Semana Santa Larantuka
Semana Santa Larantuka, Rabu Trewa Diwarnai Pukul Tiang Listrik dan Seret Seng Bikin Gaduh
Rabu Trewa dibedakan dari Rabu Abu yang merupakan hari pembukaan atau hari pertama masa puasa/masa prapaskah.
POS-KUPANG.COM - Salah satu hari penting yang dirayakan selama Semana Santa atau Pekan Suci di Larantuka adalah Rabu Trewa atau Rabu Terbelenggu, yaitu hari Rabu setelah hari Minggu Palma atau hari Rabu sebelum hari Kamis Putih.
Rabu Trewa dibedakan dari Rabu Abu yang merupakan hari pembukaan atau hari pertama masa puasa/masa prapaskah.
Dinamakan Rabu Trewa karena pada hari tersebut orang membuat bunyi-bunyian dengan memukul tiang-tiang dan menyeret seng-seng di jalanan sambil berteriak "trewa" berulang-ulang hingga menimbulkan kegaduhan di seluruh kota.

Kalau pada umumnya orang memukul tiang sebagai peringatan bahaya, seperti banjir atau gempa bumi, maka bunyi-bunyian pada Rabu Trewa merupakan tanda akan segera memasuki masa perkabungan.
Mengingatkan kita akan saat di mana Yesus pergi ke Taman Getsemani untuk berdoa, mengalami ketakutan yang mendalam, kemudian dikhianati Yudas Iskariot, ditangkap dan dibelenggu.
Karena itulah, Rabu Trewa disebut juga Rabu Terbelenggu, mengingatkan kita akan Tuhan Yesus yang dibelenggu sebelum menghadapi pengadilan dan divonis mati dengan cara disalibkan.
Bunyi-bunyian pada Rabu Trewa juga menjadi saat terakhir untuk selanjutnya umat memasuki masa tenang, tidak ada lagi bunyi-bunyian, apalagi bunyi musik yang memekakkan telinga sangat dilarang.
Hal itu sangat terasa ketika masuk hari Kamis Putih. Bunyi lonceng atau gong yang biasanya digunakan dalam ibadah sudah diganti dengan bunyi bilah kayu yang sama sekali tidak nyaring. Suasana itu akan berlangsung hingga perayaan Sabtu Suci atau Sabtu Alleluya.
Baca juga: Jadwal Lengkap Semana Santa Larantuka 2023, Selasa 4 April Tikam Turo dan Pembuatan Armida
Pada Rabu Trewa ini umat melaksanakan doa di Kapela Tuan Ma dan Kapela Tuan Ana, antara lain dengan mengadakan lamentasi yang diambil dari Ratapan Yeremia. Pada saat itu, kedua kapela yang sepanjang tahun ditutup, dibuka untuk umat.
Seluruh kegiatan di kapela Tuan Ma dan Tuan Ana dipimpin oleh anggota Konfreria, termasuk membuka dan menutup pintu kapela.
Usai ibadat lamentasi, lampu-lampu di kedua kapela dipadamkan, sekaligus sebagai tanda Bunda Maria berdukacita atas kesengsaraan dan wafat Yesus Kristus Putranya.
Perlu diketahui pula bahwa pada Rabu Trewa pemancangan tiang-tiang kayu di kiri-kanan sepanjang rute Prosesi Jumat Agung malam hari sudah harus tuntas.
Umat dan suku-suku Semana bergotong royong memancangkan tiang-tiang dari kayu kukung dan belahan bambu diikat menggunakan tali gewang.
Tiang-tiang akan digunakan untuk menaruh lilin yang akan menerangi rute prosesi. Agar tidak terburu-buru dan mengganggu kegiatan ibadah pada Rabu Trewa, maka biasanya pemasangan tiang-tiang kayu mulai dilakukan pada hari sebelum Rabu Trewa. Proses pemancangan tiang-tiang kayu di sepanjang rute prosesi itu disebut Tikam Turo.
Kayu-kayu itu biasanya diambil dari lereng-lereng gunung Ile Mandiri. Tidak sembarang kayu, biasanya dipakai kayu kukun, sehingga biar batangnya kecil, tetapi kuat atau tidak mudah patah.
Baca juga: Semana Santa Larantuka, Tradisi Perayaan Minggu Palma di Kota Reinha dan 30 Ayat Kitab Suci
Pada hari sama juga Armida (perhentian jalan Salib) dibangun di sepanjang rute Prosesi Jumat Agung.
Sepertinya mulai pada Rabu Trewa juga rute kendaraan yang biasanya melintas di rute yang akan digunakan untuk prosesi perlahan-lahan mulai dialihkan ke Jalan Atas. Dengan pengalihan itu, pergerakan warga juga sudah dibatasi dan mulai fokus ke persiapan perayaan Tri Hari Suci.
Perayaan Rabu Trewa ternyata tidak hanya berlangsung di Kota Larantuka. Di Wureh, Kecamatan Adonara Barat, dan di Konga, Kecamatan Titehena, perayaan Rabu Trewa juga dilaksanakan oleh umat setempat. Hal itu misalnya terlihat pada kegiatan Tikam Turo sebagai tempat untuk menaruh lilin di sepanjang rute prosesi.
Di luar Flores Timur tampaknya tidak ada lagi masyarakat yang merayakan Rabu Trewa. Jadi bisa dikatakan Rabu Trewa merupakan perayaan Pekan Suci khas Flores Timur.
Sedikit informasi mengenai bilah kayu pengganti lonceng atau gong selama perayaan Tri Hari Suci, terdapat beberapa nama atau sebutan, yaitu Crotalus atau Keprak atau Klotok.
Crotalus adalah istilah bahasa Latin yang berakar pada kata Yunani Krotalon yang berarti derakan.
Dulunya keprak digunakan secara umum, tetapi dalam beberapa dekade sempat tidak lagi digunakan. Namun, ketertarikan untuk kembali kepada liturgi tradisional membuat pemakaian keprak hidup kembali.
Baca juga: Semana Santa Larantuka, Tuhan Menunjukkan KemahakuasaanNya di Kapela Tuan Ana
Keprak memiliki fungsi yang sama dengan lonceng logam atau gong. Secara umum keprak merupakan alat yang dirancang sedemikian rupa sehingga dapat mengeluarkan bunyi ketika diputar atau digoyangkan.
Bahan dasar keprak pada umumnya berupa kayu sehingga suara yang dihasilkan merupakan suara khas kayu yang beradu. "Kletuk ... kletuk ... kletuk .... krek ... krek ... krek."
Pada hari Kamis Putih, keprak digunakan sebagai pengganti lonceng atau gong yang dibunyikan pada konsekrasio (momen perubahan hostia dan anggur menjadi tubuh dan darah Kristus) dan selama perarakan Sakramen Maha Kudus sebagai simbol harapan dan pertobatan umat beriman.
(berbagai sumber)
Ikuti berita POS-KUPANG.COM di GOOGLE NEWS
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.