Berita Lembata
Tena Laja Lamalera yang Menolak Punah
Dengan terampil, berbekal pisau kecil dan untaian daun gebang, para nelayan senior itu menganyam bagian-bagian yang sudah bolong.
Penulis: Ricardus Wawo | Editor: Oby Lewanmeru
Laporan Reporter POS-KUPANG.COM, Ricko Wawo
POS-KUPANG.COM, LEWOLEBA - Layar (laja) perahu (tena) yang sudah berlubang itu dibentangkan di lantai seperti tikar.
Sejumlah orangtua dan pemuda kemudian mulai menganyam bagian layar yang sudah rusak.
Layar terbuat dari daun gebang (sejenis daun palem).
Dengan terampil, berbekal pisau kecil dan untaian daun gebang, para nelayan senior itu menganyam bagian-bagian yang sudah bolong.
Baca juga: Relawan Taman Daun Putus Rantai Kemiskinan di Lembata dengan Bedah Rumah
Proses anyam layar ini ditampilkan saat puncak acara Festival Budaya Tani Tenane Fule Penete di Desa Lamalera A, Kecamatan Wulandoni, Kabupaten Lembata, Jumat, 24 November 2023 siang.
Selain para pengunjung festival, anak-anak sekolah juga antusias menyaksikan demontrasi anyam layar tersebut.
Salah satunya adalah Jordi, 10 tahun, yang asyik memperhatikan Lodovikus Lelaona sedang memperbaiki layar yang sudah robek. Lodovikus begitu tekun dan teliti. Simpul-simpul yang dia buat sangat rapi.
Tak lama berselang, pria berusia 70 tahun itu, mengajari Jordi cara menganyam layar. Dia menyuruh bocah itu duduk bersila, memberinya peralatan sederhana menganyam layar dan langsung mempraktikkannya. Dengan hati-hati dan dituntun Lodovikus, Jordi memasukkan simpul-simpul daun gebang.
Baca juga: Dosen Undana Hamzah Wulakada Pimpin Tim Penyusunan Naskah Pokok Pikiran Kebudayaan Lembata
“Ini salah satu tujuan festival budaya ini digelar, supaya ada transfer pengetahuan dari generasi tua kepada generasi muda,” ucap Kepala Desa Lamalera A, Yakobus Tufan kepada para pengunjung, yang salah satunya adalah Kapolres Lembata AKBP Vivick Tjangkung.
Jepo Bataona, tokoh masyarakat Lamalera, menjelaskan daun gebang yang dipakai untuk layar perahu dulunya diambil di wilayah Atanila.
Yang diambil adalah gebang muda yang tumbuh di daerah rawa-rawa.
Tena Laja, secara etimologis, berasal dari kata tena yang berarti perahu dan laja yang berarti layar.
Akan tetapi, orang Lamalera biasanya menyebutnya menjadi satu kesatuan, tena laja, yang bermakna perahu (pledang). Kedua istilah ini tidak bisa dipisahkan.
Baca juga: DPRD Lembata Sesalkan Pasar Pada Terbengkelai Usai Dibangun
Setiap suku di Lamalera, menurut Jepo, mempunyai simbol persatuan yakni lango uma tena laja yang artinya rumah besar (lango uma) dan pledang (tena laja). Makna dari warisan tena laja ini sebenarnya adalah pemersatu suku dan pemersatu kehidupan ekonomi rumah tangga.
Meski para nelayan sudah mengenal mesin untuk bertolak ke tengah lautan, Jepo mengatakan, peran layar (laja) masih sangat penting sampai sekarang dan sebenarnya tidak tergantikan.
Dia menceritakan pernah ada kejadian, pledang pergi ke tengah laut untuk menangkap ikan paus dengan bantuan mesin. Sampai di tengah laut, pledang itu tidak mengibarkan layarnya. Hasilnya mereka tidak berhasil menangkap ikan paus.
Baca juga: Karyawan Perusahaan Mutiara Meninggal di Dasar Laut Loang Lembata
“Jadi meski ada mesin sekalipun, layar itu meski tidak dipakai juga tetap harus ada di atas pledang karena dia satu kesatuan dengan pledang itu,” ujarnya.
Dalam pandangannya, Jepo yakin kemampuan masyarakat Lamalera untuk menganyam layar itu tidak mungkin hilang karena setiap tahun pemilik tena laja itu selalu menurunkan layar dan memeriksa bagian mana yang harus diperbaiki.
“(layar) rusak bukan seluruhnya, ada beberapa bagian saja yang perlu diperbaiki dan anak-anaknya atau anak-anak yang ada di pantai selalu datang untuk melihat cara menganyam layar. Jadi, saya yakin kemampuan itu susah untuk hilang,” paparnya.
Lodovikus Lelaona, nelayan senior desa Lamalera, menambahkan, layar masih sangat diperlukan dalam keseluruhan tradisi leva nuang (penangkapan ikan paus). Dia mengakui saat ini nelayan memang dimudahkan dengan adanya mesin untuk membawa perahu ke tengah lautan. Akan tetapi biasanya, jika menangkap ikan paus, mesin itu harus dimatikan jika sudah mendekati sasaran. Layar pun wajib dikibarkan.
Seperti Jepo, Lodovikus percaya kemampuan atau keterampilan orang Lamalera untuk menganyam layar tidak mungkin hilang. Dia juga sudah mengajari anak-anaknya cara menganyam layar seperti yang biasa dia lakukan.
Festival Budaya Tani Tenane Fule Penete sudah selesai. Setidaknya, ada pesan yang disampaikan. Salah satunya; Tena Laja Lamalera menolak punah. (*)
Ikuti berita POS-KUPANG.COM lainnya di GOOGLE NEWS
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.