Berita NTT
Dosen Undana Kupang, DR. Feliks Tans Kecewa dengan Pelayanan Bea Cukai Atambua
Sayangnya, sebagian dari oleh-oleh itu diminta oleh petugas untuk dihancurkan dengan alasan yang kami bawa melebihi ketentuan
Penulis: Teni Jenahas | Editor: Rosalina Woso
Laporan Reporter POS KUPANG. COM, Teni Jenahas
POS-KUPANG. COM, ATAMBUA - Dosen Undana, DR. Tans Feliks mengungkapkan kekecewaan terhadap layanan Kantor Bea Cukai Atambua di PLBN Motaain.
Pasalnya, oleh-oleh khas Timor Leste yang mereka bawa berupa satu botol anggur diminta oleh petugas Bea cukai untuk dihancurkan karena alasan melebihi ketentuan.
"Pada tanggal 16 Oktober, 2022, kami, penulis dan beberapa akademisi Undana, pulang dari Negara Demokratik Timor Leste (Tiles) via darat ke Kupang setelah menjalankan tugas kenegaraan di sana.
Baca juga: Ombudsman RI Perwakilan NTT Berharap Pemilu 2024 Harus Ramah Disabilitas
Sebagai Wakil Pemerintah Tiles, "host", yang baik, teman-teman kami di Tiles memberikan kami, Pimpinan Undana, termasuk saya selaku Direktur Program Pascasarjana, oleh-oleh, antara lain, anggur khas Tiles dalam kemasan botol seperti dalam gambar.
Sayangnya, sebagian dari oleh-oleh itu diminta oleh petugas untuk dihancurkan dengan alasan yang kami bawa melebihi ketentuan", ungkap Feliks dalam surat pembaca yang dikirim ke Redaksi Pos Kupang. Com, Senin 17 Oktober 2022.
Feliks mengatakan, sesuai ketentuan sebagaimana dijelaskan petugas Bea Cukai yang bertugas di PLBN Motaain bahwa setiap orang yang pulang dari Timor Leste hanya boleh membawa satu liter anggur ke Indonesia.
Oleh karena itu, empat botol anggur yang sesuai ketentuan diizinkan masuk ke Indonesia sedangkan satu botol lainnya yang ukuran lebih dari satu liter diminta untuk dihancurkan.
Lanjut Feliks, ia bersama rekan dosen menolak untuk menghancurkan dan membuang isinya karena beberapa alasan antara lain, ole ole itu adalah pemberian tulus dari host atau tamu mereka di Timor Leste. Secara etis, menghancurkan pemberian orang tidak baik sama sekali.
Baca juga: OJK NTT Sebut Bank NTT Butuh Rp 900 Miliar Untuk Modal Inti Minimum
"Kami menolak menghancurkan botol itu dan membuang isinya dengan beberapa alasan berikut. Pertama, oleh-oleh itu berian tulus dari "host" kami untuk kami. Secara etis, menghancurkan berian orang tidak baik sama sekali. Nilai-nilai Pancasila, setahu saya, juga tidak seperti itu", katanya.
"Kedua, sesuai dengan informasi yang kami dapat dari sumber yang terpercaya, yang dilarang adalah bawaan anggur yang jumlahnya lebih dari satu botol seperti pada gambar itu, bukan lebih dari satu liter per orang. Artinya, saya boleh bawa satu botol itu. Titik. Kalau lebih daripada satu, baru dilarang", sambungnya.
"Ketiga, jika aturannya adalah bahwa orang yang pulang dari Tiles hanya boleh bawah satu liter anggur per orang, kami sangat menyesal mengapa aturan itu tidak diinformasikan kepada kami ketika kami lapor diri ketika mau ke Dili. Mengapa informasi penting itu tidak disampaikan kepada Bagian Imigrasi yang letaknya masih satu atap, yaitu di Pos Lintas Batas Negara Motaain, untuk diberikan dalam bentuk pesan WA atau “leaflet” kecil kepada kami dan semua orang yang bepergian ke luar negeri? Apakah karena Anda dari kementerian yang berbeda? Di sini ada kesan, seolah-olah kami dibiarkan membawa “tidak sesuai dengan aturan” supaya lebihnya untuk oknum tertentu yang bermain di air keruh. Kesan seperti itu muncul ketika kabar penahanan sebotol anggur itu mengviral. Ada yang menyesalkan mengapa tidak menghubungi mereka karena mereka “punya koneksi” di sana. Moga-moga kesan ini salah", ungkap Feliks.
Keempat, jika aturan itu benar, artinya ada aturan seperti itu, yaitu hanya boleh bawah paling banyak satu liter, atau ada yang mengatakan boleh 2,5 liter anggur, per orang, aturan itu salah. Aturan yang salah, tentu, harus dilawan supaya dia diubah menjadi aturan yang benar dan, karena itu, tidak merugikan siapapun atau apapun.
Mengapa itu aturan salah? Pertama, dia melabrak kebajikan lokal. Berian tulus orang dibalas dengan hinaan. Menghancurkan sebuah berian tulus orang, sebuah hinaan, bukan? Kedua, yang menerima berian itu juga tidak etis jika harus menolak dengan menyatakan, misalnya, "Tolong jangan isi botol secara penuh; isi 1/5-nya saja."
Juga aneh, apa beda satu berian berisi lebih dari satu liter dengan kemasan seindah botol itu? Apakah Indonesia akan rugi besar jika oleh-oleh seindah botol itu masuk Indonesia, misalnya, akan ada kerusuhan masal, penyakit menular sekelas Covid-19, dan lain sebagainya? Tidak, bukan?