Opini Pos Kupang
"Kele" dan Budaya yang Lestari
Manusia pada dasarnya adalah mahkluk yang berbudaya. Budaya dan kebudayaan melekat erat dalam pribadi manusia
Oleh: Mario Djegho, Anggota Komunitas Secangkir Kopi (KSK) Kupang
POS-KUPANG.COM - Manusia pada dasarnya adalah mahkluk yang berbudaya. Budaya dan kebudayaan melekat erat dalam pribadi manusia sebagai satu kesatuan yang integral. Di dalam dirinya, manusia memiliki unsur-unsur budaya, seperti; pikiran (cipta), rasa, kehendak (karsa), dan karya.
Budaya menjadi sebuah kesatuan akal dan budi yang membantu manusia untuk mengaktualisasikan diri dan cara hidupnya seiring perkembangan waktu. Hasil nyata dari potensi dan proses budaya itulah yang kemudian disebut sebagai kebudayaan.
Menurut EB Taylor, kebudayaan merupakan totalitas pengalaman manusia yang mencakup pengetahuan, kepercayaan, kesenian, moral, hukum, adat istiadat, dan kapabilitas, serta kebiasaan-kebiasaan yang dimiliki oleh manusia sebagai anggota masyarakat.
Baca juga: Covid-19 dan Pengendalian Diri
Baca juga: Sang Ibu Sudah Masuk Islam, Celine Evangelista Ajak Keempat Anak-anaknya Rayakan Idul Fitri
Kebudayaan melekat erat dalam perwujudan sub-sub budaya yang menjadikannya sebagai sebuah sistem yang saling mempengaruhi. Dengan kata lain, kebudayaan (culture) merupakan produk dari seluruh rangkaian proses sosial yang dijalankan oleh manusia dalam masyarakat dengan segala aktivitasnya.
Oleh karena itu, kebudayaan adalah hasil nyata dari sebuah proses sosial yang dijalankan oleh manusia bersama masyarakatnya (Bungin, 2009. Sosiologi Komunikasi : Teori, Paradima dan Diskursus Teknologi Komunikasi di Masyarakat).
Salah satu hasil nyata dari kebudayaan adalah sistem kepercayaan yang menjadi bagian integral dalam sebuah kelompok masyarakat. Kepercayaan menjadi sebuah identitas etnik tertentu ketika ciri dan keunikan yang melekat padanya mampu membedakan kelompok masyarakat tertentu dengan kelompok masyarakat lainnya.
Kepercayaan akan membentuk adat istiadat dan tatanan nilai sebuah kelompok masyarakat dengan berbagai proses komunikasi ritualnya. Hal tersebut juga berlaku bagi sebagian kelompok masyarakat Lio di Pulau Flores dan termanifestasi dalam sebuah tradisi dan ritual adat yang disebut "kele".
Baca juga: Warga Dusun Tanjung Papela Rote Ndao Tolak Relokasi, Begini Alasannya
Baca juga: Ungkapan Duka Ustaz Abdul Somad untuk Ustaz Tengku Zulkarnain Bikin Pilu : Makin Sunyi Jalan Ini
Kele adalah salah satu ritual adat terakhir yang dilakukan setelah seseorang meninggal dunia. Dalam kepercayaan masyarakat Lio di Ende, Flores, kele dipandang sebagai sebuah upacara "pengantaran" secara resmi seseorang yang telah meninggal dunia ke dalam persekutuan orang yang sudah meninggal, sehingga yang bersangkutan (almarhum) bisa masuk ke dalam perkampungan leluhur dan hidup bersama mereka (nuka do nua, sea do seka).
Ketika kele telah selesai dilaksanakan, maka secara adat, tidak ada lagi persoalan duniawi antara keluarga yang masih hidup di dunia dengan yang bersangkutan, tetapi secara langsung bisa menjadi perantara doa dan syukur bagi leluhur.
Oleh karena itu, ketika seseorang yang telah meninggal dunia belum memperoleh ritual adat kele, maka yang bersangkutan belum bergabung bersama para leluhur di alam baka.
Dalam kebiasaan masyarakat Lio, pelaksanaan kele bagi orang yang telah meninggal bisa terjadi apabila pihak keluarga telah melunasi segala urusan ritual, terkhususnya pembayaran taka alu kepada pihak keluarga ibu kandung (eda) atau puu hamu.
Pihak eda akan hadir saat proses penguburan dengan membawa kewajibannya berupa deta gomo dan roko sebelum membicarakan haknya berupa taka alu. Pada biasanya, pihak eda juga berkewajiban membawa regu pata.
Regu berarti "pikul" dalam bentuk beras dan pata yang berarti pakaian dalam bentuk ragi (sarung untuk pria) dan lawo (sarung untuk wanita).
Dengan demikian, saat proses melayat, pihak eda akan datang dengan membawa beberapa regu yang dipikul menggunakan benga (ukuran untuk beras) dan beberapa pata atau kain.
Pihak eda adalah lingkup keluarga pertama yang menerima kabar kematian yang bersangkutan (almarhum) dan harus datang lebih awal untuk menggali kubur pertama kali (deta gomo).
Setelah itu, keluarga ahli waris yang bersangkutan akan memberikan liwu eko (liwu berarti emas, eko berarti ternak) kepada pihak eda sesuai kesanggupan dan kemampuan keluarga.
Namun, dewasa ini proses perealisasiannya bisa berupa uang sesuai harga yang berlaku. Sesuai tradisi, pembicaraan mengenai taka alu harus mencapai titik kesepakatan sebelum upacara pemakaman jenasah.
Penentuan besaran taka alu"oleh pihak eda disesuaikan dengan apa yang mereka bawa saat proses melayat atau besarnya usaha yang diperbuat kepada yang bersangkutan selama masih hidup.
Oleh karena itu, apabila proses pembayaran taka alu belum terpenuhi, maka proses ritual kele belum boleh dilaksanakan.
Dewasa ini proses ritual adat kele masih dilakukan di beberapa keluarga masyarakat Lio, terkhususnya di kawasan Lise. Kele biasanya dilakukan pada hari keempat setelah yang bersangkutan meninggal dunia. Dalam proses pelaksanaannya, dibutuhkan seekor ternak babi yang telah dikebiri dan seekor ayam jantan yang telah cukup umur.
Ternak babi tersebut disembelih melalui ritual adat dimana bagian ujung kepala dan rahangnya (moki weri) diberikan kepada pihak eda yang hadir pada proses ritual kele.
Moki weri tersebut merupakan simbol bagi bagi pihak puu hamu untuk mengantarkan yang bersangkutan (almarhum) ke dalam alam para leluhur. Setelah itu, dilakukan pembacaan doa dalam bahasa adat oleh orang yang memiliki "kemampuan lebih" (dapat berkomunikasi secara transendental) dan kemudian mengolesi sedikit minyak yang dicampur dari kelapa asli dengan rendaman biji-bijian pada kening semua anggota keluarga secara berjenjang sesuai usia dan status.
Hal tersebut menjadi simbol putusnya hubungan duniawi antara keluarga dan yang bersangkutan (almarhum), sekaligus mengantarkannya ke dalam alam dan persekutuan para leluhur. Pada akhir acara, dilepaskanlah ayam jantan sebagai tanda dilepaskannya arwah yang bersangkutan menuju kebahagiaan abadi.
Kele dapat dilihat sebagai sebuah bentuk komunikasi transendental. Transendental dalam terminologi filsafat berarti suatu yang tidak dapat diketahui atau suatu pengalaman yang terbebas dari fenomena, tetapi berada dalam gugusan pengetahuan seseorang.
Dalam istilah agama, transendental dapat diartikan sebagai suatu pengalaman mistik atau spiritual karena berada diluar jangkauan dunia. Maka dari itu, komunikasi transendental bisa dipahami sebagai sebuah proses membagi ide, informasi, dan pesan dengan orang lain pada tempat dan waktu tertentu, serta berhubungan erat dengan hal-hal yang bersifat transenden (metafisik dan pengalaman supranatural).
Kele juga menjadi bukti nyata keterlibatan dan keterkaitan komunikasi dalam sebuah proses budaya hingga melahirkan produk kebudayaan berupa kepercayaan.
Keterkaitan antara proses komunikasi dan budaya tersebut pada akhirnya bermuara pada pemikiran Edward T. Hall yang menyatakan bahwa komunikasi adalah budaya dan budaya adalah komunikasi.
Artinya dalam melakukan proses komunikasi sebagai sebuah aktivitas simbolis dan pertukaran makna, manusia selalu merepresentasikan atau menampilkan sebuah bentuk kebudayaan yang dihasilkan dari perpaduan potensi-potensi budaya yang dimilikinya dalam sebuah lingkungan yang bersifat multi-budaya (heterogen).
Di lain pihak, dalam proses komunikasi tersebut, setiap simbol dan makna yang dipertukarkan memiliki batasan-batasan etis yang disesuaikan dengan lingkungan multi-budaya dimana aktivitas simbolis dan pertukaran makna tersebut sedang terjadi.
Kele sebagai bagian dari kebudayaan tentunya harus terus lestari bersama keberadaan masyarakat Lio yang senantiasa berubah bersama perjalanan waktu. Kele merupakan simbol budaya yang harus dilestarikan.
Simbol tersebut menjadi penanda eksistensi masyarakat Lio yang akan terus ada seiring perubahan zaman. Hal tersebut tentunya menjadi warisan turun temurun yang harus dipertahankan dan diingat demi kesinambungan sejarah.
Cerita sejarah dan kebiasaan proses ritual adat yang terus dilestarikan senada dengan identitas dan eksistensi manusia sebagai mahkluk religius (homo religius) yang berbudaya. Identitas tersebut memungkinkan manusia (baca : masyarakat Lio) untuk melakukan proses komunikasi transendental sebagai upaya membangun hubungan vertikal antara manusia itu sendiri dengan Tuhan sebagai wujud metafisika di luar kemampuan indrawi manusia. *