Kelompok Rentan di Kota Kupang Minta Perlindungan Hukum ke Pemerintah
Hingga saat ini kelompok rentan yakni disabilitas serta keberagaman gender dan seksualitas (KGS) di Kota Kupang masih mengalami diskriminasi di masyar
Penulis: OMDSMY Novemy Leo | Editor: OMDSMY Novemy Leo
POS-KUPANG.COM, KUPANG - Hingga saat ini kelompok rentan yakni disabilitas serta keberagaman gender dan seksualitas (KGS) di Kota Kupang masih mengalami diskriminasi di masyarakat. Karena itu mereka meminta Pemerintah Kota (Pemkot) Kupang memberikan perlindungan hak asasi manusia (HAM) dan hukum melalui penerbitan Peraturan Walikota atau Perwali.
Usulan ini mengemuka dalam diskusi Perlindungan HAM yang digagas oleh Lembaga Bantuan Hukum (LBH) APIK NTT, Kamis (26/1), di Hotel Neo Aston Kupang. Kegiatan dibuka oleh Koordinator Divisi Perubahan Hukum LBH APIK NTT, Dany Manu, mewakili Diretris LBH APIK NTT, Ansi Rihi Dara.
Hadir sejumlah aktifis dari berbagai lembaga seperti IMoF NTT, Lantang, Rumah Harapan GMIT, Tenggara, Pondok Hayat, Cita Madani, Jaringan Indonesia Positif (JIP), Yayasan Flobamora, KOMPAK, Ahmadiyah, Garamin NTT serta Bagian Hukum Pemerintah Kota Kupang.
Baca juga: Kota Kupang Ramah HAM, IMoF Berharap Diberi Ruang yang Sama
Dani mengatakan, dalam upaya mewujudkan Kota Kupang sebagai Kota Peduli HAM yang menjunjung P5HAM maka LBH APIK NTT berupaya mendorong terwujudnya sebuah peraturan anti diskriminiasi di Kota Kupang.
"Dalam upaya menggagas produk hukum ini maka LBH APIK NTT berniat mengajak sesama teman-teman lintas jaringan yang fokus pada isu P5HAM kelompok rentan di Kota Kupang untuk berdiskusi dan sama-sama.
"Diskusi ini merumuskan permasalahan, hambatan, tantangan dan harapan yang dapat dijadikan landasan atau rekomendasi dalam mendorong peraturan anti diskriminasi di Kota Kupang," kata Dani.
Dalam diksusi itu sejumlah pegiat isu Kesehatan Reproduksi (kespro), mengemukakan tantangan yang dihadapi dalam kerja-kerja kemanusiaannya. Ilta dari Tenggara mengungkapkan minimnya informasi terkait Kepsro kepada anak sehingga tak sedikit anak mengalami kekerasan seksual dan dikriminasi karena tak bisa melindungi diri dan tak berani menyuarakan haknya.
Wendi Wehelmina dari PKBI menghadapi tantangan saat membagi informasi terkait Kespro untuk anak di Sekolah Dasar (SD). Masih ada sekolah dan gereja yang enggan menerima.
"Mereka menilai kami mau merusak nilai keTuhanan karena bicara tentang kepro kepada anak dibawah umur. Padahal kami datang membagi nilai kemanusiaan, bagaimana agar anak tahu tentang organ reproduksi, kespro dan mampu melindungi dirinya," jelas Wendi.

Masalah lain dihadapi Mizelia dari Rumah Harapan GMIT. Perempuan korban ingkar janji menikah (UIJM) dan kekerasan sesual ternyata juga menerima cemoohan dan bully dari lingkungan dan keluarga.
"Korban IJM tak bisa menuntut keadilan karena keterbatasan aturan hukum. Korban malah mendapat cemooh dari masyarakat dan keluarga, ini sangat miris," sesal Mizelia.
Hanna Sitanala menjalaskan tentang Pondok Hayat yang didirikan melindungi dan memberdayakan perempuan korban IJM atau korban perkosaan yang hamil.
Disana korban ditangani, diberikan pendampingan psikologis hingga proses melahirkan lalu korban diberikan pelatihan ketrampilan agar bisa memulai kehidupan barunya di masyarakat.
Stefanus dari Yayasan Cita Madani melihat anak yang berhadapan dengan hukum baik sebagai korban maupun pelaku mendapat diskrimnasi. Anah harus pindah sekolah karena sekolah tidak mau terima mereka lagi. Persoalan lain, anak belum banyak dilibatkan dalam proses pengambilan keputusan di tingkat musrenbang sehingga kebutuhan dan aspirasi anak tidak terakomodir.
"Ini harus menjadi permenungan, anak harus diajak berpartisipasi dalam pengambilan keputusan. Belum lagi ketiadaan space ramah anak di hotel dan tempat umum," katanya.
Puput Joan Riwukaho mengungkapkan tantangan sebagai pengacara karena korban tidak mendapatkan haknya secara maksimal. Penyebabnya, aparat penegak hukum yakni Polisi, Jaksa dan Hakim belum punya prespektif perempuan dan anak, serta KGS. Disabilitas juga sulit didampingi juru bahasa isyarat saat berhadapan dengan hukum.
Kerentanan disabilitas juga dibeberkan Yafas dari Garamin NTT. Aksesibilitas bagi disabilitas masih minim di tempat publik, perkantoran hingga rumah ibadah.
"Masih banyak stigma, pandangan bahwa disabilitas bukan manusia yang sempurna, dia manusia tidak normal. Di dalam keluarga ada kalimat, Oh keluarga kami ada yang tidak sempurna, atau di masyarakat kami ada yang tidak normal. Stigma seperti ini mesti dihilangkan. Kami butuh aturan untuk melindungi hak kami," kata Yafas.
Baca juga: Komnas Disabilitas Soroti Kasus Penganiayaan ODGJ di Lembata
Diskriminasi terhadap disabilitas juga terjadi di lingkungan keluarga. Saat ada anggota keluarga yang tuli, mereka tidak dilibatkan dan saat ada diskusi di meja makan. Ini berlanjut sampai ke lingkungan dan pemerintahan.
"Teman disabilitas tak ada kepercayaan, tak diberi ruang partisipasi, ruang pengakuan. Pengaruhnya sampai pada sosial dan ekonomi, belum lagi minimnya akses layanan kesehatan dan infrastruktur," sesal Yafas.
Jika bicara infrastruktur, selalu ditanyakan ada berapa disabilitas di wilayah itu. "Padahal kalau bicara hak dan perlidungan, biar hanya ada satu disabilitas, harusnya dipenuhi haknya. Tapi karena dianggap minoritas maka tidak urgen, tidak perlu diwujudkan, ini konteks kerentanan yang dialami disabilitas," ungkap Yafas.
Karena itu mereka berharap ada aturan yang bisa dibuat untuk melindungi kelompok rentan, tidak saja perempuan dan anak, tapi juga untuk disabilitas dan KGS. (vel)
Hak Berkespresi
Djonk dari KOMPAK berharap pemerintah memastikan kehidupan beragama dan beribadah masyarakat Kota Kupang berjalan lancar dan nyaman. Tak ada diskriminasi terhadap agama manapun mengingat Perwali tentang Pendirian Rumah Ibadah sudah dikeluarkan Walikota Kupang.
"Negara kita sudah beri jaminan untuk agama, keyakinan, paham dan aliran, sehingga harusnya semua masyarakat diberi ruang yang sama dan tidak ada diskriminasi terhadap agama atau keyakinan tertentu," kata Ziana Aidin dari Ahmadiyah, Kamis (27/1).
Menurut Zainal, agama adalah hak asasi setiap manusia, sepanjang dia tidak melakukan hal-hal yang mengganggu kepentingan publik atau umum.
"Agama itu bukan milik manusia, agama itu milik Tuhan. Ketika ada yang tidak sepaham atau tidak segaman dengan kita, kita tidak bisa memaksanya untuk pindah atau pilih agama baru. Mari menghargai, jangan bermusuhan. Apa susahnya menghargai. Tidak layak bermusuhan karena lebih baik kita bersabat dan saling menghargai dala perbedaan," kata Zainal.
Baca juga: DP3A dan LBH APIK NTT Jalin Kerjasama Pelayanan Akses Bantuan Hukum Bagi Masyarakat
Diskrimnasi dan stigma dari masyarakat juga dialami Odhiv dan Odha. "Stigma bahwa Odhiv dan Odha itu badannya kurus kulitnya hitam, masih ada di masyarakat," gugah Emilia dari Yayasan Flobamora.
Bahkan orang yang bekerja di Yayasan Flobamora disitgma adalah Odhiv. "Saat kami melayat keluarga atau teman meninggal, masyarakat anggap yang meninggal Odha sehingga kami kuatir melayat," ungkap Emilia.
John dari Jaringan Indonesia Positif (JIP) menambahkan, stigma HIV AIDS menular lewat ludah dan sentuhan juga masih ada. Termasuk sulitnya Odhiv menjadi karyawan swasta karena dianggap bisa menularkan virus HIV.
"Saat melamar, pegawai baru disuruh tes kesehatan, jika ada hepatitis, ditolak, apalagi HIV AIDS. Asuransi tidak mengakomidir klaim orang yang meninggal akibat HIV AIDS. Ini diskriminasi," kritik John yang berharap ada ketersediaan obat ARV bagi Odhiv dewasa dan anak.
Chiko dari IMof NTT dan Dalang dari Lantang mengungkapkan diskriminasi terhadap identitas dan ekspresi gender dan keberagaman gender dan seksualitas (KGS). Chiko menggugah sikap masyarakat yang memdang rendah KGS padahal ekspresi gender KGS itu terberikan.
Baca juga: Kiprah LBH APIK NTT Tetap Berpihak pada Kaum Lemah
"Orientasi seksual bukan sesuatu yang bisa kita ajarkan atau bisa menular ke orang lain saat berteman. Karena identitas gender dan orientasi seksual sudah ada sejak manusia lahir, masih berada di kandungan ibunya. Jadi ini terjadi secara natural bukan sesuatu yang dibuat atau diajarkan," jelas Chiko.
Menurut Dalang, diskrimnasi terhadap KGS terjadi bukan hanya karena minim informasi. "Masalahnya bahwa masyarakat tidak menerima sesuatu yang berbeda daripada biasanya. Sehingga saat ada yang berbeda di kelompok yang kecil atau minoritas maka itu dianggap salah. Harusnya mereka tanya, kenapa kami bisa seperti itu, apa alasannya ekpresi kami seperti ini. Jangan menjudge," kritik Dalang. (vel)
Terbitkan Perwali Kupang
Yandris D Radja dari Bagian Hukum Pemkot Kupang menyatakan siap mengakomodir rekomendasi dalam diskusi itu dengan meneruskannya ke atasannyam. Yandris yakin, usulan Perwali tentang Pelindungan Kelompok Rentan itu akan bisa direalisasikan. "Saya pikir, seratus persen perwali itu bisa direalisasikan.
"Saya akan sampaikan kepada Kabag Hukum untuk sesegera mungkin kami berkodinasi dengan OPD dan juga LBH APIK untuk prioritas membuat Perwali perlindungan terhadap kelompok rentan," janjinya, Kamis (27/1).

Menurut Yandris, tentunya proses penerbitan perwali ini membutuhkan keterlibatan organisasi perangkat daerah (OPD) teknis, kegiatan FGD, data pendukung serta naskah akademis.
Yandris menilai, diskusi Hak Asasi Manusia ini membuka wawasan pemerintah untuk bisa melahirkan berbagai regulasi yang menjawab kebutuhan kelompok rentan.
"Karena nyata dan fakta bahwa regulasi selama ini belum mengakomodir kebutuhan kelompok rentan dalam aspek pemenuhan HAM," aku Yandris.
Yandris berterimakasih kepada LBH APIK yang selama ini telah melibatkan Bagian Hukum Pemkot Kupang dalam berbagai diskusi terkait kelompok rentan yang terdiri dari perempuan anak, disabilitas, keberagaman gender dan seksualitas.
"Ternyata dalam domain kami sebagai perancang peraturan, masih banyak hal yang mesti dipelajari dan hal itu kami dapatkan dari LBH APIK," kata Yandris. (vel)
kelompok rentan
kelompok disabilitas
Keberagaman Gender dan Seksualitas
LBH APIK NTT
perlindungan hukum
LBH APIK NTT Beberkan 300 Kasus Kekerasan Perempuan dan Anak, Mayoritas Kekerasan Seksual |
![]() |
---|
LBH APIK Dorong Kolaborasi dengan PKK Tangani Kekerasan Perempuan dan Anak |
![]() |
---|
Diatas Kertas Ideal, Tapi Prakteknya Adil dan Setara untuk Kelompok Rentan itu Belum Tentu Terwujud |
![]() |
---|
Kelompok Rentan yang Berhadapan dengan Hukum Belum Dapat Pelayanan Maksimal |
![]() |
---|
Kasus Prada Lucky Namo, Pesan Terbuka untuk Danrem 161 dan Panglima TNI Dari LBH APIK NTT |
![]() |
---|
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.