Opini

Opini Arnoldus Wea: Human Trafficking dan Sektor Informal NTT

Sepanjang 2014-2022, tercatat ada 700 korban pekerja migran asal NTT yang pulang tanpa nyawa.

|
Editor: Alfons Nedabang
POS-KUPANG.COM/HO-ARNOLDUS WEO
Arnoldus Wea, menulis opini Human Trafficking dan Sektor Informal NTT. Penulis adalah Cofounder Arnoldus Wea Foundation, tinggal di Jakarta. 

POS-KUPANG.COM - Beberapa waktu belakangan, kita disuguhkan dengan berita yang sangat menyayat rasa perihal jatuhnya korban jiwa akibat Human Trafficking atau perdagangan manusia.

Nusa Tenggara Timur ( NTT ), menjadi penyumbang terbesar korban perdagangan manusia illegal tersebut. Sepanjang 2014-2022, tercatat ada 700 korban pekerja migran asal NTT yang pulang tanpa nyawa. Tahun ini saja, sudah 63 orang yang kembali ke NTT dalam peti mati. Tragis!

Tragedi kemanusiaan ini, telah membuka mata berabagai kelompok stakeholder. Bahkan, karena kasus di NTT inilah, pemerintah pusat pun akhirnya membuka mata.

Satgas khusus Tindak Pidana Perdagangan Orang (TPPO) terbentuk lantaran banyaknya angka kematian para pekerja migran asal NTT dari berbagai negara terutama Malaysia.

Kematian itu terjadi akibat lemahnya perlindungan dan pengawasan terhadap para pekerja yang sebagian besarnya adalah korban tipu daya dan rayuan dari para pelaku yang bergerak liar dan bebas.

Baca juga: Opini Arnoldus Wea: Reba, Po Gege dan Milenial

Para pelaku itu dengan mudah, bebas dan gampang merekrut para pekerja migran terutama para wanita dan anak-anak yang berharap agar keluar dari belitan kemiskinan.

Kelompok perekrut begitu mudah memainkan isu kemiskinan untuk mencapai target dan meraih keuntungan. Kebetulan pula, isu ini sangat lekat dengan kondisi masyarakat NTT. Isu ini menjadi jalan tol bagi para pelaku itu untuk sampai pada sasarannya.

Seakan gayung bersambut, para korban pun merasa bahwa itu adalah tawaran angin surga yang menggiurkan agar bisa keluar dari belitan ekonomi yang menghimpit. Karena keterbatasan pengetahuan akan syarat dan prosedur bagaimana menjadi pekerja migran mereka pun ikut saja hingga terjebak dalam perangkap maut tersebut.

Melihat gambaran di atas, tentu muncul dalam benak kita, apakah upaya penegakan hukum dengan pembentukan Satgas TPPO efektif mengatasi persoalan human trafficking secara substansial terutama untuk konteks NTT?

Black Informal Sector

Para pelaku atau perekrut baik perorangan maupun kelompok ini tentu saja adalah orang-orang yang bergerak pada jalur kegiatan ekonomi informal dan juga illegal. Kelompok ini dikategorikan dalam kelompok usaha informal bawah tanah (underground/black informal economic sector).

Para pelaku yang bergerak dalam sektor informal illegal ini tentu punya jaringan yang luas mulai dari tingkat lokal NTT, nasional maupun internasional. Pergerakan mereka ini tentu saja lancar dan mulus bila didukung oleh oknum-oknum “kuat” di kalangan pejabat sipil, militer, ataupun polisi.

Baca juga: Yayasan Arnoldus Wea Serahkan Sapi Kurban Idul Adha di Masjid Besar An Nur Aimere Ngada

Aktivitas ekonomi dari kelompok underground sector ini meliputi perdagangan narkotika, penyelundupan barang baik ke dalam maupun keluar, perjudian, perdagangan manusia (wanita dan ana-anak) baik untuk industri hiburan dan seks komersial, penjualan organ, pub dan club malam, pelayan restoran, juga pekerja rumah tangga dan lain sebagainya. Karena prosedur perektrutan yang tidak resmi maka sulit untuk dikontrol atau diawasi negara.

Persoalan ini mudah dimengerti, karena yang namanya underground sector, pergerakannya liar, lincah, bebas, sembunyi-sembunyi, menguasai jalan tikus, dan pandai bermetamorfosis dalam bentuk kegiatan terselubung lainnya.

Aktivitas ilegal mereka menggabungkan bentuk formal seperti perusahaan bisnis legal yang digabungkan dengan jaringan kejahatan lintas negara bangsa.

Halaman
123
Sumber: Pos Kupang
Berita Terkait
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved