Berita NTT Terkini
Film Suku Bajo: Merekam Keseharian Orang Pesisir di Lembata
Film berjudul 'Bajo: Sebuah Perjalanan, Cinta dan Lautan' berhasil memukau para penonton saat tayang perdana
Penulis: Ricardus Wawo | Editor: Kanis Jehola
POS-KUPANG.COM | LEWOLEBA- Film berjudul 'Bajo: Sebuah Perjalanan, Cinta dan Lautan' berhasil memukau para penonton saat tayang perdana pada Kamis (18/3/2021) malam.
Beberapa komunitas di Kota Lewoleba menggelar nonton bersama secara terbatas. Salah satunya dilangsungkan oleh Komunitas Sekola Gembira di Wangatoa yang mengundang banyak penonton dari pelbagai kalangan usia di wilayah pesisir.
Film Bajo: Sebuah Perjalanan, Cinta dan Lautan sudah bisa disaksikan di kanal Youtube Frame 13.
Baca juga: Stikom Uyelindo Kupang Kampus Digital: Siamir Permudah Kuliah Online
Kendati penayangan agak molor beberapa jam, antusiasme warga untuk menyaksikan film besutan Sutradara Elmo Alessio itu tak sedikitpun surut.
Para penonton seperti diajak untuk melihat keseharian mereka sendiri yakni keseharian orang pesisir di Lembata. Anak-anak menyelam ke dasar lautan, ibu-ibu berhijab menjual ikan, perahu nelayan membelah Teluk Lewoleba dan aktivitas orang Bajo di rumah panggung.
Baca juga: Feni Rose: Ratu Gosip
Rutinitas-rutinitas itu terekam dan diangkat dalam film, hal yang mungkin tidak mereka bayangkan sebelumnya.
Sineas muda Lembata, Aldino Purwanto, mengungkapkan salah satu kekuatan sinematografi adalah mampu merekam rutinitas dan menayangkannya dalam sudut pandang yang berbeda.
Reaksi penonton saat menyaksikan Film Suku Bajo tersebut membuktikan apa yang kemudian dia sebut The Power of Film itu.
Mereka tertawa, tersenyum, merasa terhibur menyatakan cintanya kepada Ainun melalui sepucuk surat atau merasa sedih dan kecewa karena cinta tokoh Ballo kepada Ainun ternyata bertepuk sebelah tangan.
Pada momen-momen seperti inilah pesan dari film itu terkirim dan sampai pada penonton atau penikmat film.
"Jadi penonton seperti melihat keseharian mereka sendiri dari film itu. Itu juga kekuatannya," kata pria berdarah Lamalera tersebut.
Dia berujar, secara sinematik, film selalu mengandung dua unsur yakni unsur yang tampak dan tidak tampak secara visual.
Jadi, secara sederhana, tidak semua narasi masuk dalam frame film. Unsur yang tidak tampak secara visual itu yang menurut dia masuk dalam interpretasi penonton.
Misalnya, ujar Aldino, tokoh Ballo kemudian dikisahkan tidak bisa menikahi Ainun karena perempuan itu sudah terlanjur dijodohkan dengan laki-laki lain oleh orangtuanya.
Di akhir film, muncul secara visual juga tokoh Ballo yang sudah tua bersama seorang bocah kecil, cucunya. Pertanyaannya, bagaimana kehidupan Ballo sesudah cintanya kepada Ainun tak berbalas hingga dia memiliki anak dan cucu?
