Opini
Opini Peter Tan: Asketisme Intelektual
Dalam skala nasional, krisis asketisme intelektual telah menyebabkan merosotnya mutu akademisi dan mandegnya kemajuan pendidikan dan ilmu pengetahuan.
POS-KUPANG.COM - Baru-baru ini, kita terkejut dengan hasil investigasi Kompas yang menyebutkan bahwa sejumlah calon guru besar melakukan joki karya ilmiah agar naskah mereka dipublikasikan di jurnal internasional berindeks Scopus.
Praktik kecurangan akademik tersebut tentu hanyalah puncak gunung es dari masifnya praktek serupa baik di kalangan dosen maupun mahasiswa di berbagai universitas di Indonesia.
Awdry dan Ives (2022) menemukan bahwa sejak 2014 di antara mahasiswa di berbagai perguruan tinggi, praktik joki karya ilmiah, plagiarisme, menyontek dan berbagai bentuk kejahatan akademik lainnya meningkat menjadi 15,7 persen.
Menurut Hamid Awaludin (Kompas, 17/2), praktik joki karya ilmiah dan bentuk-bentuk kecurangan akademik lainnya berakar pada tuna-akhlak akademisi yaitu pencopotan prinsip-prinsip moral dan etika seperti kejujuran dan kebenaran demi meraih gelar akademik bergengsi dan berlimpah insentif.
Whinda Yustisia (Kompas, 20/2) berpendapat bahwa bukan hanya krisis moral melainkan juga rendahnya minat riset dan kemampuan akademisi untuk mendesign penelitian adalah akar kecurangan akademik.
Dapat disimpulkan bahwa kecurangan akademik berakar pada krisis integritas moral dan kapabilitas intelektual akademisi atau mahasiswa.
Baca juga: Opini Peter Tan: Politik Identitas dan Populisme Islam di Indonesia
Asketisme dan Kerja-kerja Intelektual
Ada faktor fundamental lain yang luput dari perhatian namun sangat berpengaruh pada peningkatan kecurangan akademik di perguruan tinggi dan rendahnya mutu ilmu pengetahuan di Indonesia yaitu krisis asketisme intelektual.
Kerja-kerja intelektual, prestasi akademik, dan karya-karya besar yang menginspirasi umat manusia sepanjang zaman membutuhkan asketisme intelektual yang militan.
Asketisme artinya menunda kenikmatan dan membatalkan kesenangan diri untuk membangun fokus dan ketenangan dalam mengejar target-target penting, signifikan dan positif dalam hidup.
Sikap asketis semula adalah gaya hidup para pertapa dalam mengejar tujuan-tujuan spiritual, namun dewasa ini, semakin disadari bahwa sikap asketis adalah fondasi mental yang harus dilatih dan dimiliki jika seseorang ingin sukses dan berprestasi dalam hidup.
Prestasi akademik, karya-karya intelektual, kesenian dan temuan-temuan sains hanya bisa dicapai melalui aksese yang matang yaitu sikap menunda kenikmatan dan rasa malas, pengendalian diri, disiplin diri yang tinggi, tahan uji, ketekunan akademik, kerja keras dalam studi,dan ketenangan.
Ada beberapa contoh yang menunjukkan betapa asketisme intelektual sangat penting bagi kemajuan ilmu pengetahuan. Yuval Noah Harari, penulis beberapa buku terkenal dan best seller internasional seperti Homo Sapiens, Homo Deus, dan 21 Lessons for the 21 Century, adalah seorang yang benar-benar asketis dalam menulis, meneliti hingga menghasilkan karya akademik cemerlang di tingkat internasional.
Baca juga: Opini Ismail Sulaiman: Bersama BRIN Menenun Pengetahuan Lokal
Untuk menulis bukunya, Harari menghabiskan waktu 8-9 jam sehari untuk duduk di depan laptop, dalam kesendirian di kamar pribadi atau ruang kerjanya, tanpa ponsel cerdas. Hingga Mei 2021, Harari tidak memiliki HP.
Harari berlatih meditasi Vipassana yaitu teknik meditasi untuk membangun fokus, ketenangan dan tahan uji. Harari mengaku bahwa berkat Vipassana dia memperoleh fokus, kedamaian, wawasan dan ketenangan dalam menulis. Melalui askese intelektualnya, Harari menghasilkan karya-karya genial yang menginspirasi dunia saat ini.
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.