Wawancara Eksklusif

Wawancara Eksklusif Prof. Ikrar Nusa Bhakti: Jokowi Bak Raja

Pakar Politik, Prof. Ikrar Nusa Bhakti menyebut ada beda Presiden Joko Widodo ( Jokowi ) yang dulu dengan sekarang.

Editor: Alfons Nedabang
TRIBUNNEWS.COM
Pakar Politik Prof. Ikrar Nusa Bhakti saat Wawancara Eksklusif dengan News Manager Tribun Network, Rachmat Hidayat di Studio Tribunnews, Komplek Kompas Gramedia, Palmerah, Jakarta pada Senin (13/11). 

Prof Ikrar sangat khawati dengan Pak Jokowi, takut endingnya setelah usai pemerintahannya Pak Jokowi malah tidak baik. Atau mungkin Prof juga bisa menangkap atau melihat orang di lingkarannya Pak Jokowi memiliki sudut pandang yang berbeda, kemudian Jokowi bersikap tidak konsisten atau pernyataannya sendiri?

Ya jadi begini ada beberapa poin yang menjauhkan saya menjadi orang yang sangat kritis, satu, saya juga enggak ingin ya Pak Jokowi itu apa namanya itu mengakhiri masa jabatannya dengan yang saya katakan hard landing atau bahkan crash landing. Makanya ketika beliau bicara mengenai ada drama Korea dan sebagainya, saya jadi ingat itu film Crash Landing On You.

Jadi hal ini yang saya enggak mau terjadi, karena buat buat kami, buat saya pribadi, Pak Jokowi itu tahun 2014 itu adalah seorang calon presiden yang idealkan dengan moto ‘Jokowi Adalah Saya’ dan kemudian beliau menjadi presiden dan kita harapkan inilah presiden yang ideal bagi Indonesia pada saat itu bahkan sampai 2019 itu.

Tapi kalau kemudian beliau kemudian ingin mengangkat anaknya menjadi calon wakil presiden dan kemudian dengan memaksakan dengan berbagai cara atau itu apa namanya itu pokoknya dengan cara-cara yang tidak benar, itu yang kemudian menjadikan kami beberapa orang yang pernah menjadi pendukung keras beliau itu kan menjadi sangat kritis.

Anda lihat saja ada Mas Gunawan Muhammad di situ, ada kemudian juga budayawan juga, beberapa juga apa namanya tokoh-tokoh agama yang baru saja membuat suatu pernyataan di rumah Gus Mus, kemarin.

Itu juga sebenarnya sama intinya bahwa apa namanya tuh janganlah anda berbuat begitu, karena saya melihat Jokowi ini yang tadinya ‘Jokowi Adalah Kita’ sekarang sudah menjadi ‘Jokowi seperti Raja’. Itu yang saya pikir enggak benar ini karena ini berarti saya teringat oleh puisinya Gus Mus ‘Kok ini Republik rasa Kerajaan’.

Jadi itulah yang kemudian membuat banyak orang itu marah, banyak orang itu mengkritik, Kenapa demikian karena lagi-lagi kalau dia misalnya mengajukan Gibran menjadi calon presiden ketika anaknya itu sudah berusia 40 tahun, fine. Ketika dia tidak lagi berkuasa, fine, tidak ada persoalan apa namanya itu bangunan dinasti yang akan dipersoalkan oleh masyarakat.

Jadi tapi kalau anda lihat ya ini sudah melanggar hukum, kemudian dilakukan ketika beliau masih menjadi presiden, karena saya yakin, bukan lagi saya menduga, saya yakin akan terjadi abuse of power yang katalog lauge action itu ya apa namanya itu ‘power tends to corrupt, and absolute power corrupt absolutely’.

Sekarang, walaupun presiden Jokowi itu tidak berkuasa secara absolute, tetapi tidak ada kekuatan politik apapun, tidak ada tokoh-tokoh politik apapun, tidak ada institusi bangunan dari trias politika apapun, ya yang bisa menjadi penyeimbang dari kekuasaan eksekutif yang dimiliki oleh Jokowi.

Not even parlemen, non event di badan-badan yudikatif karena badan yudikatif juga sudah menjadi kaki tangan dari Presiden itu sendiri. Jadi itulah yang kemudian orang melihat, wah ini bisa bahaya nih. Kalau MK saja suatu lembaga Yudikatif tertinggi di Republik ini bisa di mainkan oleh Presiden, apalagi kemudian badan-badan lain seperti Polisi, juga KPK, dan juga kemudian juga Kejaksaan Agung dan sebagainya dan sebagainya.

Prof, sekarang saya mau tanya sudut pandang Prof, netralitas saat rakyat akan berdemokrasi. Dari aparat. Apakah kemudian Prof merasa khawatir akan netralitas yang akan di lakukan oleh para aparat, termasuk penyelenggara Pemilu?

Ya persoalan penyelenggara Pemilu atau khusus KPU dan Bawaslu ini kan menjadi satu pertanyaan besar. Kenapa demikian ya karena waktu kemarin menyisir misalnya partai-partai yang layak menjadi partai yang berhak ikut pemilihan umum itu pun juga ada persoalan.

Kedua, KPU sendiri waktu itu juga tidak mendesak supaya KPU kemarin tuh kan begitu putusan MK nomor 90 itu keluar langsung dia membuat suatu surat-surat tanpa membuat PKPU yang baru.

Itu kan kemudian kita tanyakan kemudian sebetulnya sadar enggak sih, tanpa PKPU yang baru itu enggak bisa ini dan anda jangan lupa lho ya, masuknya diterimanya Gibran menjadi cawapres itu dilakukan sebelum PKPU yang baru itu diterbitkan.

Nah kalau ini terjadi bukan mustahil ada orang yang mempertanyakan juga, loh legitimasinya gimana, belum ada PKPU yang baru, kok tiba-tiba sudah lolos bisa masuk menjadi cawapres saja, sudah diterima oleh KPU di Jalan Imam Bonjol.

Halaman
1234
Sumber: Tribunnews
Berita Terkait
  • Ikuti kami di
    AA

    Berita Terkini

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved