Breaking News

Transpuan di Kupang Babak Belur

Pelaku Penganiayaan Transpuan Berstatus Anak Disangkakan Pasal 170 

secara intensif, melakukan koordinasi dengan keluarga korban untuk melakukan otopsi di Rumah Sakit Bhayangkara. 

Penulis: Michaella Uzurasi | Editor: Rosalina Woso
POS-KUPANG.COM/MICHAELLA UZURASI
PODCAST - Dari kanan ke kiri, Ketua Divisi Transpuan IMOF NTT, Zamantha Karen, Kasat Reskrim Polresta Kupang Kota, AKP Yohanes Suhardi, Direktur LBH Apik NTT, Ansy Damaris Rihi Dara, Koordinator Liputan Pos Kupang, Novemy Leo.  

Laporan Reporter POS-KUPANG.COM, Michaella Uzurasi

POS-KUPANG.COM, KUPANG - Pelaku penganiayaan transpuan di Kota Kupang yang berstatus anak dibawah umur disangkakan pasal 170 ayat 1 dengan ancaman maksimal 15 tahun penjara.

Hal ini diungkapkan Kasat Reskrim Polresta Kupang Kota, AKP Yohanes Suhardi dalam Podcast Pos Kupang yang dihadiri bersama Direktur LBH Apik NTT, Ansy Damaris Rihi Dara dan Ketua Divisi Transpuan IMOF NTT, Zamantha Karen, Rabu, 10/01/2024. 

Yohanes menjelaskan, peristiwa ini terjadi pada tanggal 23 Desember sekitar jam 4 dini hari di cabang SMA Negeri 7 Kupang.

Pada saat itu korban bersama ojek sampai di TKP dan para pelaku bersama saksi sedang nongkrong sambil jualan petasan.

Baca juga: Pelaku Utama Penyebab Transpuan di Kupang Meninggal Seorang Residivis

Korban tiba  dengan jarak sekitar 7 meter dari para pelaku dan terdengar ada keributan antara ojek dengan korban sehingga salah satu tersangka menghampiri dan menanyakan kepada ojek tersebut mengapa ribut dengan perempuan. 

Lanjut dia, sang tukang ojek menerangkan bahwa korban hanya membayar lima ribu rupiah. Setelah mendengar jawaban korban dia mengetahui bahwa korban bukan perempuan lalu korban dipukul oleh pelaku CK. 

Tak berselang lama, datanglah lagi pelaku B dan satu orang lagi. Pelaku dewasa yang terakhir mengambil bambu dan menganiaya korban pada kepala bagian belakang  sehingga korban jatuh bersimba darah, kemudian mereka berlari ke arah Tofa berusaha untuk menghilangkan jejak. 

"Akhirnya korban ditolong, dibawa ke rumah sakit Leona terus kami mendapatkan laporan dan melakukan pengejaran dan saat itu kami mengamankan tiga pelaku sekaligus," kata Yohanes. 

Pihaknya pun melakukan pemeriksaan secara intensif, melakukan koordinasi dengan keluarga korban untuk melakukan otopsi di Rumah Sakit Bhayangkara

"Para pelaku ini, dua orang di bawah umur, yang satu dewasa dan tiga atau empat hari kemudian pelaku utama yang melakukan aniaya dengan bambu kami tangkap di Kefa, sampai sekarang kami melakukan proses, untuk pelaku anak ini kita gunakan sistem peradilan anak," ujarnya. 

"Untuk sementara kami mengamankan barang bukti. Bambu mereka (para pelaku) sudah bakar untuk menghilangkan jejak. Hanya kami ada amankan bekas bakaran seperti catok, cas, korban ini kan punya alat rias, itu mereka bakar semua. Handphonenya dibakar juga," tambahnya. 

Untuk pelaku berstatus anak, dilakukan pemberkasan dan berkasnya sudah dikirim untuk diteliti, sementara untuk pelaku dewasa Yohanes mengatakan, kemungkinannya besok. 

"Sesuai dengan aturan yang ada Undang-Undang sistem peradilan anak, UU nomor 11 tahun 2012 itu kami berhak untuk melakukan penahanan anak pada anak yang berumur diatas 14 tahun tapi kami punya waktu hanya 7 hari dan diperpanjang oleh kejaksaan 8 hari jadi hanya 15 hari. Kalau masa penahanan selesai bisa dikeluarkan demi hukum. Bukan dalam konteks proses hukumnya," jelas Yohanes. 

Dia mengatakan, proses pemberkasan agak terlambat sehingga pelaku dikeluarkan dari tahanan demi hukum setelah masa penahanan selesai. 

Baca juga: Polisi Bekuk Lagi Satu Pelaku Penganiaya Transpuan Hingga Tewas di Kupang

"Kami bukan mau bela diri tapi tanggal 23 kan masa Natal dan kejaksaan juga ada libur, waktu pemeriksaan anak juga harus didampingi oleh bapas (Balai pemasyarakatan) peksos (pekerja sosial), ada kendala itu juga tapi untuk sementara sudah selesai prosesnya, berkas sudah kirim, kami masih koordinasi dengan kejaksaan untuk mungkin ada petunjuk, dan untuk anak-anak kami wajib laporan setiap hari," kata Yohanes.

"Kami terapkan pasal 170 ayat 1 dengan ancaman hukuman 15 tahun," tambahnya. 

Menanggapi sangkaan tersebut Direktur LBH Apik NTT, Ansy Damaris Rihi Dara mengatakan pasal 170 saja tidak cukup. 

"Kami melihat dari apa yang baru saja dipaparkan oleh pak Kasat khususnya dalam konteks pertama melihat kasus ini yang pelakunya kita bisa lihat itu ada dua unsur, anak-anak dan dewasa. Saya ingin menekankan bahwa kalau untuk anak memang harus dipastikan anak-anak harus didampingi oleh bapas karena kalau tidak maka dia akan bebas demi hukum," kata Ansy. 

Soal mekanismenya saya sih berpikir memberikan apresiasi kepada teman-teman di Polresta seraya meminta untuk dimaksimalkan lagi karena saya tahu celah-celah itu juga tidak saja terjadi di kasus seperti ini.

Di banyak kasus juga kalau memang berproses dengan anak memang butuh waktu lebih tetapi saya kira ini teman-teman sangat profesional artinya itu sudah bisa dicegah.

Bisa berproses lebih baik walaupun tadi ada kendala perayaan Nataru sehingga dari teman-teman kejaksaan sepertinya belum bisa merespon itu dengan baik sehingga mereka juga harus keluar, kalaupun keluar saya kira ada mekanismenya juga sehingga mereka benar-benar bisa mempertanggungjawabkan dalam keadaan yang aman.

Yang kedua, terkait dengan pasal, memang ini dalam konteks kita nanti lihat apa petunjuk jaksa, tapi bagi saya tidak cukup dengan pasal 170. Harusnya junctonya dengan pasal 338. Fakta saya kira ada ya sudah jelas tadi sudah disebutkan ada menggunakan alat yaitu memukul di bagian vital di belakang kepala," jelasnya. 

"Kita lihat saja petunjuk jaksa seperti apa karena tadi juga disebutkan ada upaya menghilangkan barang bukti, saya kira itu juga perlu dipertimbangkan dalam kasus ini kami sebagai pendamping tidak saja berterimakasih karena gerak cepat dari teman-teman Polresta tapi juga ada kendala yang lain bagaimana teman-teman juga saya sangat berharap lebih memaksimalkan lagi melihat konteks kemarin sampai Desi meninggal itu apakah semua langkah-langkah ketika menemukan Desi di jalan dan dibawa ke rumah sakit apakah mekanisme itu dijalankan sesuai dengan regulasi yang ada. Misalnya kalau di rumah sakit kan bagaimana hak-hak pasien itu," tambahnya lagi. 

Dalam konteks kejadian seperti ini, menurut Ansy, sebagai masyarakat tidak saja APH tetapi pihak-pihak seperti rumah sakit dan lain-lain juga sebenarnya perlu diedukasi bagaimana penanganan yang tepat secara berjejaring sehingga langkah-langkah itu benar-benar menolong korban. 

Ketua Divisi Transpuan IMOF NTT, Zamantha Karen yang pertama kali hadir melihat Desi mengatakan, ketika dirinya sampai, Desi sudah diberi tindakan dan dipasang infus dan oksigen.

Baca juga: Polisi Tahan 3 Remaja Penganiaya Transpuan Hingga Tewas di Kupang

Ketika diminta dokter untuk mengambil keputusan terkait tindakan operasi yang harus dilakukan, Zamantha mengaku tidak berani karena dia hadir sebagai teman komunitas bukan sebagai keluarga. 

Untuk menandatangani di bagian administrasi pun Zamantha tidak berani karena bukan keluarga. Karena itu, Desi dikembalikan lagi ke IGD. 

"Korban tidak dicover BPJS dan kami yang datang untuk melihat keadaanya Desi kami tidak membawa uang sama sekali, itu yang harus saya jujur jadi akhirnya kita patungan untuk bayar registrasi pasien itu kurang lebih hampir 500.000," ujar Zamantha. 

"Nyawanya tidak tertolong jadi pasien atas nama Desi dinyatakan meninggal pukul 1:22," lanjutnya.(uzu)

Ikuti Berita POS-KUPANG.COM Lainnya di GOOGLE NEWS

 

Sumber: Pos Kupang
Berita Terkait
  • Ikuti kami di
    AA

    Berita Terkini

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved