Opini

Opini: Inflasi dan Kebijakan Pangan

Negeri ini sebenarnya berdiri di atas realitas yang tidak mungkin ditutupi, yakni sebagian besar rakyat bekerja di sektor pertanian.

Editor: Alfons Nedabang
POS-KUPANG.COM/HO
Pengamat Kebijakan Publik NTT, Ir. Habde Adrianus Dami, M.Si 

Oleh: Habde Adrianus Dami

( Mantan Sekda Kota Kupang, Pengamat Kebijakan Publik )

POS-KUPANG.COM - Negeri ini sebenarnya berdiri di atas realitas yang tidak mungkin ditutupi, yakni sebagian besar rakyat bekerja dan mencari nafkah di sektor pertanian.

Namun, pemerintah tampaknya acuh terhadap fakta itu sehingga seluruh proses pembangunan yang dijalankan malah menempatkan sektor pertanian selalu dalam posisi terjepit. Singkatnya, pemerintah belum serius memutar roda energi revitalisasi pertanian dalam upaya menggenjot produksi pangan.

Padahal, merujuk hasil kajian Kompas (16/2/2019), pangan menempati isu terpenting untuk diselesaikan oleh presiden terpilih dengan persentase 51,8 persen, jauh melampaui infrastruktur (15,3 persen), sumber daya alam (12,1 persen), lingkungan (10,5 persen), dan energi (5,5 persen).

Di samping itu, harga pangan mendapat perhatian tertinggi responden (45,5 persen), diikuti ketersediaan pangan (30 persen) dan strategi ketahanan pangan (8,2 persen).

Isu lain yang terkait sektor pangan adalah masalah dinamika harga pangan yang berkontribusi terbesar terhadap inflasi. Gejolak inflasi yang mewarnai panggung perekonomian 2022, bukanlah sesuatu yang pertama bagi awam.

Baca juga: Opini: Paradoks Penyerapan Anggaran Akhir Tahun

Inflasi yang lebih didorong fenomena nonmoneter, baik berupa kebijakan kenaikan harga BBM, harga pangan yang bergejolak, maupun buruknya infrastruktur yang mengganggu distribusi barang dan melemahkan daya saing,

Karena, inflasi yang tinggi sering kali dianggap momok perekonomian karena menggerus daya beli dan menurunkan tingkat konsumsi masyarakat. Akibatnya, berpotensi mengganggu target pertumbuhan ekonomi.

Namun, kejadian yang berulang tahun ini seperti tanpa solusi yang komprehensif. Melihat kejadian ini, perlu disiapkan skenario komprehensif untuk mengurangi risiko dampak inflasi ini.

Seperti, kejadian inflasi lintas wilayah yang terjadi saat ini menunjukkan bahwa urusan inflasi bukan ranah satu pemda, tapi harus memasuki area koordinasi lintas pemda. Untuk itu, pengendalian risiko inflasi harus diawali dengan perencanaan pengurangan risiko serta kesatuan tata kelola inflasi.

Fenomena inflasi

Menurut Samuelson dan Nordhaus, dalam Anton, (2022), ada dua penyebab timbulnya inflasi. Pertama, tarikan permintaan (demand-pull inlation). Kondisi ini terjadi saat permintaan agregat meningkat lebih cepat dibandingkan potensi produktif perekonomian (penawaran), mendorong harga barang dan jasa naik.

Kedua, adalah dorongan biaya (cost push inflation/supply shock inflation). Inflasi ini menyebabkan peningkatan biaya akibat kelangkaan produksi dan/atau juga termasuk adanya kelangkaan distribusi, walaupun permintaan secara umum tidak ada kenaikan signifikan.

Baca juga: Opini: Ambiguitas Indikator Ekonomi NTT

Halaman
123
Sumber: Pos Kupang
BERITATERKAIT
  • Ikuti kami di
    KOMENTAR

    BERITA TERKINI

    © 2023 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved