdimensi psikologis, dan sickness berdimensi sosiologis. (Calhoun, dkk, 1994 dalam Thobib, 2020).
Disease adalah penyimpangan yang simtomnya diketahui melalui diagnosis. Penyakit yang berdimensi biologis. Sifatnya objektif. Ia bersifat independen dan bebas dari pertimbangan psikososial. Kemunculannya tidak dipengaruhi oleh keyakinan seseorang, seperti tumor, influenza, AIDS, dan lain-lain.
Sementara illness adalah konsep psikologis. Ia menunjuk pada perasaan, persepsi, atau pengalaman subjektif seseorang tentang ketidaksehatannya.
Keadaan tubuh ada yang dirasa tidak enak. Sebagai pengalaman subjektif, illness bersifat individual. Seseorang yang merasa terjangkit suatu penyakit, belum tentu dipersepsi atau dirasakan oleh seseorang. Namun, bagi orang lain hal itu justru dirasakan sakit.
Sedangkan sickness merupakan konsep sosiologis yang bermakna sebagai penerimaan sosial terhadap seseorang sebagai orang yang sedang mengalami kesakitan (illness atau disease).
Dalam keadaan sickness ini orang dibenarkan melepaskan tanggung jawab, peran, atau kebiasaan tertentu yang dilakukan saat sehat.
Kesakitan dalam konsep sosiologis ini berkenaan dengan peran khusus yang dilakukan terkait perasaan kesakitannya sekaligus memiliki tanggung jawab baru, yaitu mencari kesembuhan.
Secara psikologis, perasaan takut, khawatir, dan cemas justru akan menimbulkan stres yang dapat mengurangi ketahanan tubuh. Artinya, ada faktor psikologis yang menjadikan seseorang menjadi sakit.
Dalam situasi tersebut masuk kategori "illness" di mana setiap individu akan merasakan hal yang berbeda. Disinilah yang akan membedakan antara individu dan individu lain dalam menghadapi suatu penyakit yang ditentukan oleh gaya hidup dan paradigma secara bersamaan.
Sehingga, "sakit" itu dapat berdimensi subjektif-kulturalistik. Orang yang sedang sakit tentu punya keharusan untuk berobat agar sembuh. Kenapa? Karena hakikat manusia sejatinya sehat dan bugar.
Karena itu, pengobatan adalah bidang yang sangat kompleks. Banyak faktor yang berpengaruh di dalamnya. Dengan kompleksitas ini, tidak semua pengobatan dapat dimutlak-multakkan. Sering ada deviasi atau hal-hal yang belum memiliki penjelasan rasional.
Kerancuan pembiayaan
Semangat yang diusung pembiayaan kesehatan melalui BPJS adalah “not business as usualâ€. Karena bukan “business as usualâ€, kita berharap bisa merasakan program pelayanan kesehatan yang berkualitas.
Meskipun begitu, disadari bahwa dari sisi sumber pendanaan, pengelolaan dana, dan penggunaan dana BPJS Kesehatan merupakan masalah krusial.
Sebagaimana diketahui, problematika kesehatan di Indonesia sedang menghadapi berbagai masalah penyakit seperti pembiayaan kesehatan yang besar pada 2022.
Untuk penyakit katastropik antara lain penyakit jantung 15,5 juta kasus dan paling menguras isi kantong BPJS Kesehatan yakni Rp12,14 triliun, urutan kedua ditempati penyakit kanker sebanyak 3,15 juta kasus yang menelan biaya Rp 4,5 triliun, kemudian penyakit stroke dengan 2,54 juta kasus yang membutuhkan dana sebesar Rp 3,24 triliun.
Selanjutnya penyakit gagal ginjal 1,32 juta kasus dengan dana sebesar Rp 2,16 triliun. Data yang ada menunjukkan pola penanganan kesehatan masyarakat masih berfokus pada penanganan kuratif.
Disamping itu, ada kerancuan pembiayaan kesehatan yakni pasien yang dirawat dengan beban BPJS, dibayar per paket penyakit. Misalnya paket rawat inap pasien TBC di RS tipe B, dihargai Rp 2 Juta.
Artinya mau lama atau tidak dirawat, mau sedikit atau banyak tindakan yang dilakukan, mau sedikit atau banyak obat yang diberikan, mau satu atau lebih dokter yang merawat, maka BPJS akan membayar klaim setelah melalui proses cek dan ricek sebanyak Rp 2 juta.
Masalahnya, manusia dengan penyakit yang sama belum tentu respons pengobatannya sama terhadap obat.
Ada pasien yang bisa membaik dan sembuh (maksudnya layak dipulangkan dan bisa lanjut rawat jalan) hanya 3 hari saja, tapi ada juga yang butuh sampai sebulan bahkan lebih masih terbaring di RS, padahal penyakit sama, obatnya sama dan bahkan dokter yang merawat juga sama. Di sini ilmu kedokteran bukan ilmu matematika, 1+ 1 jadi 2.
Ironisnya, harga paket tiap penyakit ini mengambil harga terendah. Bahkan sudah 10 tahun berjalan, belum ada kenaikan harga yang berarti, padahal iuran BPJS sudah beberapa kali naik.
Prinsip BPJS : Kendali mutu, kendali biaya. Biayanya dikendalikan seminimal mungkin, tapi bagaimana mutunya? (Chaniago, 2024). Dalam term ekonomi-kesehatan kondisi ini sulit diterima
Fenomena ini memang kontraktif sehingga berkonotasi negatif.
Dalam sirkuit pasar bebas, tidak perlu heran dengan terjadinya ketimpangan dalam urusan pembiayaan kesehatan masyarakat.
Hukum kapitalisme di pasar bebas telah membuat institusi penyelenggara kesehatan memiliki 'modal' begitu banyak, sementara banyak orang lain kesulitan mendapatkan layanan kesehatan prima. Karena itu tidak bisa dipaksa sama pengobatan untuk semua orang.
Manajemen klinis
Oleh karena itu, dalam pelayanan kesehatan, jangan dibuat harga per paket, karena ini akan membatasi pengobatan sehingga dilema bagi para dokter mengobati pasien. Berikan kepercayaan penuh kepada dokter mengobati pasien.
Dokter dididik dan disumpah untuk mengobati pasien dengan pengobatan terbaik dan obat terbaik yang tentu tidak selalu mahal atau obat paten, tetapi yang sesuai dengan penyakitnya.
Bukan, obat dan tindakan yang diberikan dokter harus sesuai dengan coding fornas BPJS. Singkatnya, bayarlah sesuai fakta biaya yang dikeluarkan mengobati pasien sama seperti belum ada BPJS.
Disamping itu, perlu juga tata kelola klinis yang baik adalah penerapan fungsi manajemen klinis yang meliputi kepemimpinan klinik, audit klinis, data klinis, risiko klinis berbasis bukti, peningkatan kinerja, pengelolaan keluhan, mekanisme monitor hasil pelayanan, pengembangan profesionalisme dan akreditasi rumah sakit.
Lebih baik BPJS mendesain pembiayaan dan pelayanan fasilitas kesehatan terukur dan realistis, sehingga menimbulkan rasa konfidensial, keyakinan, dan harapan tiap-tiap individu, kelompok, komunitas, dan bangsa dan negara. Tujuannya menyukseskan program Indonesia sehat. (*)
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.