Direktur PJKAKI KPK, Sujanarko: Status ASN Pengaruhi Independensi (Selesai)
Direktur PJKAKI KPK, Sujanarko: Status ASN Mempengaruhi Independensi (Selesai)
Direktur PJKAKI KPK, Sujanarko: Status ASN Mempengaruhi Independensi (Selesai)
POS-KUPANG.COM - DIREKTUR Pembinaan Jaringan Kerja Antar Komisi dan Instansi ( PJKAKI) Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Sujanarko menyebut ada keanehan Tes Wawasan Kebangsaan ( TWK). Sujanarko bersama 74 pegawai KPK lainnya tidak lolos TWK, selelksi pengalihan status menjadi ASN.
Hal aneh itu di antaranya menyangkut pertanyaan. "Pertanyaan-pertanyaan yang sangat rendah dan tidak berintegritas itu diajukan kepada officer-officer yang di bawah. Kebetulan saya dapat testimoni dari anak buah, tentang lepas jilbab, hasrat. Itu kebetulan anak buah saya. Bahkan disuruh pilih antara Al-Qur'an atau Pancasila? Bagaimana pertanyaan kok seperti itu? Itu testimoni yang saya dapat," kata Sujanarko dalam wawancara eksklusif dengan Tribunnews.com, Selasa (18/5/2021).
Keanehan berikutnya mengenai siapa pewawancara. "Ini juga suatu keanehan. Karena biasanya kalau konsultan profesional dan berintegritas saat kita masuk dipersilakan duduk, dia memperkenalkan diri dulu sebelum peserta ditanya identitasnya. Ini diminta nama dia nggak nyebut.
Baca juga: Anggota DPRD Belu, Marthen Naibuti Diberikan Sanksi Oleh Badan Kehormatan
Baca juga: Terminal ALBN di Desa Naiola Mubazir
Jadi seperti gelap. Kita nggak jelas, minta nomor handphone-nya nggak ada. Pewawancara orang-orang yang tidak mau diketahui identitasnya, tidak profesional banget," katanya. Berikut petikan wawancara lanjutan dengan Sujanarko:
Apakah Anda mengenal mereka (pewawancara)?
Tidak kenal. Tetapi saya yakin pewawancara saya bukan dari BKN. Orang di luar BKN.
Menurut Anda, dari mana pewawancara itu berasal?
Kalau dari sisi jenis-jenis pertanyaan, mereka punya kompetensi intelijen. Orangnya cukup senior.
Ketika diberi tahu tidak lolos TWK, apa Anda rasakan?
Kalau saya biasa saja. Tetapi prinsip saya begini, kebenaran tidak boleh takluk. Jadi kalau saya menyatakan saya di jalur kebenaran, maka saya akan tegak berdiri dan melawannya.
Bagaimana mekanisme anda mendapat pemberitahuan tidak lolos TWK?
Dengan ramainya publik, ada tekanan-tekanan publik itu, muncullah gagasan menonaktifkan pegawai. Ini juga blunder kedua. Kenapa? Karena tidak ada SOP, mekanisme, peraturan KPK bisa menonaktifkan pegawai tanpa kesalahan. Kesalahan yang dimaksud di KPK itu bukan kesalahan atas persepsi pimpinan.
Baca juga: Bahaya Pandemic Fatigue Syndrom
Baca juga: Waspadai Lonjakan Kasus Covid-19
KPK itu selalu yang disebut kesalahan melalui proses pemeriksaan internal bahkan melalui sidang kode etik. Jadi setiap pejabat di KPK tidak boleh mempersepsikan anak buahnya punya kesalahan tanpa proses yang adil. Tidak ada proses seperti itu.
Di media saya selalu bilang, tolong segera keluarkan SK-nya supaya pegawai bisa melakukan advokasi. Hari ini saya mengumpulkan 75 orang juga sulit. Kenapa? Karena SK-nya itu diberikan ke masing-masing dan itu lewat atasan masing-masing.
Pimpinan (KPK) sampai hari ini tidak pernah memberi penjelasan, memberi penerangan terhadap 75 pegawai. Itu bagian pimpinan KPK yang tidak kredibel, tidak berani menyatakan, berhadapan secara langsung dengan 75 orang.
75 Pegawai itu belum pernah sama sekali bertemu atau ditemui Komisioner KPK?
Belum. Kayaknya nggak berani.
Ada rencana bertemu dengan Komisioner KPK?
Kemarin saya bersama 75 orang sudah menyampaikan surat resmi tentang keberatan. Itu pagi, sebelum Presiden pidato. Intinya, di antaranya adalah kami keberatan tentang apa yang diputuskan pimpinan dan kami mendesak untuk SK 652 tahun 2021 itu segera dicabut dengan berbagai pertimbangan.
Sebanyak 75 orang sudah menyampaikan surat ke komisioner untuk cabut SK itu, karena SK itu tidak ada dasar hukumnya.
Secara struktural sebenarnya ini atasannya siapa?
Atasan saya sebenarnya Deputi. Setelah Deputi langsung ke komisioner. Jadi di kedeputian bidang informasi data.
Terkait dengan TWK Anda, sebagai pimpinan, apakah Deputi juga mengaku tidak tahu?
Nggak tahu. Dia enggak dilibatkan. Dia itu hanya seperti tukang pos saja. Tidak punya informasi apapun. Hanya menerima surat SK. SK itu pun saya hanya di-WhatsApp saja karena kebetulan saya enggak ada di kantor.
Banyak beredar isu yang menyebutkan ada banyak faksi di KPK, apa benar?
Kalau pegawai solid. Pegawai itu memang ada sebagai pegawai yang bekerja saja tetapi ada pegawai yang membawa nilai-nilai idealisme pemberantasan korupsi, di antaranya yang 75 orang itu. Sebenarnya yang terjadi faksi itu di pimpinan, bukan di pegawai. Yang dimaksud komisioner. Sesuai Undang-Undang Deputi ke bawah itu adalah pegawai.
Menurut anda, penting atau tidak, status pegawai KPK menjadi ASN?
Karena saya bekerja sebagai direktur kerja sama, saya banyak belajar ke Hongkong, China, Inggris, ke Australia dan ke seluruh negara. Saya belajar, salah satu faktor terpenting untuk suksesnya peran lembaga antikorupsi itu adalah indepedensi.
Indepedensi itu terkait dengan target, dari sisi rekrutmen, dari sisi menjalankan jabatan, dilindungi saat menjabat. Tentu perubahan menjadi ASN itu akan berpengaruh, khususnya terkait dengan indepedensi. Indepedensi itu adalah salah satu unsur penting supaya lembaga antikorupsi itu kuat.
Apa pengaruh buruk ketika pegawai KPK menjadi ASN?
Pertama, dari sisi rekrutmen. Kalau sebelum jadi ASN, KPK bisa memilih sendiri pegawainya. Dari sisi kompetensinya KPK itu berbeda jauh dengan ASN lainnya. Sehingga kita bisa merekrut sesuai nilai-nilai yang ada di KPK.
Hari ini karena kita sudah jadi ASN, maka rekrutmennya harus melalui Menpan-RB. KPK sebagai lembaga tidak bisa lagi memilih sendiri pegawai yang diperlukan.
Yang paling berbahaya itu adalah tidak independen pimpinan. Itu menurut saya sangat berbahaya bagi pegawai. Itu yang sangat berbahaya bagi pemberantasan korupsi.
Bayangkan kalau pimpinan itu tidak kredibel, tidak berintegritas dan KPK dikendalikan dari luar itu bisa untuk menembak musuh politik yang bisa untuk melindungi oligarki. Itu sangat berbahaya bagi publik, khususnya bagi pemberantasan korupsi. (tribun network/malau)