Berita NTT
Antisipasi Hadapi Dampak Bencana di NTT, DP3A NTT Soroti Kasus Kekerasan Terhadap Perempuan
dibuat terpisah antara perempuan dan laki-laki, kondisi toilet atau jamban yang sesuai dan nyaman digunakan, serta penerangan yang mencukupi.
Penulis: Elisabeth Eklesia Mei | Editor: Rosalina Woso
Laporan Reporter POS-KUPANG.COM, Eklesia Mei
POS-KUPANG.COM, KUPANG - Antisipasi menghadapi dampak bencana di Nusa Tenggara Timur, Dinas Pemberdayaan Perempuan dan Anak (DP3A) NTT menyoroti kasus kekerasan terhadap perempuan dan anak.
Kepala Dinas Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (DP3A) Provinsi NTT, Iien Adriany menyampaikan, usai bencana dibutuhkan perhatian khusus dari berbagai pihak terkait upaya untuk memberi perlindungan terhadap perempuan dan anak.
"Dengan kondisi dan pengawasan yang terbatas, banyak terjadi hal yang tidak diinginkan, pelecehan dan sebagainya. Kita harus sepakat dan komit satu hati satu kata, standarnya seperti apa," kata Iien Adriany dalam kegiatan Orientasi Sub Klaster Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Berbasis Gender dan Pemberdayaan Perempuan ( PP KBG PP) di Hotel Swiss Belcourt Kupang, Rabu 15 November 2023.
Menurutnya, sering terjadi kepanikan ketika sementara bencana berlangsung, padahal harusnya perlindungan anak dan perempuan harus dipersiapkan sejak awal. Hal itu terbukti dengan fasilitas pengungsian yang tidak tersedia dengan baik.
Baca juga: Kunker ke Sumba Barat Daya, Kapolda NTT Beri Hadiah Helm dan Handphone Kepada Siswa SMK Pancasila
Misalnya, lanjut dia, tenda pengungsian yang harus dibuat terpisah antara perempuan dan laki-laki, kondisi toilet atau jamban yang sesuai dan nyaman digunakan, serta penerangan yang mencukupi.
"Manajemen di lapangan harus diperhatikan, bencana sudah diatasi, tapi dampak ikutan setelah bencana ternyata ada hal-hal lain," ujarnya.
Iien menyebutkan, kasus kekerasan yang menimpa perempuan cukup besar. Berdasarkan data kekerasan SIMFONI PPA Tahun 2023, di NTT terdapat 339 kekerasan psikis, 411 kekerasan fisik dan 348 kekerasan seksual.
Menurutnya, potensi kekerasan berbasis gender berpotensi besar terjadi ketika bencana, karena itu ia berharap ada pencegahan yang lebih intensif dengan menggandeng mitra lainnya.
"Saya bersyukur tahun ini semua OPD sudah lakukan perencanaan responsif gender. Jadi kita libatkan semua mitra untuk sama-sama mencegah hal itu terjadi," ungkapnya.
Sementata itu, Perencana Ahli Madya Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak, Merry Mardiana menyebut, kekerasan berbasis gender tersebut membahayakan fisik dan psikologi.
Menurutnya, kerentanan kekerasan yang terjadi ketika bencana diakibatkan oleh tenda yang masih digabung antara perempuan dan laki-laki.
"Lokasi air yang jauh atau bahkan kadang kesulitan air, sedangkan perempuan mempunyai keperluan tertentu. Toilet yang kurang dan dalam kondisi yang memprihatinkan," katanya.
Selain itu, tambahnya, penerangan yang masih kurang. Dalam keadaan gelap, rentan terjadi kekerasan seksual dan memberatkan perempuan karena tidak mengetahui siapa pelakunya.
"Kami dari Kementerian juga telah fokus melihat kebutuhan yang lebih spesifik ketika bencana, yakni ketersediaan pembalut bagi perempuan," ungkapnya.
Baca juga: GMNI Persoalkan Tunjangan DPRD Kota Kupang
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.