Opini

Opini Habde Adrianus Dami: Quo Vadis Pendidikan di NTT?

Pendidikan harus menyerap realitas dan menjadi jawaban atas realitas. Hakikat realitas adalah berubah. Karena itu, pendidikan adalah dunia perubahan.

Editor: Alfons Nedabang
POS-KUPANG.COM/IRFAN HOI
Pengamat kebijakan publik, Nusa Tenggara Timur, Ir. Habde Adrianus Dami, M.Si. Mantan Sekda Kota Kupang ini menulis opini Quo Vadis Pendidikan di NTT? 

POS-KUPANG.COM - Pendidikan kita harus diubah menjadi realitas. Pendidikan harus menyerap realitas dan menjadi jawaban atas realitas. Hakikat realitas adalah berubah. Karena itu, pendidikan adalah dunia perubahan terus-menerus.

Sebagai sebuah proses perubahan, pendidikan harus membentuk konstruksi pemikiran anak didik yang dinamis, terbuka, dan merdeka guna mengembangkan kemampuan kreativitasnya menghadapi tantangan perubahan hidup.

Bukan hanya untuk menghafal teori-teori saja, tetapi untuk berteori sesuai perubahan realitas. Dengan kata lain, sebuah ilmu pada hakikatnya tidak dapat dilepaskan dari realitas, baik ilmu sebagai proses, produk, maupun masyarakat.

Sehingga, ada banyak inisiatif yang bisa dilakukan untuk tetap bersiasat di tengah realitas merosotnya mutu pendidikan. Perlu, sebuah keputusan yang tidak menumpulkan ketajaman logika.

Dalam konteks dan perspektif restorasi pendidikan, beberapa waktu lalu, publik dikejutkan dengan kebijakan Gubernur NTT menerapkan kegiatan belajar mengajar baru ( KBMB ) di mulai jam 05.00 Wita kemudian direvisi menjadi 05.30 Wita, pada SMA Negeri 1 dan SMA Negeri 6 Kota Kupang.

Tujuan pemberlakuan KBMB, agar lulusan SMA diterima di UI dan UGM. Namun, sejatinya kualitas pendidikan tidak dapat hanya diukur dengan mendasarkan pada rasionaltas tujuan.

Baca juga: Opini Dony Kleden: Sesat Pikir Politik Pendidikan di NTT

Sehingga, cetusan ide KBMB itu bisa dibaca sebagai pola pikir : ketimbang membenahi sarana dan prasana pendidikan, pemerintah lebih tertarik pada disiplin waktu belajar peserta didik.

Sehingga, tak aneh, untuk pemutlatakan penyelenggaraan KBMB, Gubernur NTT, menegaskan bagi siswa yang tidak sepakat ( KBMB ) bisa memilih sekolah lain.

Persoalannya, di antara sekian banyak unsur pendukung penyelenggaraan pendidikan, seberapa mendesak program itu dilakukan? Bila program tersebut dimaksudkan sebagai desain platform pendidikan di NTT.

Tidak utuh

Apa yang diputuskan pemerintah sering tidak ada urusannya dengan realitas publik. Elite pemerintah mempunyai privilese dan kapasitas cukup besar untuk mengisolasi proses pengambilan kebijakan dari keterlibatan kekuatan-kekuatan alternatif masyarakat. Betapapun kebijakan itu secara langsung berhubungan dengan hajat hidup orang banyak.

Oleh karena itu, kita menyambut gembira terobosan Gubernur NTT, menggagas dialog publik atau menggelar town hall meeting guna menjaring aspirasi masyarakat terkait kebijakan KBMB. Tetapi, sangat disayangkan antuisme sejumlah kalangan intelektual yang telah mendaftarkan diri untuk berdialog, tidak mendapat respon Gubernur NTT.

Akibatnya, publik tidak pernah mengerti dan kesulitan dalam mengantisipasi penerapan KBMB. Kebijakan KBMB diputuskan secara eksklusif dan lebih didasarkan pada intuisi atau interes pejabat pemerintah sendiri. Di sini, pengetahuan dan kebenaran adalah produksi kuasa, bukan representasi realitas.

Baca juga: Opini Yahya Ado: Seandainya Saya Gubernur NTT

Kondisi itu, dikhawatirkan justru memunculkan preseden buruk. Karena, publik senantiasa diperlakukan sebagai obyek kebijakan bukan subyek. Sebagai obyek, publik tidak mempunyai akses untuk bertanya dan meminta penjelasan. Sebaliknya pemerintah tidak merasa berkewajiban menjelaskan kebijakannya.

Dari sisi berbeda, Wakil Gubernur NTT, mengaku malu dengan kebijakan siswa sekolah jam 5 pagi. Selanjutnya Wagub NTT, menyalahkan Kadis Pendidikan dan Kebudayaan NTT harusnya tidak tergesa-gesa dan berikan pertimbangan kepada Gubernur tentang berbagai kondisi yang dihadapi. (Suluhdesa. Com, 9/3/2023). Pernyataan ini dapat diberi catatan penting dengan asumsi ada pihak yang bersalah di satu kubu dan ada pihak yang tidak bersalah di kubu lain.

Pernyataan faktual adalah satu hal. Harus diapakan fakta itu adalah soal lain. Dan, di sinilah kita sampai pada kontradiksi. Tampak, pemerintah terbelah atas kebijakan KBMB.

Karena itu, munculnya resistensi publik terhadap kebijakan KBMB, jangan-jangan bukan karena kebijakan itu tidak ada gunanya. Namun, hal ini bisa jadi karena pemerintah tak menjalankan komunikasi publik.

Ada masalah serius dalam hal ini. Sistem akses informasi belum menjadi bagian integral dari praktik penyelenggaraan pemerintah hingga saat ini.

Kondisi ini diperparah kultur birokrasi yang feodal dan eksklusif. Padahal, berdasarkan prinsip “kontrak sosial” dalam negara demokratis, para pejabat publik adalah pelayan masyarakat.

Baca juga: Opini Prof Feliks Tans: Surat Terbuka Kepada Gubernur NTT, Menciptakan Sekolah Unggul

Demokrasi pendidikan

Tak ada yang berubah dari kebijakan publik di bidang pendidikan. Selalu sarat kontroversi. Sebuah sinyal yang harus dibaca mendua.

Pertama, publik yang semakin kritis terhadap pelbagai kebijakan pendidikan yang menyangkut nasib satu generasi daerah ini. Kedua, sebuah pemerintahan yang semakin kentara persoalan-persoalannya di bidang pendidikan.

Kata pendidikan berasal dari kata Latin educare yang secara harafiah berarti “menarik ke luar dari.” Dalam ruang pemaknaan itu, pendidikan adalah sebuah aksi membawa orang pais (anak/peserta didik) keluar dari kondisi tidak merdeka, tidak dewasa, dan tidak tergantung, ke suatu situasi merdeka, dewasa, dapat menentukan diri sendiri, dan bertanggung jawab.

Pendidikan yang demokratis tidak bertujuan menciptakan manusia siap kerja, (sekolah bukan pabrik robot ), tetapi membentuk manusia matang dan berwatak.

Maka pendidikan adalah sebuah proses pedagogis, di mana seorang pais dibebaskan dari ketidakmatangan dan kebodohan menjadi nilai pribadi yang baik secara moral dan nilai cerdas secara intelektual.

Pemahaman atas hakikat pendidikan menjadi penting karena tanpa itu kita terjebak perdebatan dalam apa yang disebut high rate of return di masa depan.

Karena itu, sekolah secara metodik-didaktik hanya berfungsi subsider (terhadap keluarga) dalam hal pendidikan nilai, namun sebagai salah satu agen sosialisasi nilai, sekolah harus tampil ke depan sebagai lembaga pendidikan suara hati.

Baca juga: Opini Januar J Tell: Mengkritisi Kebijakan Masuk Sekolah Jam 5 Pagi

Itu berarti, proses pendidikan tidak dapat dipisahkan keberadaannya dari kultur yang melingkupinya. Disatu sisi, kualitas pendidikan akan menciptakan kultur baru di masyarakat dan sebaliknya, kultur dalam masyarakat akan semakin memberi orientasi baru suatu karya pendidikan.

Sehingga, aspek paling paradoksal situasi saat ini adalah sulitnya mendamaikan dua pendekatan yang berbeda, yaitu pendekatan teknis demi kepentingan praktis sesaat dan pendekatan estetis-etis demi kepentingan formatif yang sifatnya tidak terlalu praktis.

Legitimasi etis

Perangkat aturan restorasi pendidikan yang mengatur KBMB yang tidak memiliki sandaran nilai kebenaran dan keadilan akan menimbulkan kekusutan moral (moral hazard) dan mematikan akal sehat.

Dengan kata lain, KBMB ini sesungguhnya dilandasi suatu kerangka hukum dan juga dilaksanakan berdasarkan suatu hukum juga.

Agar, produk aturannya memiliki legitimasi etis yang dapat menjustifikasi kebijakan restorasi pendidikan,guna menghadirkan bonum commue bagi sebanyak-banyaknya orang tanpa mengorbankan siapa pun.

Konsekuensi logisnya, suatu aturan sejatinya memandu apa yang benar dan yang salah. Untuk itu, aturan tentang KBMB dituntut untuk berisi nilai-nilai yang diperlukan masyarakat bukan obsesi pemimpin. Mengingat, setiap aturan yang jelek akan menjadi legacy suatu rezim pemerintahan.

Karena itu, diperlukan konstruksi hipotetis aturan restorasi pendidikan KBMB yang memperjelas relevansi dengan kualitas peserta didik. Sekurang-kurangnya hal itu dirinci dalam empat kemampuan peserta didik, yaitu kemampuan spiritual, sosial, kognitif, dan psikomotorik.

Baca juga: Opini Yohanes Mau: Aturan Prematur Masuk Sekolah Jam 5 Pagi

Dengan demikian, akan terlihat kemasukakalan kelahiran aturan KBMB. Pada saat yang sama akan menepis kesan bahwa aturan KBMB ini kurang memiliki nalar yuridis yang kuat.

Demikian juga, jikalau penerapan KBMB dengan alasan diskresional sebagai pejabat publik tak serta merta bisa melakukan apa pun yang di kehendaki. Sebab, wewenang diskresi seharusnya digunakan dalam kondisi dan kebutuhan yang sangat mendesak, dengan mempertimbangkan berbagai risiko dan konsekuensinya.

Singkatnya, diskresi yang dibuat tidak boleh bertentangan dengan aturan: sesuai dengan asas umum pemerintahan yang baik, berdasarkan alasan obyektif. Sebab, tanggung jawab pemerintah untuk menghormati (to respect), memenuhi (to fulfill), dan melindungi (to protect).

Dalam pada itu, jika kita menginginkan solusi integral dan realistis, berdasarkan bukti-bukti ilmiah yang relevan. Tak sekadar perubahan teknis atau pedagogis semata. Fakta-fakta dalam dunia pendidikan lebih merupakan kenyataan yang merengkuh dimensi moral-politis ketimbang restorasi berdasarkan naluri mekanistis.

Akhirnya, haruskah kita optimistis atau skeptis KBMB sebagai instrumen efektif untuk memberhasilkan fungsi dan peran pendidikan, khususnya meningkatkan kapasitas peserta didik? Atau jangan sampai yang tengah kita lakukan kini barangkali sekedar menyempurnakan kerusakan-kerusakan yang telah terjadi.

Sekali lagi, kita merenungkan judul artikel ini. Quo vadis pendidikan di NTT? (Penulis adalah Mantan Sekda Kota Kupang, Pengamat Kebijakan Publik)

Ikuti berita POS-KUPANG.COM di GOOGLE NEWS

 

Sumber: Pos Kupang
Berita Terkait
  • Ikuti kami di
    AA

    Berita Terkini

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved