Opini
Lembata dan Konflik ‘Bawah Sadar’
Ada yang malah berpendapat, dana Rp 2,5 miliar tentu lebih baik kalau digunakan untuk pembangunan jalan atau infrstruktur lainnya.
Minimal bila dilaksanakan dalam rangka memperingati statement 7 Maret, maka dijadikan sebuah tonggak.
Baca juga: Bupati Lembata : Pelaku Eksplore Budaya Lembata Berasal Dari Masyarakat Adat
Pada kesempatan itu, berbagai adat dan budaya perwakilan dari tiap kecamatan ada untuk memperingati sebuah tonggak sejarah.
Kedua, "sare dame" atau explorasi budaya tentu tidak bisa menjadi seperti ‘Bim Salabim mau jadi apa, prok-prok’ dari pak Tarno. Ia harus diproses dari bawah.
Itu berarti pendidikan perlu dimulai dari bawah dengan menanamkan nilai-nilai budaya dan tradisi yang sudah dihidupi selama berpuluh-puluh tahun. Khasanah budaya inilah yang perlu terus diwarisi.
Sayangnya, warisan budaya ini di berbagai tempat, seperti di Lembata, bersifat budaya lisan. Ia diteruskan sejauh menjadi kisah.
Akibatnya, ketika tutur itu terlupakan, maka ia pun terhapus.
Dalam arti ini kita menyambut upaya menulis sejarah. Lembata, Pergulatan Sejarah dan Perjuangan Otonominya yang dibedah Minggu 16 Januari 2022 menjadi salah satu tonggak sejarah yang bisa dijadikan acuan.
Dari buku tersebut bisa diturunkan silabus untuk kemudian menjadi sebuah muatan lokal.
Ketiga, berhadapan dengan dominasi alam bawah sadar maka pemimpin ke depan minimal ‘orang sadar’.
Kenyataan, kepemimpinan Lembata dan di banyak tempat, lebih ditempati oleh orang-orang yang kesadarannya diragukan. Lembata dijadikan sebagai objek.
Seorang politisi asal Lembata yang kini mewakili Dapil Papua, Sulaeman Hamzah berucap ikhlas: Kalau mau cari kaya, Lembata bukan tempatnya.
Tetapi di sana bisa menjadi sebuah ironi. Justru di sebuah kabupaten yang ‘segitu’ orang malah mau mencari kaya. Inilah ironi yang kerap terjadi.
Tetapi sayangnya, hal ini masih tidak disadari akibatnya melahirkan pemimpin yang juga tidak sadar.
Baca juga: Bupati Lembata: Terkutuk! Kepala Desa yang Tidak Salurkan Bantuan Langsung Tunai
Semestinya, 23 tahun perjalanan otonomi daerah dan 68 tahun sejak deklarasi 7 Maret membawa kepada kesimpulan bahwa kita butuh pemimpin intelektual yang sadar diri, sadar alam, dan sadar budaya untuk menjadikannya sebagai titik berangkat.
Dalam arti ini kita patut sambut "Sare Dame" sebagai salah satu cara mengelus pemimpin sadar untuk Lembata yang lebih sadar.
*Robert Bala, Diploma Resolusi Konflik Asia Pasifik, Universidad Complutense de Madrid – Spanyol.