Gratifikasi, Dugaan Pungli Dinas P & K dan Wajah Hukum Ende
Kabupaten Ende tidak pernah sepi dari kasus-kasus hukum yang menggerahkan rasionalitas publik tapi tidak pernah tuntas dan membuahkah keadilan hukum.
Publik Ende mesti diingatkan agar waspada karena ada pembunuh kejam yang tidak akan terlihat, juga oleh kepolisian, yang sekolah tinggi-tinggi untuk itu tapi akhirnya pengetahuan itu diamputasi oleh sebuah kalimat yang terdengar sangat lemah tapi menyembunyikan keangkuhan kuasa: tidak cukup alat bukti.
Kejari Ende telah melakukan Pulbaket dugaan tindak pidana korupsi pungutan liar dana BOS untuk Bimtek menulis karya ilmiah. Publik berharap, tindakan Kejari ini tidak sebatas “gertak sambal” lalu sayup-sayup menghilang di balik Gunung Meja.
Sekali lagi, publik Ende masih cukup waras dan tahu bahwa pengembalian uang tidak identik dengan terhentinya proses hukum kasus dugaan korupsi. Justru pengembalian uang adalah alat bukti bahwa ada niat dan tindakan nyata dari Dinas P dan K Ende untuk mengorupsi dana BOS.
Terkait kasus ini, kita harapkan Bupati Ende, Achmad Djafar proaktif mendorong Kejari Ende lebih cepat memroses hukum agar kasus ini sebagai bukti bahwa Bupati Ende antikorupsi. Biasanya, pemimpin yang bersih akan menjadi awasan bagi bawahan. Ketika bawahan melakukan korupsi, boleh jadi dan patut diduga, dia belajar dari atasannya.
Maka kalau atasan membiarkan bawahan terus saja melakukan tindak pidana korupsi, publik patut menduga bahwa akar korupsi itu ada di ketiak atasannya. Apalagi atasannya itu hanya sekadar bidak catur yang dikendalikan oleh “satu tangan” yang berada di luar birokrasi tapi satu dalam kemitraan yang mengatur birokratisasi anggaran dengan sangat masif. Publik Kabupaten Ende harus peka dan kritis membaca sandiwara politik yang sejak lima tahun lalu membuktikan bersatunya birokrasi dan legislatif dalam mengelola anggaran dan mengatur kabupaten ini sesukanya.
Di sinilah urgennya rakyat Ende membutuhkan sosok wakil bupati yang saat ini lowong untuk membatasi ruang gerak para terduga kasus gratifikasi, baik yang telah kembali menjadi rakyat jelata maupun terduga gratifikasi yang saat ini kembali menjadi wakil rakyat untuk terus memainkan “jurusnya”.
Kursi wakil bupati mesti diisi oleh sosok berintegritas, kaya rekam jejak dalam dunia birokrasi untuk menutup ruang gerak para “pencari suaka” di ruang-ruang birokrasi dengan memanfaatkan posisi kuasa. Birokrasi Ende tidak butuh sosok wakil bupati yang hanya menjadi pohon sandaran bagi sesama gerombolan “pencari suaka” agar bisa mengamankan diri, posisi dan kapital tapi masuk dunia birokrasi ibarat pemburu yang tersesat.
Kita berharap, kursi wakil bupati diisi oleh sosok yang tepat agar membantu Bupati Achmad Djafar menata birokrasi menuju masa depan Ende yang lebih baik. Bupati Achmad Djafar, tentu saja, tidak hanya menunggu tapi lebih proaktif mendorong partai koalisi agar tidak menjadikan kursi wakil bupati Ende sebagai momen mencari suaka kalkulasi ekonomi di tengah pandemi ini. *