Liputan Khusus
Kawin Tangkap di Sumba NTT Bentuk Pelanggaran HAM
Kasus kawin tangkap dengan korban ANG (26), wanita asal Kampung Galimara, Desa Modu Waimaringu, adalah bentuk pelanggaran Ham Asasi Manusia (HAM)
Pada Hari H, seluruh keluarga ANG sudah siap. Tapi hingga sore hari, WB tak kunjung datang. Setiap kali ditelepon ke handphonenya tidak aktif.
Ditengah situasi demikian, pihak keluarga memandang sikap WB tersebut, telah melecehkan keluarga ANG. Karena itu, keluarga berunding untuk mengangkat kembali nama baik keluarga dengan tetap memproses adat itu. Selanjutnya, keluarga menghubungi keluarga LB untuk menggantikan WB melamar ANG.
"Niat ini baik, sayang cara yang dilakukan LB kurang baik sehingga menimbulkan permasalahan seperti saat itu," kata Khatarina.
Khatarina bersyukur karena kini kedua keluarga besar ANG dan LB, yakni keluarga om dan tante bersepakat mengakhiri hubungan tersebut dan kembali baik seperti sedia kala. (pet)
DPRD Sumba Barat : Bukan Zamannya Lagi
TIGA Anggota DPRD Kabupaten Sumba Barat (Sumbar), Lazarus Jaga Lede Wula yang juga adalah Ketua Komisi A DPRD Sumba Barat, Christian Ndelo, S.P dan Dominggus Bayo menegaskan bahwa kawin tangkap sudah bukan zamannya lagi dilakukan sekarang.
"Kalau dulu, mungkin ya. Tetapi pada zaman modern seperti sekarang, hal itu harusnya tidak perlu terjadi lagi," kata Lazarus dibenarkan Christian dan Dominggus, Senin (1/8).
Menurut Lazarus, perkawinan harus berlandaskan rasa saling cinta dan saling menyayangi antara seorang laki-laki dengan seorang perempuan. Seorang perempuan berhak menentukan pilihan pasangan hidupnya.
Bukan berdasarkan paksaan orang tua apalagi pihak lain. Sebab, yang menjalani perkawinan adalah seorang perempuan dengan pasangannya, yang menjalani perkawinan adalah anak perempuannya, Bukan si orang tua yang menjalani perkawinan itu nantinya.
Karena itu, mereka berharap masyarakat bisa menghentikan niat untuk melakukan proses kawin tangkap sebelum melakukan perkawinan itu. Sebab, perbuatan itu justru melanggar hak asasi manusia karena melecehkan seorang perempuan.
Ketiganya juga mendukung langkah Polres Sumbar yang memproses hukum kasus kawin tangkap tersebut hingga tuntas. Hal ini dilakukan agar bisa meningkatkan penegakan hukum di wilayah Polres Sumbar.
Ketiganya mengomentari viralnya video kawin tangkap yang beredar di media sosial tanggal 25 Juli 2022 lalu.
- NEWS ANALYSIS
Veronika Ata, SH MHum, Ketua LPA NTT : Pelanggaran HAM
Pada prinsipnya budaya atau tradisi yang tidak mendiskriminasi perempuan dan anak serta tidak ada unsur kekerasan, akan selalu kami dukung. Sebaliknya, jika ada tradisi atau budaya yang tidak ramah terhadap permepuan dan anak maka budaya atau tardisi seperti itu harus ditinjau kembali.
Sebagaimana tindakan kawin tangkap yang katanya merupakan tradisi atau budaya yang ada di Kabupaten Sumba Barat (Sumbar) yang terjadi beberapa waktu lalu. Secara hukum, tindakan kawin tangkap seperti itu merupakan pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) dari perempuan tersebut apalagi jika tak persetujuan dari yang bersangkutan.
Tindakan kawin tangkap bisa juga disamakan dengan kawin paksa jika perempuan dimaKSUD tidak menyepakati hal. Artinya kawin paksa itu melanggar ketentuan UU Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan. Dimana UU ini menghendaki terjadinya perkawinan atas persetujuan kedua belah pihak laki-laki dan perempuan.

Artinya ketentuan UU Perkawinan itu mengatur bahwa perkawinan itu terjadi jika ada persetujuan dari kedua belah pihak yang telah dewasa menurut hukum dan mampu bertanggungjawab keputusan yang diambilnya.
Sedangkan kondisi lapangan, menunjukkan bahwa kasus kawin tangkap atau kawin paksa telah merampas kemerdekaan perempuan dan juga terjadi tindakan eksploitasi terhadap seorang perempuan dalam menentukan pasangan hidupnya.
Sebaiknya, kawin tangkap itu perlu ditinjau kembali oleh pihak terkait karena terkesan sangat mengeksploitasi hak perempuan. Perempuan seakan tidak dapat memilih pasangan hidupnya secara bebas dan bertanggungjawab, ketika dia ditangkap lalu akhirnya mungkin secara terpaksa menyetujui untuk menikahi orang yang menjalankan proses kawin tangkap itu.
Karena itu, pihak terkait seperti tokoh adat, tokoh masyarakat dan pemerintah bahkan tokoh agama, mesti duduk bersama untuk membahas keberlangsungan proses dan kegiatan kawin tangkap yang biasanya digelar di Pulau Sumba. Bagaimana para pihak menghasilkan rumusan pelaksanaan kawin tangkap yang tidak menceredai hak asasi manusia si perempuan atau keluarga perempuan.
Jika itu adalah tradisi dan budaya di Sumba maka hal itu mesti ditinjau lagi. Jika kawin tangkap itu bukan tradisi dan budaya Sumba maka pelaku tindakan kawin tangkap itu mesti diproses hukum.
Karena tak jarang akibat dari kawin tangkap itu, perempuan menjadi malu, terganggu priskologisnya, trauma bahkan mengalami luka fisik saat berlangsung proses tangkap itu. Dan jika hal ini terjadi maka hak asasi manusia perempuan itu telah dilanggar. Dan perempuan dimasud bisa saja melaporkan hal ini ke aparat penegak hukum dan pelaku bisa diproses hukum.
Budaya dan tradsi memang harus dijaga dan dilestarikan, namun jika budaya atau tradisi itu melangar hak asais manusia, maka perlu ditinjau keberlangsungannya. Mungkin akan lebih baik jika budaya kawin tangkap itu ingin terus dilestarikan namun disesuaikan dengan perkembangan jaman, dan tidak melanggar hak asasi manusia.

Misalnya saja, sudah ada kesepakatan terlebih dahulu antara calon pasangan pengantin, lalu proses kawin tangkap, atau melakukan penangkapan dan membawa perempuan itu perempuan ke rumah si pria disepakati lalu dilakukan dengan memperhatikan hak asasi agar si permepuan tidak mengalami kekerasan fisik atau psikis misalnya.
Mungkin hal seperti itu yang bisa dilakukan agar budaya tradisi kawin tangkap itu bisa tetap dilakukan, dilestarikan dengan tetap memperhatikan hak asasi manusia. Jangan mengatasnamakan menjalankan budaya untuk bisa melegalkan tindakan melawan hukum atau melakukan pelanggaran terhadap hak asasi manusia dalma hal ini perempuan hanya untuk mendapatkan keuntungan pribadi atau keuntungan tertentu.
Pihak kepolisian mesti memproses hukum pelaku. Meski sudah berdamai, proses hukum terhadap pelaku mestinya tetap berjalan karena tindakan itu bukan bukan delik aduan. (cr14/vel)