Uskup Anton Pain Ratu Wafat

Mgr. Anton Pain Ratu: Hei Kau Wartawan Tulis yang Benar, Jangan Seperti Orang Farisi

Lelaki kelahiran Tanah Boleng, Pulau Adonara, Kabupaten Flores Timur, 2 Januari 1929 ini memang selalu bicara tegak lurus, menyasar pada masalah.

|
Penulis: Paul Burin | Editor: Dion DB Putra
POS-KUPANG.COM/HO
Uskup Emeritus Mgr. Anton Pain Ratu, SVD. 

Banyak pejabat berpikir media atau wartawan boleh-boleh diatur termasuk memulangkan ke redaksi.

Kejadian lain, Bupati Willem Nope melalui gubernur diminta segera ke Kupang untuk menjelaskan statementnya itu. Dan, Pak Willem akhirnya ke Kupang untuk memberi penjelasan di hadapan semua media.

Akan tetapi, tentang Uskup Pain Ratu yang mengatai saya sebagai "Orang Farisi," saya sungguh percaya bahwa Om Damy tak akan dan tak mungkin memrotesnya apalagi sampai menyurati atau membuat tulisan di media Pos Kupang.

Saya percaya bahwa Om Damy juga menganut, " Roma locuta causa finita, kalau Roma sudah bicara, urusan selesai. Apa kata Uskup Pain Ratu tak akan dibantah." Ini asumsi saya. Bisa jadi saya keliru dan atau melanggar etika karena tak melaporkannya pada yang memberi penugasan.

Tentang Suksesi Kepemimpinan

Saat suksesi kepemimpinan di TTU, saya berinisiatif untuk mewawancarai Mgr.
Pain Ratu di Atambua, tentang sikap politik Gereja Katolik atas sejumlah figur kandidat bupati.

Saat itu beliau ada, namun mendelegasikan kepada Vikjen Keuskupan, namanya saya lupa - untuk memberi penjelasan.

Jawaban Vikjen sungguh normatif bahwa gereja tak mencampuri urusan politik pemerintahan.

Gereja tetap pada relnya. Ada satu dua pertanyaan saya menyoroti figur tertentu yang atas berbagai informasi berseberangan dengan gereja. Kira-kira, apa sikap Gereja?

Saya yang membawa notes mencatatnya dengan baik. Kemudian, tayangkan di koran. Bapak Uskup Mgr. Anton Pain Ratu menilai, saya salah mengutip. Saya dinilai membuat informasi yang kurang akurat.

Kalau sekarang bisa terkategori sebagai berita yang hoax. Itulah yang memicu hingga ia "mengatai" saya saat retret itu.

Ya, bisa jadi saya keliru mengutip. Bisa juga saat proses editing di redaksi. Tapi saya tidak menyalahkan siapa-siapa. Kalau saya keliru, saya terima. Toh saat itu saya masih belajar menulis.

Peristiwa itu selalu muncul dalam ingatan saya ketika apa pun hal yang bertalian dengan Mgr. Anton Pain Ratu, sang Gembala Bertopi Merah ini. Sebuah pengalaman yang mendewasakan.

Pengalaman yang pahit, tapi saya sungguh berterima kasih atas "teguran" itu. Teguran untuk selalu berhati-hati dalam tugas terutama dalam konteks kutip-mengutip pernyataan narasumber.

Punya Kesamaan

Halaman
123
Sumber: Pos Kupang
Berita Terkait
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved