Gratifikasi, Dugaan Pungli Dinas P & K dan Wajah Hukum Ende

Kabupaten Ende tidak pernah sepi dari kasus-kasus hukum yang menggerahkan rasionalitas publik tapi tidak pernah tuntas dan membuahkah keadilan hukum.

Editor: Agustinus Sape
Foto Pribadi
Steph Tupeng Witin 

Gratifikasi, Dugaan Pungli Dinas P & K dan Wajah Hukum Ende

Oleh Steph Tupeng Witin
Penulis Buku “Politik Dusta di Bilik Kuasa” (JPIC OFM, 2018)

POS-KUPANG.COM - Kabupaten Ende tidak pernah sepi dari kasus-kasus hukum yang menggerahkan rasionalitas publik tapi tidak pernah tuntas dan membuahkah keadilan hukum. Apalagi kasus-kasus hukum itu diduga kuat melibatkan elite politik dan birokrasi.

Kita sebut kasus gratifikasi yang diduga kuat melibatkan tiga pimpinan DPRD Ende periode sebelumnya dan empat anggota DPRD lainnya. Salah satu pimpinan tidak ada nama dalam surat perintah tugas dari ketua DPRD tapi memimpin rapat paripurna persetujuan rencana penyertaan modal PDAM.

Nama-nama para terduga kasus korupsi dana PDAM Ende telah lama melegenda di nurani rakyat. Nama-nama itu masih menjabat sebagai wakil rakyat, bahkan menjadi pimpinan DPRD Ende saat ini.

Kita tidak tahu, apakah konstituen para wakil rakyat ini tidak pernah tahu, atau pura-pura tidak tahu dan mungkin juga dibohongi oleh para terduga bahwa mereka telah “berjasa” mencuri uang rakyat yang seharusnya digunakan untuk memperlancar aliran air bersih ke rumah-rumah warga Kota Ende, untuk memperkaya diri.

Kasus gratifikasi dana penyertaan modal PDAM ini terjadi nun di tahun 2015 lalu mencuat ke publik mulai 2016 dan dilaporkan ke Polres Ende tahun 2017. Artinya, sudah lima tahun kasus dugaan gratifikasi DPRD Ende periode lalu itu telah mengendap di laci Polres Ende. Andaikan laci Polres Ende ini sebuah aliran sungai maka kasus ini telah menjadi lumut berwarna kekuning-kuningan.

Direktur PDAM Soedarsono sudah diperiksa berulang-ulang. Soedarsono telah mengakui pemberian SPPD kepada para terduga. Katanya, untuk kepentingan Perda Penyertaan Modal kepada PDAM senilai Rp3,5 miliar (FP 2/10/2017).

Dokumen Surat Perintah Tugas dengan nama enam anggota DPRD Ende sudah diserahkan ke Polres bahkan beredar luas di tangan rakyat dan aktivis. Keenam terduga kasus gratifikasi pun tidak pernah membantah bahwa mereka terlibat dalam dugaan korupsi dana PDAM Ende.

Demonstrasi rakyat, mahasiswa, aktivis dan elemen kritis lain terdokumentasi lembaran berbagai media cetak dan online. Dialog antara para aktivis dan Kepolisian Resort Ende telah dilakukan berulangkali. Pimpinan Polres Ende terus saja berganti tapi kasus dugaan korupsi gratifikasi yang melibatkan enam anggota DPRD Ende seolah hilang dari dinding gedung Polres Ende dan teramputasi dari nurani kemanusiaan elite dan bawahan aparat Polres Ende.

Kapolres Ende kala itu, AKBP Yohanes Bangun berjanji akan memroses hukum kasus dugaan gratifikasi dari PDAM Ende kepada sejumlah oknum pimpinan dan anggota DPRD Ende yang akan diekspose ke publik setelah memasuki tahap penyidikan (FP 13/11/2017).

Tapi hingga detik ini, jangankan diekspose, bau tengik korupsi elite DPRD Ende ini tidak tercium lagi. Semua fakta jejak keterlibatan enam oknum anggota dan pimpinan DPRD Ende periode lalu ini terdokumentasi apik dalam buku Politik Dusta di Bilik Kuasa (JPIC OFM, 2018, hal. 110-118).

Pungli Dana BOS

Bulan April 2021, satu bulan sebelum Hari Pendidikan Nasional (Hardiknas) 2021, dunia pendidikan di Kabupaten Ende dikejutkan oleh berita tak sedap terkait dugaan korupsi pungutan liar (pungli) sejumlah dana Bantuan Operasional Sekolah (BOS) dengan pelaku staf pada Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Ende. Dinas Pendidikan dan Kebudayaan (Dinas P dan K) Kabupaten Ende menghimpun dana Bantuan Operasional Sekolah (Dana BOS) tersebut untuk membiayai Bimtek pelatihan menulis karya ilmiah bagi para guru SD di Kabupaten Ende. Setiap SD menyetor Rp1,5 juta hingga Rp3 juta.

Sekolah Dasar dengan alokasi dana BOS di bawah Rp70 juta menyetor dana sebanyak Rp1,5 juta untuk satu peserta dan SD yang memiliki alokasi dana BOS di atas Rp70 juta diminta menyetor Rp3 juta untuk dua peserta. Kegiatan pelatihan ini sepenuhnya akan dikelola pihak ketiga, yang menurut pihak Dinas P dan K Kabupaten Ende, pihak ketiga tersebut bermitra dengan Kemendikbud dan Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Provinsi NTT (Pos Kupang.Com. 11/04/2021).

Dugaan korupsi dana BOS lewat jalur tikus pungutan liar untuk biaya Bimtek ini terkuak ke ruang publik karena banyak sekolah yang tidak setuju dengan peruntukan dana BOS yang dihasrati oleh Dinas pembentuk sumber daya manusia Ende ini.

Pertanyaan muncul: kapan program Bimtek ini disepadankan dengan penggunaan dana BOS dari institusi sekolah dasar? Apakah pungutan itu sesuai dengan regulasi peruntukan dan penggunaan dana BOS sehingga kata “liar” di belakang kata “pungutan” itu dihilangkan? Kalaupun pungutan itu berbasis regulasi penggunaan dana BOS, mengapa banyak sekolah yang tidak setuju dengan program Bimtek? Apakah Bimtek penulisan karya ilmiah itu bisa diselenggarakan oleh pihak sekolah sendiri atau mesti dikumpulkan oleh dinas sehingga terkesan ramai dan total dana BOS yang terkumpul lebih banyak hingga mencapai miliaran?

Andaikan Bimtek pelatihan menulis ini adalah program dinas yang telah disepakati bersama maka unsur transparansi dan akutabilitas dapat dipertanggungjawabkan. Artinya, tidak ada SD yang menolak untuk mengalokasikan dana BOS. Berarti kata “liar” hilang. Tapi kata “liar” justru semakin terbukti ketika dugaan Pungli ini mencuat ke ruang publik lalu Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Kabupaten Ende dengan tergopoh-gopoh mengembalikan dana ke beberapa SD.

Jika Bimtek penulisan karya ilmiah itu berbasis regulasi penggunaan dana BOS secara benar maka Kadis Pendidikan Ende Mensi Tiwe tidak perlu merasa terganggu dengaan kehadiran jurnalis yang melaksanakan tugas peliputan.

Kasus ini masalah publik, bukan kasus domain dinas semata. Justru Kadis Tiwe harus lebih proaktif membuat konperensi pers untuk menjelaskan dengan gagah berani di hadapan sorotan kamera bahwa Bimtek ini baru pertama kali terjadi di Kabupaten Ende dan bisa diadopsi menjadi program provinsi, nasional bahkan dunia.

Kita patut menduga, pengembalian dana merupakan bukti bahwa Dinas P dan K Ende telah melakukan tindak pidana korupsi yang bersumber dari dana BOS. Dugaan itu telah ditanggapi pihak Kejaksaan Negeri Ende dengan melakukan pemeriksaan dalam konteks mengumpulkan bukti dan keterangan (Pulbaket).

Kita mengingatkan institusi Kejaksaan Negeri Ende bahwa pengembalian uang tidak berarti kasus dugaan tindak pidana korupsi hilang begitu saja. Seandainya kasus ini tidak terbongkar, apakah pihak Dinas P dan K Ende mengembalikan uang? Korupsi itu berawal dari niat. Apalagi dalam kasus ini, niat telah menjelma menjadi tindakan pengumpulan uang dan pengembalian uang. Tindakan pungli dan pengembalian uang persis bertentangan dengan regulasi Permendikbud Nomor 6 tahun 2021 yang berisi petunjuk teknis pengelolaan dana BOS reguler yang berorientasi dan berdampak pada siswa.

Dari aspek kemanusiaan, dugaan tindak pidana korupsi dengan aktor utama Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Ende di tengah masa pandemi sangat tidak elok ketika para siswa sangat menderita dalam pelaksanaan kegiatan belajar mengajar mandiri. Para siswa menjadi beban baru bagi orangtua selama masa pandemi. Belum lagi ribuan tenaga honor yang tertindih beban berat dengan gaji yang tidak menentu.

Dinas P dan K Ende seolah mati rasa karena tega melakukan pungutan liar di tengah represi masa pandemi. Apakah Dinas Pendidikan dan Kebudayaan hendak mencari penghasilan tambahan baru dengan memanfaatkan posisi kuasa sehingga menghadirkan bencana baru yaitu ketakutan untuk bersuara di kalangan para kepala sekolah?

Ada ketakutan sangat akut ketika para guru dan kepala sekolah berhadapan dengan para jurnalis yang melakukan konfirmasi. Mungkin mereka takut dimutasi, takut diberhentikan dan ketakutan lainnya yang seolah melembaga dalam birokrasi Kabupaten Ende?

Fakta ini merefleksikan pengelolaan birokrasi pemerintahan di Ende yang berjalan dalam ketakutan, entah ketakutan dari bawahan berhadapan dengan atasan yang doyan main kuasa dan elite kekuasaan yang takut dengan bawahan yang kritis, yang menolak tunduk apalagi bungkam berhadapan dengan kekuasaan yang miskin gagasan segar, mampat inovasi, senang berbagi jatah tenaga kontrak baik dengan legislatif, eselon tinggi dan elite tinggi?

Di Ende, ada segelintir elite yang suka cari muka dengan merendahkan diri sambil meninggikan ketidakmampuan dan ketidakwarasannya di hadapan tembok kekuasaan yang memang lemah, patut diduga kehilangan kewarasan dan membungkus ketakutan akan bayang-bayang sendiri dengan arogansi kekuasaan tapi dibungkus dengan sopan santun dan terkesan lugu.

Dukung Proses Hukum

Publik Ende terlalu lama dikenyangkan oleh sandiwara hukum yang melukai nurani. Kasus gratifikasi yang melibatkan elite pimpinan dan anggota DPRD Ende sudah lima tahun melumut di laci Polres Ende. Padahal Dirut PDAM Soedarsono telah mengaku memberi gratifikasi, ada terduga penerima gratifikasi yang mengembalikan uang dan Surat Perintah Tugas lengkap dengan nama anggota DPRD dan total uang yang diterima, beredar luas.

Tampaknya polisi tidak berani, mungkin kehilangan keberanian atau lebih tinggi: “dihilangkan” keberaniannya. Kasus pembunuhan Ansel Wora di Pulau Ende yang diduga sarat kekerasan yang keji tapi tidak ada pembunuhnya. Padahal kalau bekerja serius dengan intensi kemanusiaan, polisi tidak terlalu sulit menemukan pelaku.

Publik Ende mesti diingatkan agar waspada karena ada pembunuh kejam yang tidak akan terlihat, juga oleh kepolisian, yang sekolah tinggi-tinggi untuk itu tapi akhirnya pengetahuan itu diamputasi oleh sebuah kalimat yang terdengar sangat lemah tapi menyembunyikan keangkuhan kuasa: tidak cukup alat bukti.

Kejari Ende telah melakukan Pulbaket dugaan tindak pidana korupsi pungutan liar dana BOS untuk Bimtek menulis karya ilmiah. Publik berharap, tindakan Kejari ini tidak sebatas “gertak sambal” lalu sayup-sayup menghilang di balik Gunung Meja.

Sekali lagi, publik Ende masih cukup waras dan tahu bahwa pengembalian uang tidak identik dengan terhentinya proses hukum kasus dugaan korupsi. Justru pengembalian uang adalah alat bukti bahwa ada niat dan tindakan nyata dari Dinas P dan K Ende untuk mengorupsi dana BOS.

Terkait kasus ini, kita harapkan Bupati Ende, Achmad Djafar proaktif mendorong Kejari Ende lebih cepat memroses hukum agar kasus ini sebagai bukti bahwa Bupati Ende antikorupsi. Biasanya, pemimpin yang bersih akan menjadi awasan bagi bawahan. Ketika bawahan melakukan korupsi, boleh jadi dan patut diduga, dia belajar dari atasannya.

Maka kalau atasan membiarkan bawahan terus saja melakukan tindak pidana korupsi, publik patut menduga bahwa akar korupsi itu ada di ketiak atasannya. Apalagi atasannya itu hanya sekadar bidak catur yang dikendalikan oleh “satu tangan” yang berada di luar birokrasi tapi satu dalam kemitraan yang mengatur birokratisasi anggaran dengan sangat masif. Publik Kabupaten Ende harus peka dan kritis membaca sandiwara politik yang sejak lima tahun lalu membuktikan bersatunya birokrasi dan legislatif dalam mengelola anggaran dan mengatur kabupaten ini sesukanya.

Di sinilah urgennya rakyat Ende membutuhkan sosok wakil bupati yang saat ini lowong untuk membatasi ruang gerak para terduga kasus gratifikasi, baik yang telah kembali menjadi rakyat jelata maupun terduga gratifikasi yang saat ini kembali menjadi wakil rakyat untuk terus memainkan “jurusnya”.

Kursi wakil bupati mesti diisi oleh sosok berintegritas, kaya rekam jejak dalam dunia birokrasi untuk menutup ruang gerak para “pencari suaka” di ruang-ruang birokrasi dengan memanfaatkan posisi kuasa. Birokrasi Ende tidak butuh sosok wakil bupati yang hanya menjadi pohon sandaran bagi sesama gerombolan “pencari suaka” agar bisa mengamankan diri, posisi dan kapital tapi masuk dunia birokrasi ibarat pemburu yang tersesat.

Kita berharap, kursi wakil bupati diisi oleh sosok yang tepat agar membantu Bupati Achmad Djafar menata birokrasi menuju masa depan Ende yang lebih baik. Bupati Achmad Djafar, tentu saja, tidak hanya menunggu tapi lebih proaktif mendorong partai koalisi agar tidak menjadikan kursi wakil bupati Ende sebagai momen mencari suaka kalkulasi ekonomi di tengah pandemi ini. *

Berita Terkait
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved