Opini
Pesta Demokrasi dan Spirit Advent
Bukan hanya itu, di beranda-beranda media sosial seperti Facebook, Twitter, Youtube, Instagram juga kini dibanjiri slogan-slogan adven dan politik.
Oleh Yantho Bambang
Tinggal di Novisiat - Biara Rogationist
POS-KUPANG.COM - Kita sedang berada pada dua masa, yakni masa adven dan masa menjelang pesta demokrasi.
Karena itu, tidak heran jika di sudut-sudut kota dan kampung, di persimpangan jalan dan bahkan di pintu-pintu rumah, terpampang pernak-pernik atau simbol-simbol yang merepresentasikan dua peristiwa itu, yakni lampu kelap-kelip dan foto-foto para calon pada stiker-stiker dan baliho-baliho berukuran jumbo.
Bukan hanya itu, di beranda-beranda media sosial seperti Facebook, Twitter, Youtube, Instagram juga kini dibanjiri slogan-slogan adven dan politik.
Sungguh, pada nuansa ini, disposisi batin kita terbagi. Di satu sisi kita menyayat hati, mengkontemplasikan misteri inkarnasi, Sabda yang menjelma, yang akan kita kenangkan pada tanggal 25 Desember nanti.
Di sisi lain, hati dan pikiran kita bergejolak menyonsong pesta akbar demokrasi yang sudah di depan mata.
Sekilas pandang, memang sedikit problematik, jika tidak mau dibilang “aneh” ketika dua domain tersebut dipertautkan. Adven merupakan peristiwa religius atau agama, sementara pesta demokrasi merupakan peristiwa politik.
Dalam bentangan sejarah, baik di ranah praksis maupun diskursus, kedua dua domain tersebut memang selalu dipertentangkan satu sama lain.
Namun, kala kedua peristiwa tersebut secara kebetulan mewarnai landskap kehidupan kita saat ini, saya kira sangat penting untuk melihat relevansi antara keduanya.
Problem Umum Demokrasi
Adalah sesuatu yang tidak dapat dinafikan bahwa demokrasi yang selalu digelorakan itu mengandung virus yang sangat berbahaya, yang kita sebut sebagai virus hoax.
Proliferasi hoax di jagat dunia maya kini semakin massif dan tak terbendung. Virus ini, hemat saya sejatinya timbul dari dalam tubuh demokrasi itu sendiri. Kebebasan yang menjadi salah satu semboyan utama demokrasi itulah yang telah memungkinkan munculnya virus tersebut.
Orang seringkali salah mengaksentuasikan kebebasannya di ruang publik, baik virtual maupun corporal. Alih-alih menganggap hal itu sebagai hak berekspresi namun mengangkangi prinsip dasar kehidupan berdemokrasi yang selalu memperhitungkan bonum commune.
Kontestasi elektoral beberapa tahun lalu, Pilgub DKI dan Pilpres 2019, dll, memperlihatkan bagaimana virus itu beroperasi.
Dengan bantuan teknologi 4.0 atau 5.0 yang super canggih itu, orang dengan mudah mengelabui massa dengan menciptakan dan menyebarkan berita-berita atau konten-konten palsu tentang pasangan calon tertentu, yang berpotensi menurunkan elektabilitas kandidat tersebut.
Dengan mudah ujaran kebencian disebarkan. Ia tidak hanya mendidkreditkan martabat orang lain tetapi juga mempertajam permusuhan di antara warga. Masyarakat yang berbhineka sempat terpolarisasi, namun syukur tidak berujung pada kehancuran dan perpecahan yang serius.
Kondisi seperti itu memang akan selalu muncul dalam setiap ajang demokrasi, apalagi diperparah oleh munculnya era yang di sebut post-truth. Orang muak dengan data, fakta dan kebenaran.
Sebaliknya, yang sentimental, sensual dan emosionallah yang diterima dan berlaku umum. Orang tidak peduli dengan konsekuensi logis dari tindakan asal klik dan asal share pada ponsel pintarnya. Yang penting bagi dia bukan bonum commune namun kebaikan opurtunis dan egoistik.
Ia senang dan puas berselancar di jagat media sosial dengan sejumlah pengakuan semu yang dia peroleh lewat like dan komen tanpa mempertimbangkan konsekuensi, makna dan kedalaman.
Inilah bahaya yang timbul ketika sentimentalitas diselebrasi dan diglorifikasi daripada rasionalitas; ketika kepuasan semu lebih penting daripada kejernihan nurani. Hal ini tentu sangat memrihatinkan, dan kita menginginkan supaya pesta demokrasi saat ini diwarnai oleh spirit persatuan dan kesatuan.
Relevansi Spirit Adven
Bagi umat beriman Katolik, kita sudah sangat familiar dengan salah satu tokoh penting yang tampil pada masa adven yakni Yohanes Pembabtis.
Khusus pada minggu kedua adven, kita melihat dan mendengar bagaimana para evangelist menyoroti peran publik Yohanes. Bukan hanya para evangelist, Nabi Besar Perjanjian Lama, Yesaya bahkan sudah sejak lama berbicara tentang figure Yohanes Pembabtis yang datang mendahului sang
Mesias, dan berseru tantang pertobatan. Yohanes adalah seorang hidup dan mati untuk kebenaran.
Ia adalah figure yang tidak mudah berkompromi apalagi dengan hal-hal yang bersifat superficial. Ia tetap berpegang pada prinsip-prinsip fundamental.
Gambaran kisah hidup dan karya Yohanes tentu sangat relevan saat ini. Karena itu bunda Gereja, pada masa adven ini secara khusus mengajak, mengundang dan mendorong para anggota-anggotanya untuk menghidupi pesan yang dibawa atau diwartakan oleh Yohanes, yakni, bermetanoia, berdoa dan beramal.
Selain dilihat sebagai sikap berjaga-jaga dan atau persiapan dalam menyambut kedatangan sang pemimpin sejati, tindakan tersebut juga merupakan bentuk kepedulian dan harapan akan masa depan yang baik melalui seorang pemimpin.
Menjelang pesta demokrasi yang sudah di depan mata ini, sangat penting kiranya untuk mengaksentuasikan spirit adven. Pertama, suara profetis.
Seperti Yohanes Pembabtis yang tidak mudah berkompromi dengan hal-hal opurtunis, egoistik dan superficial, kita pun pada momentum yang menentukan ini bersama-sama menolak kepuasan semu yang diperoleh dari penyebaran kebohongan dan kebencian.
Memeluk, menghidupi dan menyebarkan kebenaran merupakan sikap yang perlu ditanam dan dibangun pada masa persiapan pemilu. Ini merupakan sikap preventif untuk membendung gejala polarisasi yang tidak sehat.
Kedua, rasionalitas. Spirit adven mendorong orang pertama-tama untuk berpikir jernih. Ini merupakan buah dari kontemplasi dan refleksi. Jadi, masa tenang adven ini mestinya mendorong kita untuk tidak hanya jernih secara spiritual tetapi secara integral, mencakup semua aspek terutama aspek intelektual atau conscience.
Artinya, menjelang pesta demokrasi ini, lebih elok bila kita secara jernih membaca dan mengkualifikasi visi-misi dan idiologi yang dipamerkan oleh masing-masing kandidat, baik yang terpampang pada baliho-baliho maupun lewat kampanye.
Kita tidak boleh terbuai oleh retorika atau slogan-slogan bombastis yang sensasional dan populistik. Kita harus secara jernih, kritis dan selektif dalam menentukan pilihan atau orang yang menurut tilikan kita layak menakhodai bangsa besar dan beranekaragam ini selama lima tahun ke depan.
Ketiga, kesiapan dalam menyambut pemimpin baru. Sama seperti pada masa adven ini kita mempersiapkan diri menanti kedatangan pemimpin sejati, yakni Mesias, demikian pun pada masa menjelang pemilu ini, kita mesti bersiap diri menyambut siapapun yang akan keluar sebagai pemenang dalam kontestasi elektoral kali ini.
Kendati tidak memilih pasangan tersebut, namun sebagai warga negara yang bertanggungjawab dan berjiwa besar, kita menyambut pasangan tersebut sebagai pemimpin legitim yang akan menakhodai bahtera Republik Indonesia selama lima tahun ke depan. Dan yang terakhir kembali pada spirit yang pertama yakni menjalankan fungsi control atau dalam terminologi lain sebagai advocatus dioboli.
Bahwa kita tidak hanya mendukung program kerja yang akan mereka eksekusi seturut visi dan misi mereka, Kita juga memiliki hak untuk mengoreksi jalannya roda pemerintahan yang akan mereka kemudi. Sebab demokrasi tanpa koreksi akan terjungkal menjadi tirani.
Inilah relevansi spirit adven yang kiranya penting untuk dihidupi pada momentum tampan menjelang pesta akbar yang akan datang. Harapannya adalah supaya tercipta panorama politik Indonesia yang ramah, bermartabat dan penuh makna. (*)
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.