Opini
Opini Peter Tan: Asketisme Intelektual
Dalam skala nasional, krisis asketisme intelektual telah menyebabkan merosotnya mutu akademisi dan mandegnya kemajuan pendidikan dan ilmu pengetahuan.
Di balik sebuah tulisan yang bagus, ada seorang penulis yang tekun, mencintai ketenangan dan keheningan, tahan banting, memiliki daya tahan mental dan fisik untuk membaca, mengkaji berbagai literatur, melihat gap teori dan menenun teks.
Karya-karya intelektual dan sains yang mengubah dunia pada umumnya tidak hanya mengandalkan kecerdasan dan bakat, tetapi juga yang jauh lebih besar pengaruhnya adalah askese intelektual.
Tanyakan kepada para penulis yang melahirkan karya yang bagus, bagaimana dia menghasilkan karyanya dan berapa jam sehari dia habiskan untuk membaca, mereview literatur dan duduk menulis di depan laptop.
Baca juga: Opini Reinard L Meo: Peristiwa Abu Dhabi dan Dialog dari Hati ke Hati
Tanyakan kepada orang-orang berprestasi, bagaimana susah payah dia meraih prestasinya. Tanyakan kepada orang-orang sukses dalam berbagai bidang ilmu dan bidang kehidupan, bagaimana mereka bisa sukses.
Saya yakin, jawabannya ialah karena mereka memiliki semangat askese yang tinggi: sikap menahan diri, hidup hemat, disiplin diri, tahan banting, bergumul dalam penderitaan, dan berjuang selagi masih bisa.
Krisis asketisme intelektual telah menjadi perhatian dunia pendidikan saat ini. Plagiarisme dan budaya kecurangan akademik lainnya merupakan produk dari mental instan: ingin menghasilkan karya yang bagus tapi dengan jalan cepat yaitu jalan curang.
Dalam skala nasional, krisis asketisme intelektual telah menyebabkan merosotnya mutu akademisi dan mandegnya kemajuan pendidikan dan ilmu pengetahuan di Indonesia.
Menurut Moh. Isom Yusqi (Media Indonesia, 20/4/2023), pudarnya asketisme intelektual menjadi salah satu alasan mengapa ilmuwan dan akademisi di Indonesia jarang atau bahkan tak pernah menghasilkan ilmu-ilmu dan teori-teori baru yang diakui secara internasional.
Sebaliknya, kita adalah konsumen setia ilmu dan pengimpor ide atau teori-teori dari bangsa lain. Kita belum menjadi produsen dan pencipta teori-teori dan inovasi baru.
Mengapa kita tidak kreatif dan hanya mengekor? Jawabannya ialah karena bukan asketisme intelektual yang menjadi sikap dan the way of life para akademisi dan mahasiswa kita, melainkan budaya kecurangan dan penipuan: joki karya ilmiah, plagiarisme, menyontek, malas dan rendahnya disiplin akademik.
Berhadapan dengan situasi yang memprihatinkan ini, adalah tugas semua stakeholder pendidikan untuk membentuk karakter dan semangat aksetisme intelektual di sekolah dan perguruan tinggi. (Penulis adalah Pengajar Fakultas Filafat Unwira Kupang)
Ikuti berita POS-KUPANG.COM di GOOGLE NEWS
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.