Opini

Sastra dan Ikhtiar Merawat Peradaban

Hal yang tentu patut diapresiasi mengingat konsistensi kreatif dalam mencipta karakteristik sastrawi semacam ini kian langka hari-hari ini.

|
Editor: Dion DB Putra
POS-KUPANG.COM/EKLESIA MEI
Icad Dhada selaku Kepala Sub Bagian Kebijakan Operasional Bank NTT foto bersama Maria Matildis Banda, penulis novel Pasola di Kantor Harian Pos Kupang, Jumat 8 Desember 2023 

Oleh Paul Ama Tukan
Peminat Sastra. Tinggal di Soverdi Oebufu-Kupang

POS-KUPANG.COM - Maria Matildis Banda, salah satu sastrawati NTT kembali meluncurkan novel terbarunya berjudul Pasola pada Jumat (8/12/2023) di Kantor Redaksi HU Pos Kupang.

Pasola tercatat sebagai karya keempat belas yang ditulis Ibu Mary, demikian ia biasa disapa. Ia mengatakan bahwa semua karya sastra yang dihasilkannya berlatar budaya NTT.

Baca juga: Maria Matildis Banda Luncurkan Novel ke-14 Berjudul Pasola

Baca juga: Atraksi Pasola Lamboya Ricuh, Anggota DPRD Sumba Barat: Kami Kecewa

Hal yang tentu patut diapresiasi mengingat konsistensi kreatif dalam mencipta karakteristik sastrawi semacam ini kian langka hari-hari ini.

Produktivitas ini juga serentak menegaskan bahwa sastra pada prinsipnya mesti selalu berakar pada lokalitas; memotret kenyataan konkret masyarakat serentak di dalamnya diselipkan sekian banyak kekayaan nilai yang diracik secara apik dan estetik.

Novel Pasola adalah karya mutakhir ibu Mary yang berkisah tentang masyarakat dan budaya Sumba.

Momentum ini, hemat saya, boleh jadi juga semacam “impuls” untuk dunia sastra NTT di tengah berbagai gempuran yang memberi sinyal bahwa sastra NTT mesti lebih dihidupkan secara konsisten.

Energi untuk merawat peradaban dari kencangnya kemajuan dan kemacetan daya cipta literatif, diiangatkan untuk kembali aktif. Juga di tengah redupnya apresiasi terhadap seni sastra, hari-hari ini.

Sebagai orang yang terlibat dalam kegiatan peluncuran novel tersebut, saya terkesan dengan pengalaman proses kreatif ibu Mary.

Karena itu tulisan ini hanya akan berfokus pada upaya memaknai kisah proses kreatif tersebut sebagai suatu nilai yang sekurang-kurangnya dapat menginspirasi setiap orang untuk memberi “jejak” pada hidup dan peradaban.

Lokalitas yang Kaya

Kekayaan nilai dan filosofi budaya-budaya NTT adalah jejak peradaban yang selalu relevan untuk dipelajari.

Selain keyakinan agama yang kuat, orang NTT telah memiliki keyakinan akan leluhur dan juga keadaban budaya yang kaya akan nilai moral. Keadaban budaya itu serentak adalah representasi pola pikir dan filosofi hidup masyarakat.

Salah satu upaya yang mulia untuk “mengawetkan” kekayaan budaya itu adalah dengan menulisnya. Ibu Mary, saya pikir, adalah satu dari orang NTT yang tekun mengemban misi peradaban ini yakni mengangkat budaya pada taraf refleksi kritis serentak membagikan kekayaan budaya kepada orang lain melalui seni sastra.

Estetika sastrawi yang kental membuat kenyataan dimaknai secara lebih kreatif dan setiap makna tiba secara lebih segar pada setiap orang.

Ibu Mary berkisah tentang bagaimana inspirasinya menulis Novel Suara Samudera Catatan dari Lamalera. Orang Lamalera memiliki semacam konsep “good life” yang khas yakni bagaimana menciptakan harmoni dalam tenunan sejarah hidupnya.

Karenanya, mereka yang berburu Paus adalah mereka yang sungguh memiliki keintiman relasi dengan alam serentak sungguh hidup berlandaskan nilai-nilai kebaikan yang dipegang bersama.

Konsep kesepadanan semacam ini sesungguhnya mengingatkan setiap orang bahwa perjuangan untuk menafkahi hidup mesti dimulai dengan kemampuannya untuk menciptakan relasi yang harmonis dengan Tuhan, sesama dan lingkungan hidupnya.

Sebagaimana kisah ibu Mary, orang Lamalera meyakini bahwa apa yang terjadi di laut saat berburu Paus ditentukan oleh sikap dan tindakan selama berada di darat.

Pada taraf faktual, keadaban budaya semacam ini boleh jadi hanya selesai sebagai sebuah seremoni dan nilai yang mengendap secara parsial.

Karena itu, budaya itu hanya dapat dimaknai secara lebih universal hanya jika didokumentasikan lewat karya seni, sastra khususnya.

Melalui sastra, budaya diangkat sebagai nilai dan cerminan untuk peradaban. Dan dengan demikian, dimensi sosialitas manusia berbudaya dan relevansi untuk peradaban dapat terejawantah. Seni sastra adalah mediumnya.

Mengapa? Hanya dengan sastra, realitas faktual dapat diangkat ke taraf lebih reflektif atau melampaui yang “sekedar biasa”, material dan pragmatis dengan cara melukiskan kisah secara kreatif-imajinatif. Dengan demikian, budaya sebagai satu entitas nilai dapat disebarkan sebagai satu produk budi pekerti antar manusia.

Namun, menangkap kekayaan lokal ini butuh kreativitas, ketekunan serentak kesabaran. Tidak semua orang memiliki cita rasa sastrawi untuk menangkap setiap kekayaan nilai dalam budaya.

Lebih-lebih di tengah hiruk pikuk dunia yang terkesan menuntut manusia untuk terus bergerak dan menjalankan banyak hal dalam satu kesempatan. Hampir pasti, semua peristiwa hidup yang bermakna justru berlalu begitu saja.

Di sini, apa yang dikisahkan Ibu Maria Matildis Banda patut menjadi contoh. Bagi saya, ia mampu bertekun untuk menangkap setiap peristiwa menjadi nilai-makna. Atau dengan kata lain, mendaur ulang setiap pengalaman yang biasa menjadi nilai yang luar biasa.

Kreativitas hanya mengalir kepada orang yang tekun dan sabar serta senantiasa mencintai “kedalaman” pikiran.

Menangkap Inspirasi

Pengalaman, selanjutnya, mesti menimbulkan ketakjuban/keheranan, kepenasaran.

Proses kreatif atas peristiwa hidup hanya dapat dimulai kalau setiap orang memiliki rasa takjub. Dan rasa itu hanya mungkin dialami oleh mereka yang senantiasa bertanya; mengapa, bagaimana, dll atau mereka yang selalu setia “merawat” pertanyaan.

Ibu Maria Banda berkisah bahwa berhadapan dengan kekayaan-kekayaan nilai budaya NTT yang ia sendiri alami, ia senantiasa bertanya; mengapa bisa begini dan bukan begitu, mengapa ini bisa terjadi?

Apa konsep hidup di balik setiap konstruksi budaya dan kebiasaan? Bagi saya, ini sebuah upaya untuk memancing inspirasi dan kemudian “menangkap”-nya.

Inspirasi datang lewat ‘habitualisasi’ diri sebagai orang yang terus bertanya, dan bukan dari kepasrahan total apalagi pada perspektif yang klise dan lazim.

Seni sastra selalu dimulai dengan ketakjuban terhadap kenyataan. Nadi seorang penulis ialah konsistensi untuk merasakan bahwa setiap apa yang ia lihat dan alami mesti menimbulkan pertanyaan. Pada saat yang sama, pengalaman adalah harga tak ternilai untuk terus mencipta.

Artinya, menjadi kreatif yang tetap membumi hanya dapat dicapai lewat ketidakengganan untuk “mencicipi” pengalaman. Lebih-lebih kalau menulis budaya dan memberi arti kepadanya, maka hal yang mutlak dilaksanakan ialah masuk dan mengalami budaya secara langsung lewat keterbukaan dan sikap interkulturalitas yang fleksibel.

Merawat Jejak Peradaban

Sangat sulit bagi seseorang yang serentak mencintai sastra sekaligus mengejar kekayaan ekonomis. Bagi seorang pencinta sastra, kekayaan yang tak pernah selesai ialah kenyataan yang didaur kembali secara kreatif dalam keheningan. Justru di situ, misi memberi jejak bagi peradaban akan tetap dikenang dalam sejarah.

Karya sastra mendokumentasikan berbagai kekayaan nilai. Lewat sastra, manusia berkaca tentang dirinya, setiap peradaban dimaknai secara dinamis, dan desain masa depan punya referensi yang lebih tertata.

Menulis secara umum dan Sastra khususnya, karena itu, seperti yang dikatakan Pramoedya Ananta Toer, “bekerja untuk keabadian”.

Nah, jika hari ini sastra tidak dihidupkan, dan lebih-lebih refleksi terhadap setiap budaya tidak ditransfer ke dalam berbagai medium seni,
maka kebudayaan kita akan terjebak dalam stagnansi dan ketertutupan yang naïf.

Jejak bagi peradaban ialah tugas setiap manusia yang berbudi pekerti, yang darinya, setiap anak peradaban berkaca diri.

Sebagai akhir, kekayaan budaya dan nilai kearifan lokal mesti menjadi konsen kesenian.

Kekayaan itu hanya bisa ditangkap oleh mereka yang setia pada kedalaman, kesabaran memberi jeda pada waktu, dan kreativitas bahasa yang terus diasah secara disiplin.

Sebab, pada fase tertentu, ketika fakta sedemikian kaku untuk ditafsir, sastra menjadikannya lebih lentur dimaknai. Ketika fakta lebih sulit untuk dipahami, sastra mampu memberi alternatif yang lebih terbuka.

Akhirnya, proficiat buat Maria Matildis Banda dan selamat berkarya secara berani bagi siapa saja yang kini bertekun dalam kreativitas seni, sastra khususnya, demi memberi jejak bagi peradaban. (*)

Sumber: Pos Kupang
Berita Terkait
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

Berita Populer

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved