Opini Pos Kupang
Menempatkan Imajinasi sebagai Obor Pendidikan
Tak ada yang lebih menyedihkan selain mendapati kenyataan bahwa imajinasi tidak pernah diajarkan di sekolah-sekolah dan kampus-kampus
Dalam konteks sekarang, terkhusus dalam dunia pendidikan, imajinasi sepertinya dikenal dalam makna yang peyoratif.
Dalam era digital yang akan terus berkembang ini, semua manusia dituntut untuk lebih kreatif. Kreativitas adalah satu sifat yang paling dituntut dari seorang peserta didik atau mahasiswa. Tapi harus diingat, bahwa dasar dari kreativitas adalah imajinasi. Tanpa imajinasi, tidak ada kreativitas dan ilmu pengetahuan.
Tanpa imajinasi, kita tidak akan melihat gedung-gedung indah, tidak akan membaca karya-karya sastra, tidak akan meminum Coca-Cola, tidak akan naik pesawat terbang, tidak akan membaca koran-koran, dan lain sebagainya. Imajinasi berperan hampir di semua bidang kehidupan.
Tentu saja ilmu pengetahuan berperan penting dalam kehidupan, tapi tanpa imajinasi, kita tidak bisa mencapai kemajuan seperti yang kita alami saat ini. Bahkan, kita tidak akan membicarakan `cita-cita' tanpa melibatkan imajinasi.
Dengan begitu besarnya peran imajinasi, mengapa dunia pendidikan formal tidak pernah mengajarkan dan mengenalkan imajinasi? Sekolah dan perguruan tinggi menuntut mahasiswa untuk kreatif, tapi mengapa tidak mengajarkan mereka tentang imajinasi?
Kalau tidak percaya, bolehlah bertanya kepada seorang mahasiswa Arsitektur, apakah dirinya belajar imajinasi secara khusus di kampusnya? Atau, bertanyalah pertanyaan serupa kepada seorang mahasiswa Bahasa dan Sastra. Jawabannya: tidak! Padahal, dan inilah paradoksnya, orang-orang ini akan bekerja dengan mengandalkan imajinasinya.
Tentu saja mereka juga harus belajar ilmu pengetahuan secara teknis, tapi pada awal mulanya mereka merancang sesuatu dalam kepalanya menggunakan imajinasi. Dan, imajinasi bukanlah benda langkah yang hanya dimiliki oleh seorang arsitek, pematung, sastrawan, ataupun pegiat seni lainnya. Imajinasi dimiliki semua manusia.
Dalam konteks yang lebih luas, manusia menggunakan imajinasi untuk merancang kehidupannya: Seorang pengusaha menggunakan imajinasi untuk membayangkan seperti apa perusahannya lima tahun ke depan. Dia bisa menggunakan imajinasinya untuk mengumpulkan kekayaan, mencapai kemakmuran; dia menggunakan imajinasinya untuk keluar dari garis kemiskinan.
Mari kita lihat satu contoh bagaimana seorang lulusan mahasiswa menggunakan imajinasinya. Dia baru saja diwisudakan. Karena kehidupannya amat menyedihkan, maka dia ingin mengubahnya. Tapi untuk mengubah hidup, dia harus menetapkan `menjadi seperti apa dirinya 10 tahun ke depan!'
Dalam proses penetapan tujuan itu, daya mental yang dia gunakan adalah imajinasi, bukan yang lain. Dengan adanya tujuan seperti itu, maka dia harus berjuang untuk mewujudkannya. Dalam hal ini, `imaji 10 tahun ke depan' menjadi `obor', yang akan selalu memotivasinya, menerangi dan menuntunnya.
Sebagian besar lulusan mahasiswa menganggur karena tidak menggunakan imajinasi untuk merancang kehidupannya, sehingga kemudian mereka mempersalahkan Tuhan, pemerintah, dan nenek moyangnya.
Sungguh menyedihkan, karena dia tidak tahu bahwa Tuhan telah memberinya imajinasi untuk merancang kehidupannya sendiri. Dalam lain kata, dia tidak mengenal dirinya dan siapa itu manusia! Mengapa dia tidak tahu? Karena tidak pernah diajarkan!
Sudah saatnyalah (walaupun sudah sangat terlambat), imajinasi harus dijadikan sebagai `obor' dalam dunia pendidikan. Perannya tidak boleh disepelekan, dan mesti diberi ruang sama besar seperti kita mengajarkan ilmu pasti.
Sudah bukan zamannya lagi kita lebih mementingkan pengetahuan dan ilmu pengetahuan ketimbang imajinasi. Dengan memahami dan menggunakan imajinasi, generasi ini akan menciptakan banyak hal, menjadi lebih kreatif, dan mampu bersaing dalam dunia yang berkembang begitu pesat ini.
Tidak ada cara lain: imajinasi harus beri ruang yang besar dalam pendidikan kita. Mengajarkan imajinasi kepada pelajar dan mahasiswa merupakan satu cara menuntun mereka untuk memahami siapa dirinya, terlebih siapa itu manusia.