Opini

Lembata dan Konflik ‘Bawah Sadar’

Ada yang malah berpendapat, dana Rp 2,5 miliar tentu lebih baik kalau digunakan untuk pembangunan jalan atau infrstruktur lainnya.

Editor: Agustinus Sape
KOMPASIANA.COM
Robert Bala 

Lembata dan Konflik ‘Bawah Sadar’

Oleh Robert Bala*

POS-KUPANG.COM - Ketika ide ‘sare dame’ diluncurkan, tidak sedikit reaksi muncul hal mana benar adanya.

Di antara banyak reaksi, ada yang mengatakan, “Lembata selama ini baik-baik saja kog. Tidak ada pertikaian antara ‘paji dan demon’ seperti ‘doeleo’ karena itu jangan gelontorkan program yang tidak tepat.”

Ada yang malah berpendapat, dana Rp 2,5 miliar tentu lebih baik kalau digunakan untuk pembangunan jalan atau infrstruktur lainnya.

Komentar itu pun benar karena saat ini kondisi jalan di Lembata sebagian besar yang memprihatinkan bukan saja karena rusak tetapi karena tidak bisa dilewati.

Yang jadi pertanyaan, apakah perdamaian selalu berkaitan dengan konflik riil?

Sejak Sigmund Freud, eksploitasi terhadap ‘kekuatan’ alam bawah sadar diteliti secara sangat cermat.

Bagi Freud, alam sadar pikiran yang dimiliki manusia itu sebenarnya identik dengan puncak gunung es. Yang sadar hanya sedikit dan terlihat di atas permukaan laut. Yang paling banyak adalah alam bawah sadar, yang tenggelam.

Sumber lain mengatakan, alam sadar manusia hanyalah 12%. Sisanya yang terbesar, 88% adalah alam bawah sadar.

Baca juga: Anggota DPR Sulaeman Hamzah Bahas Buku Sejarah Lembata Karya Thomas B Ataladjar

Itu berarti konflik yang jadi alasan untuk berdamai bukan saja disebabkan oleh masalah nyata. Kalau pun ada, itu sebenarnya hanya 12%.

Yang jauh lebih penting, menyadari bahwa konflik itu ada dalam alam bawah sadar.

Karena itu, kalau ada perdamaian maka yang jadi alasan adalah untuk menyadari dan mengelola alam bawah sadar.

Karena itu kalaupun ada acara perdamaian maka yang menjadi sasaran adalah alam bawah sadar sambil menjadi sindiran bagi orang yang ‘sok pintar’ bahwa konflik itu tidak ada.

Bagaimana kita membuktikan alam bawah sadar? Karena ia berada di bagian tak sadar, maka kehadiran alam bawah sadar bisa dideteksi dari efek-efek yang muncul dalam diri manusia.

Perilaku seperti marah, penuh prasangka, perilaku kompulsif, interaksi sosial yang sulit, dan masalah dalam hubungan merupakan perwujudan dari alam bawah sadar.

Ia tidak hadir sebagai konflik terbuka, tetapi dimulai dari hal-hal kecil sebagai ekspresinya.

Terhadap fenomena di atas, Freud mengatakan bahwa banyak dari perasaan, keinginan, dan emosi kita ditekan atau ditahan karena kesadaran mereka terlalu mengancam. Bahkan keinginan-keinginan yang tersembunyi dan ditekan ini bisa muncul melalui mimpi.

Merujuk pada hal ini maka harus kita akui, ekspresi alam bawah sadar menjadi hal yang sangat nyata dan terjadi. Ia bahkan menjadi ‘makanan harian’.

Lihat saja perilaku marah yang tidak saja terjadi pada level masyarakat yang mengungkapkan kemarahannya dengan ‘berteriak’ di medsos tetapi bahkan orang yang berpendidikan.

Baca juga: Alasan Petrus Bala Wukak Tolak Eksplor Budaya Lembata : Siapa yang Legitimasi Seremonial Adat 

Belum beberapa saat lalu, seorang sekretaris dinas menguar-uarkan kekesalannya (dan kemudian ia minta maaf) karena tidak terpilih menjadi Kadis.

Prasangka pun menjadi begitu kuat. Ia bukan saja terjadi pada tataran masyarakat bawah tetapi juga kaum intelektual.

Mereka yang harus terbuka dalam perang opini yang mencerahkan, malah menarik rendah ‘intelektualitasnya’ (yang katanya ada) dengan ikut dalam gosip rendahan.

Sikap marah itu akan mudah menjadi kompulsif melalui aneka kecemasan yang menambah parah kemarahan itu. Semuanya akhirnya bermuara pada renggangnya hubungan sosial.

Yang jadi pertanyaan: apakah konflik alam bawah sadar itu disadari? Ini pertanyaan konyol. Sudah pasti bahwa alam tak sadar tidak disadari. Jawaban itu memang benar.

Tetapi menyadari ketaksadaran adalah langkah bijak. Minimal menyadarkan orang akan efek yang ditimbulkan oleh alam bawah sadar yang tidak dikelola.

Mulai dari Pendidikan

Bagaimana menempa dan mengelola alam bawah sadar sehingga efeknya bersifat positif-konstruktif?

Pertama, alam bawah sadar yang ada pada setiap diri tidak ada seketika. Ia telah melewati proses yang lama. Karena itu upaya mengelolanya tentu bukan sebuah kegiatan seketika.

Dalam arti ini, "sare dame" (atau Explorasi budaya) kalau dilaksanakan ia tidak menjadi ‘sim sala bim’ untuk menyelesaikan konflik alam bawah sadar. Ia hanya merupakan titik tonggak.

Minimal bila dilaksanakan dalam rangka memperingati statement 7 Maret, maka dijadikan sebuah tonggak.

Baca juga: Bupati Lembata : Pelaku Eksplore Budaya Lembata Berasal Dari Masyarakat Adat

Pada kesempatan itu, berbagai adat dan budaya perwakilan dari tiap kecamatan ada untuk memperingati sebuah tonggak sejarah.

Kedua, "sare dame" atau explorasi budaya tentu tidak bisa menjadi seperti ‘Bim Salabim mau jadi apa, prok-prok’ dari pak Tarno. Ia harus diproses dari bawah.

Itu berarti pendidikan perlu dimulai dari bawah dengan menanamkan nilai-nilai budaya dan tradisi yang sudah dihidupi selama berpuluh-puluh tahun. Khasanah budaya inilah yang perlu terus diwarisi.

Sayangnya, warisan budaya ini di berbagai tempat, seperti di Lembata, bersifat budaya lisan. Ia diteruskan sejauh menjadi kisah.

Akibatnya, ketika tutur itu terlupakan, maka ia pun terhapus.

Dalam arti ini kita menyambut upaya menulis sejarah. Lembata, Pergulatan Sejarah dan Perjuangan Otonominya yang dibedah Minggu 16 Januari 2022 menjadi salah satu tonggak sejarah yang bisa dijadikan acuan.

Dari buku tersebut bisa diturunkan silabus untuk kemudian menjadi sebuah muatan lokal.

Ketiga, berhadapan dengan dominasi alam bawah sadar maka pemimpin ke depan minimal ‘orang sadar’.

Kenyataan, kepemimpinan Lembata dan di banyak tempat, lebih ditempati oleh orang-orang yang kesadarannya diragukan. Lembata dijadikan sebagai objek.

Seorang politisi asal Lembata yang kini mewakili Dapil Papua, Sulaeman Hamzah berucap ikhlas: Kalau mau cari kaya, Lembata bukan tempatnya.

Tetapi di sana bisa menjadi sebuah ironi. Justru di sebuah kabupaten yang ‘segitu’ orang malah mau mencari kaya. Inilah ironi yang kerap terjadi.

Tetapi sayangnya, hal ini masih tidak disadari akibatnya melahirkan pemimpin yang juga tidak sadar.

Baca juga: Bupati Lembata: Terkutuk! Kepala Desa yang Tidak Salurkan Bantuan Langsung Tunai 

Semestinya, 23 tahun perjalanan otonomi daerah dan 68 tahun sejak deklarasi 7 Maret membawa kepada kesimpulan bahwa kita butuh pemimpin intelektual yang sadar diri, sadar alam, dan sadar budaya untuk menjadikannya sebagai titik berangkat.

Dalam arti ini kita patut sambut "Sare Dame" sebagai salah satu cara mengelus pemimpin sadar untuk Lembata yang lebih sadar.

*Robert Bala, Diploma Resolusi Konflik Asia Pasifik, Universidad Complutense de Madrid – Spanyol.

Artikel opini lainnya

Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

Berita Populer

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved