Opini

Opini Peter Tan: Asketisme Intelektual

Dalam skala nasional, krisis asketisme intelektual telah menyebabkan merosotnya mutu akademisi dan mandegnya kemajuan pendidikan dan ilmu pengetahuan.

Editor: Alfons Nedabang
POS-KUPANG.COM/HO-UNWIRA
Seminar nasional ini menghadirkan tiga narasumber, antara lain, Dr. Bonifasius Hargens, Dr. Budi Munawar Rachman, dan Dr. Norbertus Jegalus. Seminar itu dimoderatori oleh Pater Peter Tan, SVD, MFi (kiri), Dosen Fakultas Filsafat Unwira Kupang dan digelar di ballroom Santo Hendrikus, Gedung Rektorat, Kampus Penfui. 

Dalam filsafat, terdapat sejumlah filsuf yang menghasilkan karya-karya cemerlang dari pergumulan intelektual dengan semangat asketis dan disiplin diri yang tinggi.

Dari askese intelektual yang keras, Heidegger, seorang filsuf Jerman tersohor, menghasilkan Being and Time, suatu karya cemerlang yang memengaruhi seluruh sistem filsafat setelahnya dan dibaca bukan saja oleh para filsuf tetapi juga ilmuwan.

Di pondok Todnauberg, Jerman, tahun 1923, Heidegger hidup menyendiri ditemani istrinya. Namanya tak tercatat pada buku telepon. Tukang pos juga tak diizinkan mengebel pondoknya.

Setelah sarapan jam 7 pagi, dia masuk kamar untuk membaca, menulis, membalas surat-surat, dan baru istirahat pada jam 17.00. Jam 18.00 sampai 20.00, dia membaca puisi karya penyair-penyair klasik.

Baca juga: Opini Emanuel Kolfidus: Politik dan Demokrasi

Dari askese intelektualnya, dia melahirkan pemikiran-pemikiran baru yang merevolusi teori-teori filsafat dan ilmu pengetahuan.

Immanuel Kant, juga seorang filsuf Jerman tersohor, selama 13 tahun hidup dalam masa hening, di mana dia tidak menghasilkan karya apapun. Namun, 13 tahun itu adalah waktu keheningan kreatif.

Selama 13 tahun, dia membaca, mereview, memeriksa dan menguji semua teori filsafat dari seluruh sistem filsafat sebelumnya dengan disiplin diri dan fokus yang tinggi.

Dia berhasil menemukan celah teori dan mulai menyusun sistem filsafat baru. Alhasil, setelah 13 tahun, lahir sebuah karya besar yang menggemparkan tidak hanya dunia filsafat tetapi juga sains dan ilmu pengetahuan pada umumnya yaitu Critics of Pure Reason (Kritik atas Budi Murni).

Dari dunia seni, askese intelektual kita bisa temukan misalnya dalam catatan tentang komponis Messiah, Goerge F. Handel. Dikisahkan bahwa Handel menciptakan lagu tersebut selama tiga minggu, dari 22 Agustus-14 September 1741.

Selama tiga minggu itu, Handel mengeram dalam kamarnya untuk menangkap insiprasi, membangun imajinasi, menyusun notasi dan membubuhkan syair-syair yang hidup.

Makanan dan minuman dibawa masuk ke dalam kamar. Alhasil, pada 13 April 1742, Messiah atau lazim kita sebut, Halleluya Handel, yang dinyanyikan oleh koor raksasa menggemparkan seluruh kota Dublin.

Baca juga: Opini Maksimus Ramses Lalongkoe: Mencari Kontestan Kontes Gagasan

Messiah tetap merajai musik klasik hingga hari ini (Dhakidae, 2013). Tentu masih banyak contoh serupa dari dunia seni. Begitu juga dari dunia sains yang menghasilkan penemuan-penemuan terkenal dan mengubah dunia. Semua karya intelektual tersebut terjadi melalui asketisme intelektual yang militan.

Bangun Asketisme Intelektual

Beberapa contoh tersebut sengaja disebutkan untuk memperlihatkan bahwa tidak ada kegemilangan intelektual dan prestasi akademik yang diperoleh secara instan, tanpa askese, puasa, disiplin diri, tahan uji, dan kerja keras, kecuali bila Anda dengan tidak tahu malu melakukan manipulasi, kecurangan dan plagiarisme.

Semua karya kreatif, genius dan prestisius diperoleh melalui kisah-kisah perjuangan dan penderitaan, disiplin diri, dan puasa dari segala kesenangan dan kemalasan.

Halaman
123
Sumber: Pos Kupang
Berita Terkait
  • Ikuti kami di
    AA

    Berita Terkini

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved