Opini
Proses Hukum Kasus Dugaan Mafia Tanah Merdeka: Rakyat Lembata Dukung Kejari
Saat ini Kejaksaan Negeri Lembata tengah memroses kasus perkara dugaan korupsi mafia tanah di Desa Merdeka, Kecamatan Lebatukan
Rakyat Lembata Dukung Kejari
(Proses Hukum Kasus Dugaan Mafia Tanah Merdeka)
Oleh Steph Tupeng Witin
Jurnalis, Penulis Buku “Lembata Negeri Kecil Salah Urus”
POS-KUPANG.COM - Selama sepuluh tahun terakhir, Lembata yang telah berusia otonomi 21 tahun, tidak lebih dari tong sampah berbagai kasus dugaan korupsi dan kejahatan lainnya tanpa penuntasan. Berbagai kasus dugaan korupsi yang diduga kuat melibatkan elite birokrasi dan rekan selingkuhan penguasaha seolah tertelan ketakutan akut.
Rakyat Lembata, khususnya publik kritis yang masih waras karena merasa memiliki tanah Lembata, selalu dihantui rasa skeptis, pesimis dan kehilangan energi kepercayaan (trust) kepada penegak hukum.
Kasus dugaan korupsi proyek destinasi wisata di Pulau Siput Awololong yang diduga merugikan keuangan negara sebesar Rp6.892.900.000 yang sudah cair, artinya uang sudah mengalir ke kantong-kantong para pencuri siput Awololong tapi realisasi fisik nol besar di lapangan, akhirnya terkuak dengan penetapan tersangka pejabat pembuat komitmen (PPK) yang dalam status tersangka pun tetap dilantik Bupati Lembata Eliaser Yentji Sunur jadi Kadis PPO Lembata atas nama Silvester Samun dan kontraktor pelaksana Abraham Yehezkiel Tsazaro. Tapi hingga detik ini kedua tersangka yang patut diduga sangat dipaksakan ini, belum ditahan.
Segelintir elite orang Lembata memang telah lama kehilangan urat malu sehingga percaya diri menerima jabatan walau secara moral dan etika birokrasi telanjur dianggap tidak pantas. Tapi kita patut menduga bahwa Bupati Lembata sengaja melantik tersangka kasus korupsi Awololong menjadi kepala dinas agar mengajari anak buahnya menghilangkan urat malu.
Terkait kasus ini, kita hanya mampu mengulang pepatah guru sekolah dasar dulu: guru kencing berdiri, murid kencing berlari. Dua-duanya tidak sadar bahwa akibat perbuatan itu, ruang publik tercemar bau pesing.
Saat ini Kejaksaan Negeri Lembata tengah memroses kasus perkara dugaan korupsi mafia tanah di Desa Merdeka, Kecamatan Lebatukan dengan estimasi kerugian negara sebesar Rp1 miliar. Tanah seluas 5 hektare lebih yang selama ini dikuasai pemerintah desa diduga telah dihibahkan kepada Benediktus Oleona alias Ben Tenti, yang menyebut dirinya: pengusaha muda Lembata.
Proses hibah itu tertuang dalam surat hibah tertanggal 26 September 2018 yang ditandatangani pengusaha muda Lembata itu bersama Kades Merdeka, Petrus Puan Wahon. Pengusaha muda Lembata, katanya, telah membayar Rp200 juta lebih namun tidak dijadikan sebagai pendapatan desa tapi dinikmati oknum tertentu (Pos Kupang.com 03/02/2021).
Berdasarkan bukti-bukti dan pemeriksaan terhadap 19 saksi, Kejari Lembata telah meningkatkan status kasus ini dari penyelidikan ke penyidikan. Dalam perkara ini, Kejari Lembata memeriksa Pengusaha Muda Lembata, Camat Lebatukan dan Kepala Desa Merdeka.
Kades Merdeka Petrus Puan Wahon belakangan mengubah keterangannya sendiri bahwa tanah Merdeka itu milik perorangan meski dia mengaku sempat menerbitkan surat hibah karena dia berpikir tanah itu adalah lahan kosong.
Saat Badan Pertanahan Lembata hendak mengukur berdasarkan permintaan pengusaha muda Lembata, terjadi gejolak di tengah masyarakat. Kades Wahon tergesa-gesa menarik “ekornya” dari atas surat hibah kepada investor. Lalu mulai muncul istilah uang sirih pinang kepada para pemilik tanah.
Artinya, dana Rp200 juta yang diduga telah dibayar investor patut diduga telah diubah menjadi “uang sirih pinang” (Pos Kupang.com 04/03/2021). Kita tidak tahu dan pantas menduga, apakah “uang sirih pinang” jatuh juga di ruangan kepala desa dan Camat Lebatukan? Perkembangan terakhir, Kejari Lembata, Senin (15/03/2021) telah menyita tanah desa seluas 57.000 m2 di Merdeka (Pos Kupang.Com 15/03/2021).
Narasi hibah tanah dari Kades Petrus Wahon kepada Ben Tenti patut diduga sarat dengan niat buruk keduanya. Kades Merdeka patut diduga menyalahgunakan kekuasaannya yang hanya sepotong itu untuk menerbitkan surat hibah. Dia berpikir bahwa itu lahan kosong.
Fakta ini aneh karena sang kades adalah orang asli Merdeka. Andaikan Kades Wahon berasal dari Washington DC Amerika Serikat, mungkin bisa dimengerti. Proses hibah pun tidak ada musyawarah dengan warga. Pengusaha muda Lembata pun patut diduga beritikad buruk karena membayar dana Rp200 juta kepada kepala desa dan tergesa mendaftarkan tanah desa itu ke BPN Lembata.
Tindakan ini merupakan perbuatan melawan hukum yang merugikan keuangan negara. Masa seorang pengusaha muda sekaliber Ben Tenti tidak menelusuri asal usul tanah? Ataukah ini perilaku yang telah membudaya dalam urat nadi mayoritas kapitalis di atas tanah Lembata? Modal banyak uang tidak berarti mengabaikan proses hukum berbasis moral dan etika sosial.
Bagi orang Lamaholot itu, tanah adalah ibu dan saudari yang mesti dihargai, dijaga dan dirawat kerena menjadi titian untuk melanjutkan proses kehidupan. Tindakan Kades Wahon dan Pengusaha Ben Tenti telah memerkosa kesucian tanah dan melukai ruang hidup orang-orang kecil di tanah Merdeka.
Maka proses hukum secara benar dan adil adalah solusi terbaik untuk mengembalikan orang-orang ini ke area otak yang waras dan destinasi hati nurani yang normal. Selain itu, tentu saja ada hukuman alam lain yang dipercaya lebih keras risikonya bagi hidup hari ini dan esok.
Dukung Kejari Lembata
Publik Lembata pantas mendukung kinerja Kejaksaan Negeri Lembata mengusut tuntas karut marut dugaan korupsi mafia tanah di Desa Merdeka. Dukungan ini berbasis pada kinerja Kejari Lembata yang melakukan serangkaian penyelidikan hingga ke tahap penyidikan. Artinya, kita menunggu hitungan hari saja bagi Kejari Lembata untuk menetapkan tersangka dalam kasus dugaan mafia tanah ini.
Publik mendukung Kejari Lembata karena di hadapan hukum, siapa pun dia, orang kaya atau orang miskin, komprador mafia tanah atau pengusaha muda, sama kedudukannya di depan nurani hukum. Selama ini rakyat Lembata resah dengan serbuan gerakan para mafioso tanah yang dipelopori oleh elite penguasa dan pengusaha yang mencaplok tanah-tanah rakyat di lokasi yang strategis dan potensial.
Rakyat yang lugu di kampung-kampung akan terpesona dengan gerombolan orang kaya ini yang memamerkan kekayaannya di seantero Lembata tanpa risih secuil pun. Kasus dugaan mafia tanah Desa Merdeka bisa menjadi basis untuk membaca gerakan para kapitalis mafia tanah di Lembata yang memperdaya keluguan rakyat pemilik tanah dengan memanfaatkan jasa para aparatus pemerintah dari tingkat desa. Di atas tanah Merdeka ada nama kepala desa dan Camat Lebatukan yang diperiksa Kejari Lembata.
Dalam kasus dunia mafia, elite politik berkuasa biasanya berselingkuh dengan pengusaha. Apalagi dalam kasus Lembata, aparat birokrasi dari kabupaten hingga desa, patut diduga adalah orang-orang bermasalah yang diangkat dan diberi jabatan untuk “mengamankan” hasrat elite penguasa dan pengusaha.
Artinya, ekor aparatus birokrasi itu sudah dipegang tangan elite penguasa sehingga gampang dikendalikan ibarat kerbau dicocok hidung. Elite penguasa dan pengusaha beri perintah, habis perkara. Bahkan dalam kasus di Lembata, diduga sang pengusaha bisa dengan leluasa memerintah aparat birokrasi.
Kita patut menduga, dalam kasus dugaan mafia tanah di Merdeka, hal itu terbukti ketika Kejari Lembata memeriksa Kades Merdeka, Camat Lebatukan dan Pengusaha Ben Tenti. Kita bisa bertanya: apakah kepala desa dan Camat Lebatukan rela pasang badan sendiri tanpa dugaan intervensi dari “langit kekuasaan” Lembata? Di titik ini, rakyat Lembata yang haus tetesan embun kebenaran dan guyuran hujan keadilan hukum, sangat menaruh harapan kepercayaan kepada institusi Kejari Lembata.
Konsistensi sikap Kejari Lembata untuk menuntaskan kasus dugaan mafia tanah di Merdeka merupakan pintu gerbang untuk mengendus gerakan para mafia tanah di seantero Lembata yang tidak risih dan malu mengambil tanah-tanah rakyat untuk membangun kemewahannya di tengah hamparan hidup rakyat yang miskin dan melarat. Bahkan kita patut menduga bahwa rentang masa kekuasaan politik-birokrasi selama 10 tahun belakangan tidak lebih dari ruang kosong untuk semakin memperkaya diri dengan memanfaatkan privilese kuasa.
Rakyat Lembata semakin tahu bahwa pembangunan infrastruktur di Lembata selama masa kekuasaan ini lebih didominasi ke wilayah-wilayah yang patut diduga ada lokasi tanah milik penguasa dan pengusaha yang dicaplok dari rakyat dengan proses dan modus yang sama seperti kasus dugaan mafia tanah di Desa Merdeka yang tengah disidik Kejari Lembata.
Proses hukum kasus dugaan mafia tanah di Desa Merdeka akan memerdekakan pikiran rakyat Lembata dari keluguan dan hormat berlebihan pada penguasa dan pengusaha yang gemar menebar pesona dengan menabur “kebaikan” ke mana-mana terutama ke tempat keramat dan kudus. Biasanya, para mafioso pintar dan licik menarik simpati sampai ke tulang sumsum. Orang terbius kebaikan setinggi langit padahal yang ia beri hanya remah-remah yang jatuh dari meja kekuasaan yang licik seperti pilatus tapi brutal seperti herodes.
Kita berharap seluruh rakyat Lembata yang masih waras otaknya dan bening nuraninya mendukung kinerja Kejari Lembata menuntaskan kasus dugaan mafia tanah di Desa Merdeka. Dukungan itu mesti disertai sikap kritis untuk setia mengawal kasus ini agar tidak menelikung di tengah jalan hanya karena dugaan lembaran keramat yang selama ini terdengar nyaring di langit tapi susah dibuktikan di bumi Lembata. Ibarat bau tengik kentut yang tidak diketahui dari siapa angin busuk itu bersumber.
Dukungan itu menjadi tanda bahwa kekuasaan (politik-birokrasi-kapital (uang) tidak pernah kekal. Orang Latin bilang, “hodie mihi cras tibi”: Hari ini saya, esok engkau. Sepandai-pandai tupai melompat, suatu ketika akan jatuh juga. Apalagi “tupai” itu sering sesak napas.
Semoga kasus dugaan mafia tanah Merdeka menjadi “tanda-tanda zaman” menepinya sebuah perselingkuhan akut antara kekuasaan (politik-birokrasi) dan kapitalis yang berpesta pora di tengah himpitan penderitaan rakyat Lembata selama era 21 usia tahun otonomi ini. Rakyat Lembata akan menyanyikan kata-kata Kartini, “Habis Gelap Terbitlah Terang.” *