Berita Timor Tengah Utara

Kurikulum Merdeka Belajar, Wadah SMPN Maubeli Menjahit Puing Peradaban

satu sekolah contoh bagi sekolah tingkat pertama di Kabupaten Timor Tengah Utara. Karena sekolah SMP Negeri adalah sekolah penggerak.

|
Penulis: Dionisius Rebon | Editor: Rosalina Woso
POS-KUPANG.COM/DIONISIUS REBON
POSE -  Pose para siswi SMPN Maubeli Kabupaten Timor Tengah Utara saat mengikuti proses pembelajaran menenun di sekolah. 

Laporan Reporter POS-KUPANG.COM, Dionisius Rebon

POS-KUPANG.COM, KEFAMENANU - Di sudut salah satu bangunan berdinding bebak (dinding yang terbuat dari pelepah daun lontar) Sekolah Menengah Pertama Negeri (SMPN) Maubeli, di Kota Kefamenanu, Kabupaten Timor Tengah Utara, Provinsi Nusa Tenggara Timur, seorang anak dengan tangan gemulai memainkan "Teno" (alat menenun tradisional dalam bahasa Dawan).

Beberapa orang rekannya menyaksikan anak tersebut menenun kain sedangkan, beberapa orang lainnya sibuk menggulung benang.

Tepat di balik jendela tiga ruangan kelas berdinding bebak (dinding yang terbuat dari pelepah daun lontar) itu beberapa orang siswi sedang berdiri bergelut dengan hawa panas sambil menyaksikan penjelasan dari seorang guru.

Baca juga: Paskah 2023, Ratapan Angkalale Umat Stasi St. Alexander Oelnitep Timor Tengah Utara

Sementara di kelas lainnya, para siswa (laki-laki) sibuk menggunting kain bekas. Dengan hati-hati seseorang mengulur benar di salah satu ujung dan seorang lagi menggunting dari ujung lainnya

Terik mentari di pertengahan Bulan April 2023 kian menyengat. Hawa panas di Kota Kefamenanu, merupakan sesuatu yang lumrah. Kota yang terletak di lembah Bikomi ini menyajikan kisah nyata yang sangat menarik.

SMPN Maubeli merupakan salah satu Sekolah Menengah Pertama yang terletak di pinggiran Kota Kefamenanu. Meskipun fasilitas di sekolah ini sangat memprihatinkan tetapi tidak dengan semangat dan visi para pendidik dan peserta didik.

Bahkan saat sekarang, sekolah ini menjadi salah satu sekolah contoh bagi sekolah tingkat pertama di Kabupaten Timor Tengah Utara. Karena sekolah SMP Negeri adalah sekolah penggerak.

Project Menenun di SMPN Maubeli  

Sembari mendengarkan penjelasan dari guru fasilitator, para siswi terbagi dalam beberapa kelompok perlahan menenun helaian benang menjadi selendang. Senyum merekah di wajah mereka yang masih polos. Beberapa orang anak sibuk membantu rekan lainnya mengurai benang. Aktivitas ini sontak menggugah hati penulis. Rupanya kegiatan menenun membutuhkan konsentrasi dan keseriusan yang luar biasa.

Bunyi gertak kayu beradu dengan kayu lainnya mengingatkan penulis pada aktivitas ibu-ibu di kampung halaman puluhan tahun silam. Mereka menenun sambil menyanyikan syair syahdu ketika para suami berangkat ke kebun.

Rupanya pelajaran menenun para siswi SMPN Maubeli ini kembali membuka memori penulis untuk bernostalgia dengan waktu. Aktivitas menenun ini nyaris hilang seiring perkembangan zaman.

Fakta-fakta peradaban yang nyaris punah ini mendorong salah seorang siswi Kelas VII A Sekolah Menengah Pertama Negeri (SMPN) Maubeli, Adriana G. Nesi bersama rekan-rekannya serius menekuni mata pelajaran yang terbilang cukup asing di era sekarang.

Perkembangan peserta siswi kelas VII SMP Negeri Maubeli di bidang project kewirausahaan sangat baik. Adriana dan rekan-rekannya telah memasuki tahap berkembang. Mereka dibimbing langsung oleh Fasilitator Project Kewirausahaan SMPN Maubeli, Arolsiana Afoan S. Pd.

Baca juga: Paskah 2023, Ritual Soet Oe dan Taniu Uis Neno dalam Tradisi Prosesi Kure di Timor Tengah Utara 

Ketika masih di semester pertama, Adriana dan teman-temannya bahkan sangat kesulitan mengerjakan cara membuka benang serta menggulung benang. Hal ini membutuhkan proses yang cukup lama.

Pada semester kedua, Adriana dan rekan-rekannya hanya membutuhkan waktu 2 jam pelajaran menyelesaikan proses menggulung benang untuk menghasilkan satu selendang.

Pada hari ketiga, mereka hanya membutuhkan satu minggu pelajaran mengurai benang yang dalam bahasa Dawan disebut "non" untuk menghasilkan 6 buah selendang. Proses menenun ini, dilaksanakan selama jam pelajaran menenun di sekolah. Tidak dilakukan di rumah.

Langkah paling utama dalam proses ini yakni para siswi bisa menenun. Meskipun masih menggunakan alat-alat tradisional.

Semakin menggeluti pelajaran tersebut, Adriana semakin menyadari bertapa menarik dan mudahnya melaksanakan aktivitas menenun. Selain itu, banyak sekali proses pembelajaran di sekolah yang sangat bermanfaat. Berbeda dengan proses pembelajaran sebelumnya di tingkat sekolah dasar.

Tidak hanya menenun. Pelajaran yang sangat menarik bagi Adriana dan rekan-rekannya di sekolah yakni literasi. Pengalaman literasi ternyata telah menjadi bagian paling menarik bagi mereka.

Pelajaran literasi selalu dilaksanakan pada akhir setiap pelajaran. Mereka diminta untuk membaca atau membuat kesimpulan dari setiap mata pelajaran yang diterima.

Baca juga: Mengenal Ritual Trebluman dalam Prosesi Kure di Noemuti Timor Tengah Utara

Menariknya, pelajaran literasi ini menumbuhkan semangat membaca dan menulis serta menambah daya serap dan daya ingat para siswa-siswi SMP Negeri Maubeli. Meskipun hanya dilaksanakan 10 menit pada akhir sebuah mata pelajaran. Tetapi dampak dari kelas literasi ini sangat luar biasa.

Menenun dalam Bingkai Visi dan Misi SMPN Maubeli 

Tak jauh dari ruangan kelas berdinding bebak tersebut, berjejer lima bangunan ruangan kelas berwarna putih-biru yang dibangun secara permanen. Satu ruangan digunakan sebagai ruang kepala sekolah dan ruangan guru.

Seorang wanita paruh baya duduk di hadapan satu unit laptop sibuk memainkan jemari di atas keyboard. Kepala Sekolah Menengah Pertama Negeri Maubeli bernama Maria Seo Teme, S. Pd ini merupakan salah satu kepala sekolah penggerak tingkat SMP di Kabupaten Timor Tengah Utara.

Kurikulum Merdeka secara khusus untuk tingkat pendidikan SMP yang ditetapkan oleh Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset dan Teknologi Republik Indonesia di Sekolah Menengah Pertama  dengan beragam pembelajaran mitra intrakurikuler dimaksudkan agar siswa-siswi dapat menyesuaikan dengan kompetensi dan bakat yang dimiliki.

Oleh karena itu, penerapan kurikulum merdeka lebih merujuk kepada bakat dan minat para siswa-siswi, di mana proses pembelajaran lebih berpihak kepada mereka. Para siswa diberikan kebebasan untuk mengembangkan atau mengekspresikan bakat dan kemampuan mereka masing-masing.

Kurikulum merdeka nyaris sama dengan K13 tetapi di dalam kurikulum merdeka, ada tambahan beberapa mata pelajaran seperti teknik informatika dan P5 (Project Penguatan Profil Pelajar Pancasila). Di dalam P5, lebih banyak melakukan aksi nyata di mana setiap siswa dilatih untuk sekurang-kurangnya memiliki tingkat kemahiran di salah satu bidang.

Penerapan P5 di SMPN Maubeli diejawantahkan dalam 3 tema besar yakni kearifan lokal, gaya hidup berkelanjutan dan kewirausahaan. Secara khusus dalam tema kewirausahaan, para siswi SMPN Maubeli mengambil tenunan daerah sebagai bagian realisasi tema tersebut. Sedangkan bagi para siswa (kaum laki-laki), mereka membuat keset kaki yang mana hal ini masih dalam kaitan dengan mengolah sampah.

Para siswi di SMPN Maubeli pada umumnya tidak memiliki pengetahuan di bidang menenun. Namun, berkat  P5 dalam kurikulum Merdeka Belajar, mereka perlahan mulai memiliki pengetahuan dan keahlian di bidang menenun.

Penerapan kurikulum merdeka di SMPN Maubeli telah berlangsung selama 2 semester. Hanya siswa-siswi kelas VII yang mulai mengikuti proses pembelajaran dengan menggunakan kurikulum merdeka. Sedangkan, siswa-siswi kelas VIII dan IX masih mengikuti proses pembelajaran kurikulum K13.

Proses penilaian tema P5 khususnya menenun ini ada dalam 3 tahap yakni belum berkembang, berkembang, dan tahap mahir. Pembelajaran menenun dilaksanakan selama satu jam hingga 120 menit setiap hari di sekolah dan hanya berlangsung sejak hari Selasa hingga Sabtu.

Pada semester pertama, satu buah selendang bisa dihasilkan selama 3 bulan pembelajaran oleh para siswi selama di sekolah. Karena disesuaikan dengan jam pelajaran di sekolah. Tetapi, para siswi diperkirakan bisa menuntaskan satu buah selendang dalam kurun waktu satu bulan pembelajaran di sekolah jika mereka sudah sampai pada tahap mahir.

Mengingat pada semester lalu, cukup banyak siswi yang belum berkembang dalam menenun maka, pada semester ini pelajaran menenun ini dilaksanakan lagi secara berkelanjutan. Keputusan pihak sekolah ini terbukti manjur. Pada semester ini, semua siswi sudah mulai menunjukkan perkembangan dan tingkat kemahiran perlahan nampak di mana mereka bisa menggulung benang, menenun dan lain-lain tanpa intervensi dari para guru.

Metode penerapan proses pembelajaran menenun juga perlahan dirubah. Kelompok menenun yang semula pada semester lalu berjumlah empat orang dalam satu kelompok, pada semester ini dikurangi menjadi dua orang dalam satu kelompok. Dua orang siswi dalam setiap kelompok sudah bisa melaksanakan proses menenun dan menghasilkan satu selendang.

SMPN Maubeli memiliki konsep jangka panjang di mana pada tema kewirausahaan khususnya project menenun ini, para siswi yang akan duduk di kelas IX nanti, sekurang-kurangnya bisa menghasilkan sarung dari karya tangan mereka sendiri tanpa intervensi dari guru.

Pilihan penerapan proses pembelajaran menenun dalam tema kewirausahaan ini merupakan bagian dari keprihatinan SMPN Maubeli atas langkanya budaya menenun yang perlahan menghilang secara khusus di kalangan kaum muda era ini.

Upaya ini bertujuan untuk menghidupi kembali budaya menenun secara khusus dalam diri generasi Suku Dawan di era modern. Apabila tidak diperkenalkan sejak dini atau tidak ada regenerasi mengenai budaya menenun maka suatu saat kemungkinan-kemungkinan seperti akan hilangnya budaya tenun ini bisa saja terjadi.

Di sisi lain, langkah yang diambil SMPN Maubeli ini bertujuan untuk mengajarkan para siswi berwirausaha melalui menenun. Apabila suatu saat nanti mereka tidak melanjutkan pendidikan, mereka telah memiliki keahlian menenun untuk mengais rupiah.

Belajar dari apa yang disampaikan Kepala Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Kabupaten Timor Tengah Utara, Beato Yoseph Frent Omenu dalam sebuah momentum beberapa waktu lalu bahwa, ada ruang dalam kurikulum merdeka belajar perihal inovasi pengembangan kurikulum lokal maka, langkah maju SMPN Maubeli ini adalah bagian dari penerjemahan kurikulum lokal.

Mengenai penerapan kurikulum lokal tersebut, SMPN Maubeli adalah sebuah sekolah di Kabupaten Timor Tengah Utara yang patut diapresiasi dan wajib menjadi sekolah contoh. Inovasi yang dilakukan Kepala Sekolah dan jajaran di SMPN Maubeli sebuah tonggak sejarah baru.

Ada tiga hal pokok yang ada di dalam implementasi Kurikulum Merdeka yakni; Mandiri Belajar, Mandiri Berubah dan Mandiri Berbagi. Berkaca pada langkah-langkah maju yang sudah diterapkan, SMPN Maubeli telah masuk dalam kategori Mandiri Berubah. 

Mengingat saat ini sudah ada penggabungan antara urusan pendidikan dan kebudayaan dalam satu wadah yakni Dinas Pendidikan dan Kebudayaan berdasarkan Perbup nomor; 77 tahun 20222 maka, dinas terkait sangat mendukung upaya pelestarian budaya di lingkungan sekolah.

Menindaklanjuti hal ini, Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Kabupaten Timor Tengah Utara bertekad menerapkan hal-hal yang berkaitan dengan budaya dalam kurikulum lokal ke depannya. Dalam rencana kerja tahun 2024, Dinas Pendidikan dan Kebudayaan juga telah menganggarkan pengembangan kurikulum lokal dalam pembelajaran di sekolah.

Kurikulum Merdeka Belajar, Wadah SMPN Maubeli Menjahit Puing Peradaban 

Perihal tenunan khas Timor, khususnya Kabupaten Timor Tengah Utara, secara historis masyarakat setempat sudah mengenal kain tenun sekitar abad 13 atau 14. Tetapi kain tenun "Atoin Meto" ini lahir dari pengaruh budaya Donsong (di Vietnam) dan Lapita (di bagian Utara Papua). Budayawan Kondang Asal Kabupaten Timor Tengah Utara, Yohanes Sanak mengisahkan hal ini beberapa waktu lalu.

Kapas juga disebutkan bukan merupakan tanaman asli di Pulau Timor. Sekitar abad 13 atau 14 para pedagang dari China membawa kapas dan ditanam di Pulau Timor lalu berkembang. Ketika itu, hanya kelompok bangsawan atau "Usif" di kalangan masyarakat Kabupaten TTU yang memiliki kain tenun.

Seiring berjalannya waktu, kepemilikan kain tenun ini pada akhirnya berkembang hingga sampai pada masyarakat dengan kasta yang terendah atau disebut "amaf". Ada perbedaan mencolok antara kain tenun yang dikenakan oleh seorang bangsawan dan yang dikenakan oleh kelompok "amaf". 

Kain tenun yang dikenakan oleh perempuan dinamakan "Tais" dan yang dikenakan laki-laki bangsawan dinamakan "Bete". 

Kain tenun yang dikenakan seorang Usif (bangsawan) biasanya mencapai mata kaki. Sedangkan seorang amaf atau masyarakat pada kasta terendah saat mengenakan kain tenun hanya serendah betis atau lutut. Perbedaan lain tampak dalam motif dan warna kain tenun. Khusus untuk kaum "amaf" warna yang dominan adalah hitam dan putih dengan sedikit motif. Sementara bagi kaum bangsawan ada banyak warna dan banyak motif dan motif itu dipatenkan oleh masing-masing penemunya.

Selain memiliki fungsi sosial, kain tenun juga memiliki fungsi ekonomis. Pada zaman dahulu, kain tenun digunakan sebagai alat tukar. Apabila tidak memiliki uang, warga setempat menukar kain tenun dengan sapi atau barang lainnya.

Sementara itu ada juga fungsi politik dalam wujud kain tenun. Hubungan antar kerajaan tidak hanya diikat melalui perkawinan tetapi juga melalui kain tenun. Keterikatan hubungan antara dua kerajaan melalui kain tenun dinilai sangat kuat.

Langkah SMPN Maubeli menerapkan project menenun dalam kurikulum merdeka belajar patut diapresiasi. Pasalnya, generasi muda di zaman ini jarang sekali ditemukan orang yang bisa menenun. Hal ini juga menjadi harapan Yohanes Sanak beserta para budayawan lainnya jika program ini menjadi pelajaran di sekolah. Dengan demikian, kelompok muda bisa melestarikan warisan leluhur. 

Peradaban berkaitan dengan banyak hal. Menenun atau kain tenun merupakan bagian daripada peradaban. Di mana sebelumnya masyarakat Dawan belum mengenal kain tenun dan akhirnya mengenal kain tenun atas pengaruh Budaya Dongson dan Lapita.

Seiring berjalannya waktu, kain tenun mulai mengalami transformasi menjadi pakaian dan lain sebagainya seirama dengan perkembangan jaman saat ini. 

Hilangnya budaya menenun beberapa generasi di Kabupaten Timor Tengah Utara menjadi kekhawatiran dan menimbulkan kegamangan tersendiri bagi masyarakat secara khusus budayawan. Kegamangan ini perlahan diobati dengan hadirnya kurikulum merdeka belajar dalam sistem pendidikan di Indonesia.

Lahirnya kurikulum merdeka belajar dengan mengedepankan kurikulum lokal, menjadi bagian dari wadah bagi lembaga pendidikan di Kabupaten Timor Tengah Utara menjahit kembali puing-puing peradaban yang perlahan hilang tergerus waktu.

Langkah SMPN Maubeli menerapkan project menenun dalam P5 Kurikulum Merdeka Belajar, memberikan harapan baru atas pelestarian sisa-sisa peradaban yang kian uzur di tengah lautan modernisasi. (*)

Ikuti Berita POS-KUPANG.COM Lainnya di GOOGLE NEWS

Sumber: Pos Kupang
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved