Opini

Opini Baharudin Hamzah, M.Si: Melabuhkan Harapan di Pundak Muhammadiyah NTT

Pilihan menjadi warga Muhammadiyah karena nilai-niai islam yang dianut Muhamammadiyah adalah islam yang progresif dan islam yang berkemajuan.

Editor: Alfons Nedabang
DOK.POS-KUPANG.COM
Baharudin Hamzah. Aktivis Angkatan Muda Muhammadiyah Nusa Tenggara Timur ini menulis opini Melabuhkan Harapan di Pundak Muhammadiyah NTT. 

POS-KUPANG.COM - Persyarikatan Muhammadiyah Nusa Tenggara Timur segera menggelar ‘pemilu’ persyarikatan. Forum permusyawaratan tertinggi di level Provinsi yang lazim disebut Musyawarah wilayah (Musywil) Ke- 8 itu, akan dilangsungkan di Kota Ende mulai 17-19 Maret 2023.

Pesta demokrasi persyarikatan lima tahunan ini sebenarnya sudah digelar 2021, namun kondisi bencana non alam pandemi Covid 19 yang menelan korban jiwa anak negeri, memporak porandakan sendi perekonomian dan relasi sosial dalam kurun waktu yang panjang sehingga tertunda.

Secara internal Pandemi Covid 19 telah menganggu siklus dan masa kepemimpinan di Muhammadiyah yang mestinya lima tahun, kemudian berubah dari sisi waktu akhir masa berkhidmatnya.

Kondisi demikian memaksa pimpinan pusat Muhammadiyah melakukan semacam ‘diskresi’ untuk memperpanjang masa jabatan organisasi di semua tingkatan.

Pada gilirannya seluruh agenda konsolidasi organisasi dalam wujud permusyawaratan di tubuh persyarikatan Muhammadiyah mengalami pergeseran. baik di level regional, maupun nasional, termasuk Muktamar dan Musywil pada level provinsi. Musyawarah daerah di tingkat kabupaten/Kota, cabang sampai ke organisasi ranting.

Baca juga: Muswil Muhammadiyah-Aisyiyah ke-8 NTT, Ketum PWM: Fokuskan Kader Baru yang Bertanggung Jawab

Musyawarah wilayah, bukan sekadar forum ritual rutin Muhammadiyah, dimana warga persyarikatan berkumpul dan menjatuhkan pilihan terhadap figur-figur pimpinan Muhammadiyah yang baru, namun musywil hendaknya dposisikan sebagai forum terpenting warga Muhammadiyah mempercakapkan berbagai capaian yang telah diraih dan berbagai tantangan, hambatan serta kendala yang dialami selama mengayuh biduk organisasi satu periode.

Dalam bahasa yang sederhana, Musywil menjadi forum untuk merefleksikan masa lalu untuk perbaikan, melihat realitas hari ini dan merencakan masa depan.

Forum Muswil penting juga menjadi arena disksusi, sekaligus tukar tambah gagasan pemikiran brilian demi keberlanjutan gerakan dakwah amar ma’rif nahi mungkar, sekaligus gerakan islam yang berkemajuan, yang menyemaikan benih-benih kebenaran, kebaikan dan kedamaian, keadilan sosial, kemaslahatan, kemakmuran serta keutamaan secara dinamis bagi seluruh umat manusia di Flobamorata tercinta ini.

Sebagai forum permusyawaratan tertinggi di level Provinsi, momentum musyawarah wilayah Muhammadiyah kali ini memiliki nilai historis. pilihan pelaksanaan di Ende sebagai kota Pancasila yang memiliki nilai sejarah panjang terutama bagi seorang Bung Karno, founding father, sang proklamator dan juga Presiden Republik Indonesia pertama, yang tak lain adalah warga persyarikatan Muhammadiyah.

Seperti dituturkan Ketua Umum Pimpinan Pusat Muhammadiyah Prof. Dr. Haedar Nasir dihadapan Megawati Sekarno Putri, Presiden Jokowi dan sejumlah menteri kabinet yang hadir dalam acara penutupan Muktamar Pemuda Muhammadiyah diBbalikpapan Kalimantan Timur akhir Pebruari 2023 yang lalu.

Baca juga: Jadwal Imsakiyah dan Buka Puasa Ramadhan 1444 H Kota Kupang,NTT dan Sekitarnya Versi Muhammadiyah

Bung Karno menurut Haidar, memilih KH. Ahmad Dahlan sebagai guru spiritual, sekaligus guru intelektualnya ketika pertama kali bertemu di rumah HOS Cokro Aminoto di Surabaya dalam usianya yang masih 18 tahun.

Bagi Bung Karno, pilihan menjadi warga Muhammadiyah karena nilai-niai islam yang dianut Muhamammadiyah adalah islam yang progresif dan islam yang berkemajuan.

Bung Karno secara lugas diungkapkan Prof Haedar, tercatat menjadi warga Muhammadiyah adalah anggota resmi Muhammadiyah sejak tahun 1938-1942 di Bengkulu dan menjadi pimpinan Majelis Pendidikan dan Pengajaran Muhammadiyah.

Tak hanya Bung Karno, istri sang proklamator ibu Fatmawati, penjahit bendera merah putih pun diungkapkan Haedar, tak lain adalah putri Hasan Din, tokoh dan konsultan Muhammadiyah Bengkulu, aktivis Nasyiatul Aisyiah.

Bahkan pada tanggal 4 Januari 1946 saat ibukota Negara Indonesia pindah sementara ke Yogjakarta, Bung Karno mengundang tokoh-tokoh pimpinan pusat Aisyyah ke istana gedung agung Yogjakarta dan menyampaikan agar ibu Fatmawati diajak kembali untuk aktif di Aisiyah.

Halaman
1234
Sumber: Pos Kupang
Berita Terkait
  • Ikuti kami di
    AA

    Berita Terkini

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved