Opini
Urgensi Adopsi Sistem Informasi Desa
Salah satu target dalam SDGs adalah membangun institusi-institusi yang akuntabel dan transparan di semua level.
Oleh :Dony M Sihotang
Dosen Program Studi Ilmu Komputer FST Undana, Mahasiswa Doktor Ilmu Komputer Fasilkom UI
POS-KUPANG.COM - Baik negara maju maupun negara berkembang sedang menjalankan berbagai strategi untuk mencapai target dari Sustainable Development Goals (SDGs).
SDGs merupakan suatu rencana aksi global yang disepakati para pemimpin dunia, termasuk Indonesia, yang berisikan 17 tujuan dan 169 target yang diharapkan dapat dicapai pada tahun 2030.
Salah satu target dalam SDGs adalah membangun institusi-institusi yang akuntabel dan transparan di semua level.
Agenda tahun 2030 dari SDGs juga menyajikan konsep tata kelola berbasis data (data-driven governance) dan menyoroti tantangan dalam menyediakan tinggi, tepat waktu, dan dapat diandalkan.
Pemanfaatan Teknologi Informasi dan Komunikasi (TIK) dapat mendukung pemerintah dalam mencapai tujuan dan target SDGs. TIK memberikan banyak manfaat baik pada sektor bisnis, industri, dan juga pemerintahan.
Salah satu perwujudan dari implementasi TIK dalam sektor pemerintahan adalah elektronik government atau e-government yang bertujuan untuk membuat institusi publik lebih transparan dan akuntabel.
E-government adalah transformasi digital lembaga pemerintah, di mana sebagian besar transaksi administratif dilakukan secara elektronik untuk meningkatkan kinerja pemerintah, meningkatkan koordinasi, dan memberikan penyampaian layanan yang lebih cepat kepada warga negara.
Reformasi sektor publik dan transformasinya menjadi sektor publik digital merupakan keniscayaan yang diperlukan guna meningkatkan efisiensi, efektivitas, akuntabilitas dan transparansi, meningkatkan komunikasi dan akses informasi pemangku kepentingan.
Adopsi dan implementasi e-government diharapkan tidak saja terjadi pada level pemerintahan pusat dan daerah, namun hingga level pemerintahan desa.
Ini dapat dilihat dari diterbitkannya UU Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa Pasal 86 yang memberi kewenangan pada pemerintah daerah kabupaten untuk membangun Sistem Informasi Desa (SID).
SID merupakan sebuah platform generik dengan berbagai bentuk atau nama, seperti SAID, SIDEKA, ataupun SIDEKEM.
Apapun bentuk SID, pengembangan SID haruslah mampu menyediakan informasi kependudukan, pendidikan, kesehatan, kondisi sarana dan prasarana dasar, kemiskinan dan kerentanan penyakit, pembangunan, aset desa, organisasi kemasyarakatan, kegiatan ekonomi masyarakat, serta informasi kawasan perdesaan.
Melihat ragam kebutuhan informasi itu, maka SID dapat dianalogikan sebagai sebuah mobil pick-up yang dapat memuat beragam hasil bumi (disebut data), dan siap untuk disajikan dalam beragam makanan (disebut informasi) untuk kebutuhan sebuah keluarga (disebut pemerintahan desa).
Dengan demikian, SID yang dimaksudkan adalah sistem informasi (SI) yang dapat menjangkau banyak kebutuhan-kebutuhan desa, tidak hanya berfokus pada satu kebutuhan saja.
Keterjangkauan ini pun diharapkan dapat menjawab isu-isu SDGs di Indonesia mulai dari level pedesaan.
Berlawanan dengan harapan akan jangkauan SID, hingga saat ini masih banyak pemerintah daerah (kabupaten) yang belum mampu membuktikan keberhasilan adopsi SID.
Menurut laporan Combined Resource Institution (CRI), salah satu lembaga pengembang SID, kebanyakan kabupaten hanya mampu menerjemahkan konsep SID sebagai media informasi dalam wujud website desa.
Belum banyak daerah yang mampu secara konsisten membuktikan keterjangkauan SID untuk mendukung tata kelola data pembangunan desa-daerah. Jika pun ada, fungsi olah data dalam SID lebih ditujukan untuk pelayanan administrasi kependudukan.
Penyelengaraan SID sebagai suatu sistem informasi yang dikelola pemerintah desa harus selaras dengan perkembangan sarana dan kapasitas pemerintah desa, dan dipergunakan desa untuk perencanaan desa, melaksanakan akuntabilitas, transparansi, dan menyelenggarakan pelayanan publik.
SID yang dikelola desa harus dapat memenuhi kebutuhan supra desa untuk memonitor dan mengevaluasi keadaan serta perkembangan desa.
Kepentingan utama desa sendiri akan tata kelola dan informasi adalah untuk memudahkan pekerjaan perangkat desa dan memudahkan warga dalam mengakses informasi.
Sejak UU Desa diamanatkan, transformasi digital melalui adopsi dan implementasi SID masih belum sepenuhnya dapat dilakukan dengan baik oleh desa-desa di Indonesia.
Proses transformasi digital dalam sebuah pemerintahan atau adopsi e-government tidak hanya terkait teknologi semata, ini adalah sebuah tugas sulit yang perlu mempertimbangkan karakteristik negara itu sendiri.
Dalam konteks Indonesia, transformasi digital tidak terlepas dari kesenjangan digital yang terjadi khususnya antara wilayah Indonesia bagian barat dan wilayah Indonesia bagian timur.
Kesenjangan digital yang terjadi di desa tidak saja terkait masalah infrastruktur, melainkan juga terkait masalah pendidikan, komunitas, struktur kelembagaan dan tata kelola, dan juga keterampilan menggunakan TIK turut memperkaya kesenjangan tersebut.
Selain itu, di negara agraris atau kepulauan seperti Indonesia, desa merupakan wilayah yang cukup strategis dalam pengembangan ekonomi.
Permasalahan akses sumber daya, infrastruktur penunjang yang belum memadai, dan degradasi lingkungan menjadi faktor-faktor penyebab ketertinggalan di desa.
Alasan lainnya adalah masyarakat pedesaan masih diliputi masalah kemiskinan, keterbelakangan dan kerawanan sosial ekonomi lainnya.
Pada sisi lain, pengembangan kota cerdas yang gencar dilakukan sejak 10 tahun terakhir, telah berkontribusi bagi ketidakmerataan pembangunan antara kota dengan desa.
Ini juga akan semakin memicu ketimpangan ekonomi antara desa dengan kota ketika tidak ada upaya untuk turut mengembangkan desa. Selama ini ketimpangan antara kota dengan desa telah menjadi permasalahan yang cukup kompleks.
Inisiasi transformasi digital di wilayah pedesaan dalam konteks ini menjadi salah satu mekanisme untuk mengurangi ketimpangan antara desa dan kota di Indonesia.
Konsep dan praktik digitalisasi di wilayah pedesaan dapat mempercepat akselerasi pembangunan. Proses tersebut pada gilirannya akan mampu berkontribusi pada peningkatan pertumbuhan ekonomi dan kesejahteraan masyarakat desa.
Berbagai permasalahan yang terjadi di desa menjadi tantangan dan urgensi tersendiri untuk segera diatasi. Hadirnya UU nomor 6 tahun 2014 tentang Desa menjadi momentum dalam menciptakan kesejahteraan di desa.
UU Desa memberi ruang bagi pemerintahan desa dan juga masyarakat desa untuk berinovasi dan berkreasi dalam menciptakan ekonomi lokal yang berkelanjutan melalui SID.
SID sebagai manifestasi dari UU Desa dan pemerintahan digital memerlukan sebuah proses antara transisi tradisional dari proses analog ke digital menuju pendekatan transformatif pemerintahan digital yang lebih holistik.
Proses transisi atau fase yang dapat dialami dengan adanya penerapan pemerintahan digital adalah: digitasi, digitalisasi, dan transformasi digital.
Sederhananya, digitasi adalah pengkodean informasi analog ke dalam format digital; digitalisasi adalah bagaimana TIK dapat digunakan untuk mengubah proses bisnis yang ada; dan transformasi digital adalah fase yang paling meresap dan menjelaskan perubahan di seluruh organisasi.
Sebagian besar literatur berpendapat bahwa dua fase pertama, digitasi dan digitalisasi, adalah jalan menuju sebuah transformasi digital.
Penggunaan TIK di pemerintahan desa, seperti SID, secara umum mungkin saja dapat memberikan kebiasaan-kebiasaan berbasis digital yang tidak saja terjadi dalam pemerintahan desa tetapi juga bagi ekosistemnya.
SID dapat dilihat sebagai media bagi para stakeholder agar mampu memaksimalkan peran dan potensinya untuk berpartisipasi dalam tata pemerintahan.
Ini dapat berdampak pada mekanisme pengambilan keputusan agar tidak lagi bersifat top-down melainkan bottom-up.
Desa harus dibangun untuk meningkatkan kesejahteraan hidup manusia serta penanggulangan kemiskinan melalui penyediaan kebutuhan dasar, pembangunan sarana dan prasarana desa, pengembangan ekonomi lokal dan pemanfaatan sumber daya alam dan lingkungan secara berkelanjutan menuju tercapainya SDGs desa.
Pembangunan desa dilaksanakan dengan mengedepankan semangat kebersamaan, kekeluargaan, dan kegotongroyongan.
Realita yang dihadapi saat ini adalah sulitnya mengembangkan teknologi informasi dan komunikasi di desa.
Kebijakan dan program-program pemerintah pusat sering menempatkan desa sebagai objek bukan subjek, program-program pemanfaatan TIK hanya sampai pada tingkat kabupaten dan kecamatan.
Di era keterbukaan data, pemerintah pusat dan daerah perlu memberi ruang kepada pemerintah desa untuk menerapkan e-government sehingga pemerintahan desa dapat berpartisipasi dalam pemenuhan kebutuhan data.
Bukan saja sebagai pemasok data semata, melainkan pemerintahan desa seharusnya diberi kedaulatan untuk mengelola data mereka sendiri.
Opini: Nusa Tenggara Timur Menuju Swasembada Pangan |
![]() |
---|
Opini: Seni Berkarakter di Ujung Tanduk, Bakat Muda NTT Tenggelam dalam Arus Globalisasi |
![]() |
---|
Opini: Jebakan Passing Grade ASN, Bom yang Siap Meledak di Jantung Birokrasi Negeri |
![]() |
---|
Opini - Literasi Sains dan Kesadaran Isu Lingkungan di Kalangan Anak Muda |
![]() |
---|
Opini: Makin Merah Kerokan, Makin Parah Masuk Angin? |
![]() |
---|
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.