Opini
Opini Arnoldus Wea: Yang Muda, Yang Usaha Informal
Dalam satu dua dekade terakhir, semangat kewirausahaan di kalangan kaum muda Nusa Tenggara Timur ( NTT ) bertumbuh cukup baik.
Potensi, peluang usaha dan ethos kewirausahaan itulah yang telah merangsang tumbuhnya sektor informal baik di kota maupun desa termasuk di provinsi NTT.
Peluang pekerjaan di sektor bisnis informal sangat terbuka lebar. Para pemuda boleh saja mengakses atau memilih usaha dengan menjadi pedagang kecil dan pedagang kaki lima, usaha warung, kios, petani, nelayan, ojek, menjual pulsa, aksesoris telpon genggam, servis komputer, laptop, sold sepatu, tukang cukur rambut, salon, dan lainnya.
Bahkan, aktivitas produktif yang berhubungan dengan ekonomi sirkular (circular economy) yang sedang trend sekarang bisa menjadi peluang kerja kelompok orang muda.
Baca juga: Yayasan Arnoldus Wea Serahkan Sapi Kurban Idul Adha di Masjid Besar An Nur Aimere Ngada
Sejauh ini, potensi dan peluang pada ekonomi sirkular seperti kolektor besi tua, pengepul kertas, besi/paku, botol mineral, plastic dan barang rongsokan lainnya hampir semua pelaku dari luar NTT, seprti Jawa dan Madura.
Padahal, aktivitas 5R (recycle, reuse, recovery, reduce, repair) merupakan potensi usaha yang sangat menjanjikan karena sangat berhubungan dengan kampanye ekonomi hijau (green economy) dan pembangunan berkelanjutan (sustainable development) yang sedang gencar sekarang ini.
Semuanya ini dapat dilakukan secara informal, terbuka dan bebas. Tinggal bagaimana upaya mengatasi persoalan yang sering menghambat.
Identifikasi Hambatan
Kendati di tengah gairah usaha yang digerakan sebagian pemuda, mereka, masih juga terhalang oleh banyak persoalan yang mungkin membuat para pemuda enggan terlibat dalam sektor informal.
Persoalan-persoalan itu seperti pertama, kurang adanya pengetahuan atau wawasan bahwa ada sektor ekonomi atau bisnis yang bisa dijalankan secara bebas, mandiri dan terbuka.
Kedua, adanya keengganan untuk masuk dalam sektor ini karena gengsi dan ingin meraih pendapatan secara instan. Banyak orang merasa gengsi untuk berjualan kecil-kecilan di pasar, menjadi pemulung atau menjadi pedagang keliling, tukang jahit, sold sepatu.
Baca juga: Yayasan Arnoldus Wea Gelar Bincang Jurnalistik di Bajawa, Hadirkan Jurnalis dan Pegiat Literasi
Ada juga, mentalitas instan yang mendorong para pelaku untuk mencari pendapatan dengan menghalalkan segala cara. Mereka ingin kaya mendadak, lalu, memilih aktivitas dengan memperdagangkan manusia, menjadi mucikari, perjudian online atau konvensional, juga perampokan atau pencurian. Korupsi yang terjadi di sektor atau lembaga formal masuk dalam mentalitas ini.
Persoalan ketiga, masalah sosial dan budaya. Hidup boros dan suka pesta masih menjadi persoalan besar untuk masyarakat NTT. Mentalitas ini, didukung oleh adat istiadat atau budaya yang membuat orang mau tidak mau harus terlibat didalamnya. Akibatnya, modal yang sebenarnya untuk usaha misalnya hanya dihabiskan untuk kegiatan sosial budaya.
Keempat, persoalan regulasi dan kebijakan pemerintah daerah yang kurang ramah terhadap pelaku sektor informal. Lantaran penegakan aturan dan keindahan kota terjadilah benturan berulang-ulang antara Satpol PP dengan para pedagang kecil (PKL) seperti yang terjadi di Kota Kupang, Ruteng dan Kefamenanu.
Regulasi dan tata ruang kota membuat para pelaku sektor ini merasa tidak diberi ruang yang cukup untuk aktivitas ekonominya. Mirisnya lagi, ada larangan untuk tidak boleh membeli barang dagangan para PKL.
Kelima, persoalan ego wilayah berupa pembatasan penjualan barang antar kabupaten. Kasus larangan penjualan ayam dari Nagekeo ke wilayah Manggarai, misalnya, memperlihatkan kecenderungan itu.
Baca juga: Yayasan Arnoldus Wea Dhegha Nua Bagi Bingkisan Paskah di Watu dan Leke Ngada
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.