Opini Pos Kupang

Sektor Air Butuh Insentif Pajak

mendekati kenyataan setelah Wali Kota Kupang, memutuskan rencana pengenaan pajak air bawah tanah (pajak air), pada tahun 2022

Editor: Kanis Jehola
Dok Pos-Kupang.Com
Logo Pos Kupang 

Oleh: Habde Adrianus Dami, Mantan Sekda Kota Kupang, Pendiri Institut Kebijakan Publik dan Penganggaran/KUPANG Institute

POS-KUPANG.COM- Dalam wacana konseptual, pemerintah akan merubah arsitektur perpajakan ditengah pandemi, tampaknya mendekati kenyataan setelah Wali Kota Kupang, memutuskan rencana pengenaan pajak air bawah tanah (pajak air), pada tahun 2022.

Menurut, I Wayan Ari Wijana, Kepala Badan Pendapatan Daerah Kota Kupang, "Persyaratannya kalau dipakai untuk kebutuhan rumah tangga maka pemerintah tidak memungut pajak, tetapi kalau dijual maka akan dikenakan pajak, nanti ada perhitungannya sendiri, volume air yang keluar dan biayanya berapa nanti dihitung" (www.nntlinecow.com, 12/08/2021).

Secara sederhana, pajak merupakan pungutan yang dikenakan pada setiap proses dan transaksi produksi barang dan jasa. Disini, pajak dapat diartikan sebagai instrumen untuk mendistorsi aktivitas ekonomi tertentu yang tidak diharapkan pemerintah.

Jika, konstitusi menyatakan air sebagai kekayaan negara, dalam praksis ekonomi menuntut adanya usaha yang dijalankan public utility. Sayangnya, definisi kategoris public utility tidak jelas, sehingga produk (dan jasa) yang didefinisikan sebagai keluaran usaha ini kabur, dalam perspektif kepentingan publiknya, bukan berdasarkan kriteria dunia korporasi.

Baca juga: Insentif Pajak Penghasilan Karyawan Diperpanjang

Terkait dengan itu, ada paradoks rencana pengenaan pajak air sebagai sektor utilitas publik, pada satu sisi, masyarakat masih menghadapi masalah pandemi dan belum terpenuhinya kebutuhan air, pada sisi lain, pemerintah belum mampu menyediakan air.

Dalam perubahan kebijakan pasti menimbulkan riak pada titik tertentu. Disinilah, kebijakan pengenaan pajak air menemukan signifikansi dan urgensi untuk diuji. Apakah praktik perpajakan ini cukup kokoh untuk dijadikan titik berangkat?

Mengingat, tantangannya bukan lagi pada level ontologis yaitu "to be or not to be", melainkan persuasi dan argumentasi yang mampu menjawab secara meyakinkan pertanyaan dan kekhawatiran berbagai pihak.

Efek penjalaran

Ekspektasi pemerintah meningkatkan penerimaan daerah melalui kebijakan pengenaan pajak air tidaklah salah, walau tidak sepenuhnya dapat dibenarkan. Mengapa?. Karena konstruksi logika yang dibangun pemerintah, dengan hanya mengklaim, berkembang dan bertambahnya pelaku usaha air bawah tanah untuk tujuan komersial.

Baca juga: Wajib Pajak Agar Manfaatkan Insentif Pajak Karena Makin Luas dan Diperpanjang Sampai Akhir Tahun

Namun, sangat disayangkan, klaim dengan menyederhanakan isu dan permasalahan ini tidak didukung basis kajian yang komprehensif seperti segmentasi, proporsional dan efektivitas. Padahal, kebijakan apapun yang akan diambil pemerintah sehubungan dengan kepentingan rakyat, harus memahami peta dan implikasi kebijakan.

Karena, dalam situasi tertentu, dinamika usaha air bawah tanah secara ekonomi bisa jadi adalah optimal. Artinya, peningkatan permintaan atau produksi air barangkali adalah respons optimal dari para pelaku ekonomi, mengingat konteks pemerintah belum memenuhi kewajibannya atas air.

Sehingga, memaksakan penerimaan pajak air tumbuh tinggi ketika konteks ekonominya tak kompatibel justru dapat membawa dampak mahalnya harga jual air yang ditanggung masyarakat (konsumen). Secara ekonomi, harga pasti naik saat jumlah air yang dipasok operator PDAM di pasar jauh berkurang ketimbang permintaan dan sebaliknya.

Singkatnya, harga yang tidak benar akan menimbulkan distorsi. Sehingga, stabilisasi harga jual air merupakan konsep ideal yang diasumsikan berperan menjaga keseimbangan pemangku kepentingan air.

Halaman
123
BERITATERKAIT
  • Ikuti kami di
    KOMENTAR

    BERITA TERKINI

    berita POPULER

    © 2023 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved