Opini Pos Kupang
Sektor Air Butuh Insentif Pajak
mendekati kenyataan setelah Wali Kota Kupang, memutuskan rencana pengenaan pajak air bawah tanah (pajak air), pada tahun 2022
Kesulitan lain pada tataran operasionalnya adalah besarnya tarif pajak air. Mengadaptasi, teori Laffer (2004) dalam Irwan (2016), menjelaskan bahwa terdapat hubungan antara tarif pajak dan penerimaan negara dari pajak.
Laffer menyatakan, bahwa pada tingkat tarif sebesar nol persen, pemerintah tidak mendapatkan penerimaan yang bersumber dari pajak. Demikian pula halnya jika tarif pajak 100 persen, pemerintah tidak akan mendapatkan penerimaan pajak.
Teori ini menjelaskan bahwa diperlukan tarif pajak yang ideal, sehingga dapat memberikan kontribusi peningkatan penerimaan pajak. Untuk itu, dibutuhkan grand strategi perpajakan yang mengandung unsur kebaruan dan dapat mendorong perekonomian.
Karena itu, pemerintah sebaiknya sadari, pengenaan pajak air tidak bisa dianalisis secara otonom tanpa mempertimbangkan efek penjalaran terhadap sektor-sektor sosial dan ekonomi lainnya. Sebagai contoh, kebutuhan air yang berkontribusi terhadap harga makanan dan minuman diwarung. Sebab, mahalnya harga air juga akan berisiko elastis menyulut inflasi.
Lugasnya, kebijakan pengenaan pajak air tak bisa diisolasi dari sektor lainnya. Persoalan menjadi semakin tidak sesederhana ketika terjadi kompleksitas dalam sumber dan implikasi inflasi. Inflasi yang tinggi berpotensi mengganggu stabilitas ekonomi dan produktivitas masyarakat.
Sehingga, perlu menciptakan suatu kebijakan ekonomi yang optimal. Dalam konteks inilah, ekonomi normatif berperan lebih besar dibandingkan dengan ekonomi positif. Dalam ekonomi positif, kita hanya berbicara mengenai apa yang seharusnya dipilih untuk dilakukan misalnya pengenaan pajak air, dalam tataran obyektif atau benar secara obyektif.
Namun, dalam tataran normatif, kita selalu berurusan dengan nilai, apa yang bisa diterima dan tidak bisa diterima secara politik oleh masyarakat. Kesulitan dalam pengambilan keputusan akan timbul manakala keputusan yang berlandaskan norma tidak sesuai atau tidak didukung oleh basis empirik-obyektif.
Kondisi sebaliknya juga mungkin terjadi. Manakala tidak ada konsistensi antara yang obyektif dan normatif. Dengan asumsi dasar inilah, jangan sampai upaya kebijakan pengenaaan pajak air menjadi tidak realistis, dan cenderung kontraproduktif.
"Sunset policy"
Kebijakan pemerintah untuk membantu masyarakat adalah sebuah pendekatan distingtif yang memengaruhi alokasi sumberdaya melalui mekanisme pasar atau instrumen lainnya seperti insentif atau disintensif pajak, tujuannya dapat terpenuhinya konsumsi minimal dan pelayanan publik.
Karena itu, relaksasi pajak yang kredibel dan konsisten, sesungguhnya menjadi bahu sandar perekonomian. Mengingat, insentif pajak saat ini bandulnya lebih mengarah pada fungsi regulasi dengan tujuan untuk membantu menggerakan roda perekonomian.
Karena, saat ini kondisi ekonomi memang sangat mengkhawatirkan berjalan lambat, diikuti dengan menurunya daya beli masyarakat.
Sehingga, melihat kondisi faktual, dibutuhkan solusi sunset policy seperti insentif pajak. Insentif pajak meliputi : Pertama, pengecualian dari pengenaan pajak, kedua, pengurangan dasar pengenaan pajak, ketiga, kompensasi kerugian, dan keempat, pengurangan tarif pajak.
Apapun pilhan jenis insentif pajak atas pelaku usaha air, kondisi ini tentu saja tidak ideal. Namun, ini pilihan berat yang masih lebih baik dibandingkan dengan, misalnya, menerapkan atau menaikan pajak air.
Konsekuensinya, ruang gerak pemerintah untuk mendorong stimulus fiskal sudah sangat sempit. Dengan kata lain, semua pilihan tersebut menyulitkan APBD untuk bermanuver.