Pemilu 2024

Kisah Caleg yang Tidak Lolos: Pak Sumedi Hingga Ery Sandra Amelia 

Tak cuma kemenangan, Pemilu 2024 diwarnai pula oleh kisah caleg yang gagal. Salah satunya, kisah Pak Sumedi.

Editor: Agustinus Sape
KOMPAS/BAHANA PATRIA GUPTA
Rombongan pengantar pendaftaran calon anggota legislatif (caleg) Partai Gerindra melintasi Jalan Yos Sudarso untuk menuju Kantor KPU Distrik Fakfak, Kabupaten Fakfak, Papua Barat, 13 Mei 2023. 

POS-KUPANG.COM - Pemilihan Umum 2024 tak hanya berisi cerita kemenangan, tetapi juga kisah para pihak yang gagal menarik suara dari warga. Ada kekecewaan. Dalam situasi itu, mereka yang kecewa menarik bantuan yang sebelumnya diberikan kepada warga.

Nama Sumedi Madasik (51) mengemuka di jagat media sosial X (dulu Twitter). Singkat kisah, Sumedi memutus penyaluran air ke rumah warga dari sumur bor miliknya di Kampung Cisuru, Suralaya, Pulomerak, Cilegon, Banten. Hal itu dilakukan beberapa hari setelah dirinya gagal menarik cukup suara untuk melenggang menjadi anggota legislatif DPRD Kota Cilegon dari Partai Keadilan Sejahtera.

Sumedi adalah caleg PKS di Dapil 4. Pria ini bertarung memperebutkan suara di Kecamatan Pulomerak dan Gerogol. Dia memperoleh 635 suara di Pulomerak dan 51 suara di Gerogol.

Menurut Sumedi, penyaluran air diputus pada 18 Februari pukul 17.00 atau sekitar empat hari setelah hari pelaksanaan pemilu. Hal itu membuat penyaluran air ke rumah-rumah warga terganggu di lingkungan Cisuru.

Sebagai gambaran, Cisuru adalah daerah dengan dataran yang tinggi. Sumur bor milik Sumedi berjarak sekitar 2 kilometer dari permukiman warga Cisuru. Sumur bor dari Sumedi itu termasuk salah satu yang menopang kebutuhan air warga lingkungan Cisuru.

Dikonfirmasi melalui sambungan telepon, Jumat (15/3/2024), Sumedi membenarkan kabar tersebut. Sumedi menyebut tidak mampu lagi menanggung biaya tagihan listrik dari penggunaan sumur bor yang sebagian digunakan untuk keperluan warga.

Sumedi tidak memberikan penggunaan sumur bor miliknya itu secara cuma-cuma. Dari total tagihan berkisar Rp 4 juta-Rp 5 juta per bulan, ada biaya senilai Rp 1,5 juta yang pemakaiannya dibayarkan secara urunan oleh masyarakat. Biaya itu menyesuaikan kemampuan ekonomi warga.

Artinya, selama ini Sumedi masih menanggung beban berkisar Rp 2 juta hingga Rp 2,5 juta dari total tagihan listrik. Hal itu, menurut Sumedi, sudah berjalan sejak 2019. ”Saya tidak sanggup menyubsidi biaya yang besar setiap bulan,” ucapnya.

Sumedi menyebutkan, sebelumnya ada kesepakatan antara dia dan warga agar memilih dirinya sebagai anggota DPRD Cilegon di Pemilu 2024. Meski begitu, dia menampik bahwa penghentian penyaluran air bersih itu semata-mata karena dirinya tidak menang di tempat pemungutan suara dekat kediamannya.

Sumedi menganggap wajar jika dirinya berharap terpilih di TPS itu. Alasannya, warga telah sepakat untuk memberikan suara ke Sumedi saat Pemilu 2024.

”Wajar apabila saya berharap (dipilih). Namanya nyaleg, di mana-mana, butuh biaya. alat peraga saja beli. Belum ngobrol dengan masyarakat, butuh makanan ringan, kopi, rokok, air mineral. Tapi, saya tidak money politics,” katanya.

Yusuf, Ketua RT 003 RW 006 Cisuru, menuturkan, sebagian warga masih berharap bantuan air bersih. Lewat pesan tertulis, dia menyebutkan warga berharap ada campur tangan pemerintah untuk membuat air kembali mengalir.

Modal dengkul

Kisah Sumedi menjadi salah satu drama yang mewarnai pemilihan caleg di tingkat DPRD. Pengalaman Sumedi menandai fenomena caleg yang bermodal secukupnya untuk meraih suara.

Ery Sandra Amelia, calon anggota legislatif DPRD DKI Jakarta dari Partai Solidaritas Indonesia, juga bermodal mandiri untuk merengkuh suara rakyat. Setelah melalui proses Pemilu 2024, dia mengakui apa yang dia lalui sangat berat.

Halaman
12
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved