Opini

Opini Henry Bouk: Memaknai Ruang-Waktu 05.00 Per Argumentum Ad Baculum

Sejak senin 27 Februari 2023 masyarakat ribut terkait kebijakan bapak Gubernur NTT yang memberlakukan aturan sekolah jam 05.30 pagi.

Editor: Alfons Nedabang
POS-KUPANG.COM/ASTI DHEMA
Siswa SMKN 4 Kupang pada hari pertama menerapkan sekolah masuk jam 5.30 pagi, Senin 6 Maret 2023. Henry Bouk menulis opini: Memaknai Ruang-waktu 05.00 Per Argumentum Ad Baculum. 

POS-KUPANG.COM - Sejak senin 27 Februari 2023 masyarakat Nusa Tenggara Timur ribut di sana sini terkait kebijakan bapak Gubernur NTT yang memberlakukan aturan sekolah jam 05.30 pagi untuk siswa siswi SMA dan SMK di beberapa sekolah di Kota Kupang.

Kebijakan ini menimbulkan “keterkejutan”dan “ketidakbiasaan” karena dinilai langka, baru, aneh dan satu-satunya di dunia sekolah jam 05.30 pagi.

Sebetulnya, persoalan utama bukan pada penetapan waktu sekolah pukul 05.30 pagi, melainkan karena belum ada kajian ilmiah, tidak ada dasar hukum, belum ada diskusi dan sosialisasi.

Tentu saja kita sama-sama tahu bahwa dampak dari saling pengaruh antarasyarakat dari penganut budaya waktu berbeda telah membentuk masyarakat kita juga terbiasa dengan aktivitas dalam konteks budaya waktu linear-aktif seperti jam 04.30 bangun pagi, jam 05.00 doa pagi, jam 05.30 misa/ibadat pagi, jam 06.00 makan pagi, jam 07.30 aktivitas di tempat kerja sampai jam 17.00 sore.

Walaupun pada sisi lain, masyarakat NTT yang masih terikat kuat dan hidup dalam konteks budaya waktu siklis memang masih lamban melakukan aktivitas dengan menerapkan budaya waktu linear-aktif.

Tujuan kebijakan Gubernur ini sangat mulia untuk mencerdaskan siswa supaya bisa kuliah di universitas ternama di dunia. Tujuan baik, tapi ingin mencapainya dengan cara ‘memaksakan’ kebijakan dengan power disebut ‘argumentum ad baculum’ yaitu pembenaran argumen atas dasar kekuasaan.

Baca juga: Opini Januar J Tell: Mengkritisi Kebijakan Masuk Sekolah Jam 5 Pagi

Kebijakan ini sudah barang tentu berdampak pada sektor terkait lainnya seperti transportasi, keamanan dan keselamatan siswa-siswi, kesehatan.

Apakah ada kesiapan hati, pikiran, perasaan, sikap, perilaku dan mental untuk bersekolah pada jam 05.30 pagi?. Mari kita memaknai bersama konsep ruang -waktu jam 05.30 pagi.

Konsep Budaya Waktu

Masyarakat dunia hidup di negara berbeda dengan budaya berbeda pula. Budaya membentuk konsep, persepsi, pola pikir, perasaan, sikap, perilaku masayarakat yang hidup dalam lingkungan sosial budaya bersangkutan.

Waktu merupakan salah satu budaya yang disebut budaya waktu. Masyarakat dari setiap negara memiliki konsep tentang waktu dan managemen penggunaan waktu berbeda-beda.

Saya mengutib pikiran Richard D. Lewis, (2005 : 35-36) dalam bukunya berjudul, “Komunikasi Bisnis Lintas Budaya ”mengklasifikasikan masyarakat dunia atas tiga kelompok penganut budaya waktu, dengan konsep dan management waktu yang berbeda satu sama lain yakni budaya waktu linear-aktif, budaya waktu multi-aktif dan budaya waktu siklis.

Budaya Waktu Linear-Aktif

Masyarakat yang berasal dari budaya waktu ini selalu mengkonsepsi waktu sebagai sesuatu yang terus mengalir dan bergerak dari masa lampau menuju masa kini dan ke masa depan.

Masa lampau dianggap sudah selesai, waktu kini merupakan tugas hari ini, dan masa depan memiliki dua wajah yakni satu wajah merupakan rencana untuk hari ini dan wajah kedua berisi kekhawatiran untuk hari berikutnya. Masyarakat berbudaya waktu linear aktif berorientasi pada tugas, kerja.

Para perencananya menyukai tugas yang terorganisasikan dalam target-target terprogram, terukur dan terstruktur menuju masa depan, dan jadwal itu ditulis dalam buku harian: a, b, c,..; 1,2,3, artinya orang bekerja berdasarkan waktu yang sudah disusun teratur.

Baca juga: Opini Ovan Baylon: Hacker dan Kolonialisasi Digital

Bangsa-bangsa yang menganut budaya waktu linear-aktif misalnya Swedia, Swiss, Amerika, Inggris, Belanda dan Jerman. Mereka mengerjakan sesuatu pada saat tertentu, berkonsentrasi penuh pada hal yang dikerjakan dan melakukannya dalam suatu skala waktu yang telah terjadwalkan hingga mencapai kesuksesan.

Prinsipnya pekerjaan hari ini harus selesai hari ini dengan kualitas terbaik sebab esok ada kerja baru lagi. Cara ini membantu mereka melakukan lebih banyak pekerjaan. Kerja identik dengan keberhasilan artinya semakin kerja dengan skala terukur, akan semakin banyak hasil yang diperoleh.

Prinsipnya, yang menghargai waktu, itulahyang menuai hasil melimpah. Masyarakat dari budaya seperti ini menerapkan metode berbasis database dalam berkomunikasi dan berinteraksi.

Mereka bekerja, melakukan penelitian, mengumpulkan informasi, beragumrntasi dan melakukan tindakan, bergerak maju dari database yang didukung kemajuan teknologi komunikasi dan informasi.

Budaya Waktu Multi-Aktif. Masyarakanya mengkonsepsi waktu sebagai sesuatu yang dapat dikelolah dan dimanfaatkan sesuai kebutuhan manusia.

Waktu Multi-linear adalah waktu yang berorientasi pada manusia. Manusia lebih penting dari jadwal. Orang-orang ini tidak menyukai waktu terjadwal, teratur dan tersusun rapih. Mereka lebih kompromistis, fleksibel dan luwes dalam mengatur waktu demi memenuhi kepuasan pribadi.

Waktu disesuaikan dengan kebutuhan dan situasi manusia. Waktu bisa saja terjadwal tetapi dalam pelaksanaannya boleh bergeser. Orang-orang yang menganut waktu multi-aktif ini berasal dari bangsa-bangsa seperti Spanyol, Italia, orang-orang Eropa Selatan dan Amerika Latin.

Masyarakat dari budaya ini menggunakan metode dialog dalam berkomunikasi dan berinteraksi dengan orang lain lewat tatap muka maupun jaringan untuk mengumpulkan informasi terkait keluarga, sekolah, politik ekonomi bisnis dan orgnisasi tertentu.

Baca juga: Opini Prof Feliks Tans: Surat Terbuka Kepada Gubernur NTT, Menciptakan Sekolah Unggul

Mereka kurang menyukai data, fakta dan akurasi angka yang penting bisa didialogkan dengan baik di antara orang-orang yang berkepentingan.

Waktu Siklik. Kata siclus (Latin) artinya berulang, berputar kembali ke awal. Masyarakat dari budaya waktu siklik atau siklis mengkonsepsi waktu sebagai sesuatu yang selalu berputar, yang melingkar, yang selalu terulang kembali, bahkan kehidupan itu sendiri berputar dalam lingkaran.

Masyarakat dari budaya waktu siklik mendasarkan konsep mereka pada alam semesta (kosmologi waktu) tentang matahari yang terbit lalu terbenam dan akan terbit lagi.

Umumnya bangsa-bangsa Asia, termasuk Indonesia dan masyarakat NTT menganut budaya waktu siklis. Masyarakat dari budaya waktu siklik cenderung terlambat melakukan kegiatan harian walaupun sudah terjadwal, ada jam tangan, jam dinging, weker, handphone, komputer dan kalender kerja.

Hal ini sebabkan karena masyarakat dipengaruhi konsep budaya waktu siklik yang sudah berakar, dihidupi dan dijadikan praktik dalam kegiatan sehari-hari semenjak dari leluhur.

Proses Meruang dan Proses Mewaktu

Apakah orang-orang dari latarbelakang penganut budaya waktu siklik seperti masyarakat NTT dapat menyesuaikan diri dan hidup dalam sistem budaya waktu linear-aktif untuk meraih mimpi masa depan?

Memang, di seluruh dunia saat ini, hampir keseluruhan masyarakat berdinamisasi dan beraktivitas di sekolah, bandara, kampus, kantor, berdasarkan jadwal yang sudah diagendakan di dalam laptop, handphone, di layar pengumuman, di pojok jalan.

Semuanya merujuk pada kebiasaan budaya linear aktif yakni tersusun, terstruktur dan terjadwal.

Masyarakat dari latar belakang sistem budaya waktu berbeda memiliki konsep berbeda tentang waktu, semua yang menyatukan perbedaannya dalam dinamika waktu, yaitu waktu yang selalu dan terus selalu mengalir, “tempora mutantur, et nos mutamur in illis” artinya waktu terus berubah dan manusia turut berubah di dalamnya karena kesadaran diri manusia memaknai waktu secara berkualitas.

Baca juga: Opini Teguh Prakoso: Mengenal Pendidikan Tinggi Terbuka dan Jarak Jauh

Saya coba mengambil inspirasi dari pemikiran filosofis Hegel dan Bergson yang ditulis Yasraf Amir Piliang dalam bukunya berjudul, “Multiplisitas dan Diferensi” (2008:113-133) memberikan pencerahan terkait waktu dan keterlibatan manusia dalam proses meruang dan proses mewaktu untuk memperoleh kecerdasan dan meraih kesuksesan.

Barangkali kita dapat menyimak pikiran mereka tentang waktu untuk memaknai kebijakan Gubernur Victor B. Laiskodat terkait sekolah jam 05.30 pagi.

Proses Meruang. Waktu bersifat dinamis, selalu mengalir dan karena itu waktu tidak pernah bisa diukur karena waktu juga bersifat tak terukur.

Menurut Hegel, di satu sisi, waktu terus mengalir, tapi pada sisi lain manusia dengan kesadaran diri yang utuh ingin berproses dalam dinamika waktu untuk mencapai kemajuan dalam dirinya, oleh sebab itu manusia membuat pengukuran waktu menggunakan metode metafora ruang yang hanya berfungsi sebagai kondisi untuk mengukur perbedaan di dalam ruang atau perbedaan meruang.

Waktu diukur dengan cara mengurungnya dalam ruang menggunakan ukuran perbedaan detik, menit, jam, hari, minggu, bulan, tahun.

Pemikiran ini mirip dengan masyarakat yang menganut budaya waktu linear aktif : 1,2,3,..a,b,c.. Di dalam dinamika waktu yang diukur menggunakan metode metafora ruang ini dapat membantu mengkondisikan seseorang melakukan aktivitasnya sambil melakukan pengukuran perbedaan perubahan dan kemajuan dalam dirinya sendiri antara waktu sebelum kerja dan waktu sesudah kerja.

Baca juga: Opini Januar J Tell: Mengkritisi Kebijakan Masuk Sekolah Jam 5 Pagi

Misalnya kerja mencuci mobil satu jam mendapat bayaran Rp 5.000, maka bekerja selama lima jam bayarannya Rp 25.000. Keberhasilan dan kemajuan diukur menggunakan metafora ruang: detik, menit, jam, hari.

Namun metafora waktu hanyalah kondisi, sedangkan yang menentukan perubahan adalah kesadaran dalam diri manusia itu sendiri. Identitas diri manusia berubah mengandaikan pergerakan dirinya di dalam ruang-waktu.

Perubahan identitas dan kemajuan dimungkinkan atau dikondisikan oleh mekanisme bergerak di dalam waktu untuk menghasilkan perbedaan antara masa lampau- masa sekarang-masa depan dalam rentang waktu kronologis.

Karena itu menurut Hegel, manusia mampu menghasilkan perbedaan absolut karena kesadaran diri akan keaktifannya bergumul dalam proses meruang.

Konsep kemajuan menurut Hegel diartikan sebagai kondisi, yang didalamnya diri mampu menciptakan permulaan baru dan permulaan baru menjadi konsep diri yang baru untuk berdinamisasi mencapai kemajuan terus-menerus.

Nah, dengan merujuk pada konsep proses meruangdan konsep kemajuan dari Hegel ini, maka proses peningkatan kecerdasan diri dan kesuksesan seorang siswa atau siswi dalam belajar ditentukan oleh kesadaran dalam dirinya dan keativannya proses meruang yaitu kemampuan menggunakan metafora waktu: detik, menit, jam yang mengkondisikan dirinya untuk mencapai permulaan baru yang berbeda dengan keadaan sebelumnya.

Nomor satu adalah kesadaran diri sendiri untuk berdinamisasi dalam proses waktu secara berkualitas untuk menjadi cerdas dan meraih kesuksesan karena dikondisikan metode metafora waktu.

Sederhananya ialah saya menjadi orang cerdas dan sukses di bidang ilmu pengetahuan tertentu karena saya sendiri sadar diri untuk mengatur waktu belajar saya, tapi bukannya saya cerdas dan maju karena orang lain yang menyusun waktu belajar dan waktu sekolah buat saya.

Mungkin bisa, tetapi keputusan bersama mesti lahir dari kesadaran diriku dan diri yang lain. Kalau orang lain 100 persen menciptakan proses meruang buat saya, maka proses meruang saya terjebak dalam determinisme kebijakan orang lain, maka saya tidak mungkin mencapai kecerdasan dan kemajuan maksimal karena kesadaran diri saya yang murni sudah terbelenggu oleh kebijakan eksternal sepihak.

Jadi, bagi Hegel kecerdasan seseorang ditentukan oleh kesadaran murni dalam dirinya sendiri, sedangkan pengukuran menggunakan metode metafora waktu : detik, menit, jam hanyalah syarat yang mengkondisikan dirinya mencapai kemajuan.

Gagasan Hegel yang paling pokok di sini ialah kesadaran murni diri sendiri untuk berdinamisasi dalam proses meruang secara berkualitas untuk meningkatkan kecerdasan dan meraih kesuksesan.

Baca juga: Opini Theresia Wariani: Belajar Etos dan Ilmu Mendidik dari Negeri Sakura

Apa artinya membangun metafora waktu: menit, detik, jam 07.00 sekolah tanpa kesadaran diri murni dari para siswa-siswi? Barangkali impian akan kecerdasan dan kemajuan hanyalah sebuah utopia belaka.

Proses Mewaktu. Bagi Hegel, seseorang dapat membangun identitasnya dengan cara memaksimalkan aktivitasnya dalam proses ruang-waktu dengan kesadaran diri penuh, seraya menegasi atau meniadakan yang lain. Yang pandai dan sukses adalah yang pandai berproses dalam ruang-waktu atau dalam proses meruang yang dikondisikan oleh metafora waktu.

Bergson menyempurnakan pemikiran Hegel, dengan konsep mewaktunya. Menurut Bergson, perbedaan kemajuan manusia tidak ditentukan oleh faktor eksternal metafora ruang yakni membagi ruang-waktu atau menciptakan proses meruang untuk waktu menurut ukuran detik, menit, jam - melainkan perbedaan kemajuan itu digerakkan oleh intuisi sebagai penggerak internal seseorang.

Kekuatan intuisi atau kreativitas internal di dalam diri seseorang, itulah yang menciptakan perbedaan kemajuan, tanpa ada determinisme eksternal yang membatasi struktur perbedaan.

Maka perbedaan konsep tentang waktu dan cara memanage waktu dari masyarakat multikultural yang menganut budaya waktu linear-aktif, budaya waktu multi-aktif dan budaya waktu siklis,yang dibangun menggunakan pola nalar determinisme - akhirnya pemikiran Hegel tentang proses meruang dan pemikiran Bergson tentang proses mewaktu, mereduksi semua konsep dari semua budaya waktu berbeda itu, lalu menggiring mereka ke sebuah titik simpul baru yakni pengakuan yang sama bahwa waktu itu bersifat dinamis, terus mengalir.

Bagi Bergson,nalar tentang waktu adalah kontinuitas. Manusia sebagai homo historicus dan homo temporalis terus berdinamisasi dalam proses meruang dan proses mewaktu atas dasar kesadaran diri yang murni dan gerakkan oleh intuisi internal, yang juga dikondisikan oleh metafora waktu untuk menghasilkan perbedaan perubahan kreativitas dan produktivitas dari waktu ke waktu.

Di dalam perbedaan perubahan inilah orang dapat mengakui kecerdasan dan kemajuan manusia sebagai permulaan baru yang melahirkan konsep baru lagi, guna menciptakan permulaan baru dan memaknainya terus-menerus dari waktu ke waktu: tempora mutantur, et nos mutamur in illis. (Penulis tinggal di Biara SVD TDM IV Oebufu Kupang)

Ikuti berita POS-KUPANG.COM di GOOGLE NEWS

 

Sumber: Pos Kupang
Berita Terkait
  • Ikuti kami di
    AA

    Berita Terkini

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved