Memecah "Otak Korupsi" Para Kepala Desa di TTU
Beberapa kepala desa di Kabupaten Timor Tengah Utara (TTU) dalam hari-hari belakangan ini berada dalam suasana ketar-ketir.
Perubahan suasana dari “serba kurang” menjadi “serba ada” membuat kepala desa lupa daratan. Dari mana dia berasal, apa tujuan hidup dan sebagainya yang tercermin dalam visinya menjadi kepala desa. Para kepala desa yang sebelumnya tadi hidup serba kurang, yang awam melihat uang, tentu terkesima dan terperanga dengan jumlah uang di rekening desa yang mengalir langsung dari pusat ke desa.
Suasana hati saat melihat uang dalam jumlah besar tentu saja berkecamuk. Lalu mata batin gelap gulita setelah memikirkan jumlah digit uang yang ada di rekening desa. Lalu mencari cara atau mengakali uang desa itu secara profesional dan proporsional.
Namun mereka tidak pernah berpikir bahwa ada yang lebih profesional dari para kepala desa. Ada pihak yang mengaudit mereka. Menghadapi situasi ini tentu saja sebagai warga TTU kita prihatin. Dana Desa yang mesti digunakan untuk kemakmuran masyarakat desa diselewengkan untuk kepentingan perut para kepala desa. Makanya fakta kemiskinan di TTU tidak pernah pudar dan stigma itu belum terhapuskan karena kepala desa sebagai pemegang kekuasaan tingkat bawah telah menyalahgunakan kewenangan dan kekuasaannya dengan melakukan korupsi.
Upaya Memecah Otak Korupsi
Tulisan ini tidak membahas tentang bagian otak secara fisik tetapi lebih menampilkan dampak nyata pengelolaan otak (nalar) yang ada pada para kepala desa selama mereka menjabat kepala desa. Isi kepala para kepala desa saat mereka menjabat terjebak dalam satu terpaan zaman bernama “ hedonisme”. Hedonisme telah menjalar dalam diri kepala desa. Otak hedonisme itu telah melumpuhkan nurani kepala desa sebagai pemimpin desa sebagai suatu wilayah yang lekat dengan kesahajaan, keluhuran dan keharmonisan.
Para kepala desa yang melakukan korupsi tidak pernah menggunakan otak dan perasaan mereka untuk melihat dan sadar bahwa mereka hidup dan berada bersama saudara di desa yang lekat dengan kesederhanaan dan kesahajaan itu. Tentu saja seorang kepala desa sangat malu kalau baru setahun menjadi kepala desa ada peralihan luar biasa suasana kehidupaannya. Hidup bergelimang harta benda dari tak punya kendaraan menjadi punya kendaraan. Mestinya kepala desa menjadi contoh kepada masyarakat bagaimana menggapai uang secara halal.
Maka cara memecah otak korupsi pada kepala desa antara lain, pertama penguatan literasi keuangan. Literasi keuangan sangat penting bagi seorang kepala desa agar bisa membedakan uang orang banyak dan uang pribadinya. Pasca pemilihan kepala desa, seharusnya pemimpin di atasnya atau lembaga terkait punya kepedulian terhadap para kepala desa dengan memberikan semacam bimbingan dan tuntunan dalam menggunakan Dana Desa secara simultan.
Literasi keuangan di tingkat desa harus diketahui demi menghindari upaya penyelewengan atau perilaku korupsi kepala desa. Kepala desa harus berbesar hati mengikuti bimbingan dan arahan. Selama ini hal semacam ini tidak serius dilakukan oleh pihak terkait sehingga karena ketidaktahuan, maka kepala desa melakukan penyelewengan. Aapalagi niat buruk sudah menghatui otak kepala desa.
Kedua, bimbingan secara rohani perlu juga dilakukan bagi kepala desa. Misalnya seorang tokoh agama Kristen melakukan penyuluhan bahaya menggunakan mamon bukan hanya dari mimbar tetapi face to face dengan kepala desa seperti yang diajarkan Yesus jika kepala desa itu seorang Kristen. Atau ajaran lain dari Yesus tentang pemungut cukai, tentang kaisar bisa jadi dasar biblisnya.
Sangat disayangkan jika proses penyadaran dilakukan di balik jerui besi. Tunggu setelah kepala desa berada di jeruji besi. Mestinya tindakan keselamatan itu dilakukan sedini mungkin. Jika sudah di penjara, seorang tokoh agama hanya menuruti perkataan dari seorang koruptor atau keluarganya sebagai cobaan Tuhan. Padahal kalau dibimbing dan disadarkan sejak awal, maka kepala desa akan takut menyelewengkan Dana Desa.
Ketiga, sikap anti korupsi dalam keluarga perlu ditanamkan. Dalam keluarga istri seorang kepala desa sangat berperan membedakan haram dan tidak haram duit yang didapat suami. Namun selama ini yang terjadi malahan istri mendukung upaya do it ( berkorupsi) dari sang suami. Istri lengah karena terpaan hedonisme lalu gelap mata menggunakan uang yang bukan milik suami. Mestinya istri–istri kepala desa-lah orang pertama yang menyelamatkan suaminya. Bukan sebaliknya faktor keinginan istri membuat suami sebagai kepala desa terjebak dalam perilaku korupsi.
Itulah cara-cara terbaik memecah otak korupsi yang ada pada kepala dari para kepala desa di TTU khususnya. Jika itu dilakukan maka stigma kepala desa sebagai tukang korupsi bisa dihapus. Desa sebagai kumpulan orang-orang yang hidupnya bersahaja, apa adnya namun hatinya murni mulai dipraktekkan. Mula-mula oleh kepala desanya.*