Kisah Pengusung Jenazah Covid-19, Berani Manantang Maut Meski Upah Tak Dibayar

Niatku ingin menyaksikan langsung para pengusung jenazah berjibaku mengurus jenazah dari rumah sakit hingga ke liang lahat. 

Editor: Rosalina Woso
POS-KUPANG.COM/AMAR OLA KEDA
Situasi petugas pengurus Jenazah Covid-19 saat menguburkan jenazah seorang pasien Covid-19 di TPU Damai Fatukoa 

Kisah Pengusung Jenazah Covid-19, Berani Manantang Maut Meski Upah Tak Dibayar

POS-KUPANG.COM|KUPANG-- Sore itu, cuaca agak mendung. Dari kejauhan terdengar sirene kematian mobil ambulans dan beberapa mobil tim gugus tugas covid-19 ngebut memasuki pintu depan TPU Damai Fatukoa, Kelurahan Fatukoa, Kota Kupang, Nusa Tenggara Timur (NTT). 

Aku pun menghidupkan sepeda motorku menyusul rombongan pengusung jenazah covid-19 yang lengkap memakai alat pelindung diri (APD). 

Niatku ingin menyaksikan langsung para pengusung jenazah berjibaku mengurus jenazah dari rumah sakit hingga ke liang lahat. 

Di lokasi itu, nampak sudah ada liang yang sudah digali. Di sampingnya telah siap eksavator yang baru selesai menggali tanah.

Pintu mobil ambulans pun dibuka. Sekitar 10 orang petugas yang mengenakan ADP lengkap turun dari mobil itu. Enam dari 10 petugas langsung mengangkat peti jenazah menuju liang lahat yang telah disiapkan.

Empat petugas yang sudah siap menyambut peti jenazah langsung menyambut peti ke liang lahat. Sebelum menutup liang lahat, petugas menanyakan pihak keluarga. 

"Apakah disini ada keluarga almahrum? Kalau ada coba mendekat kita berdoa," tanya seorang petugas. 

Seorang pria muda yang sedari tadi berdiri jauh dari liang, buru-buru maju dan mengaku ia adalah keluarga almarhum. 

"Agama apa?," tanya lagi si petugas. 

"Katolik," jawab pria muda itu. 

Segera, mesin eksavator yang siap menutup liang pun dimatikan sang juru mudi. Mereka pun sama-sama berdoa yang dipimpin pria muda itu. 

Ritual doa tak berlangsung lama. Sekitar lima menit, ucapan Amin pun terdengar. Seorang petugas memberi kode ke juru mudi eksavator untuk segera menutup tanah ke liang lahat. 

Sambil menunggu penutupan liang, 10 petugas pun melakukan penyemprotan cairan disinfektan ke semua petugas, hingga ke mobil ambulans yang terparkir. 

Dari kejauhan aku melihat pria muda itu menundukan kepala sambil mengusap matanya. Ia sedang berdoa sambil menangis.

Hari semakin gelap, aku pun memutuskan untuk pulang. Keberanian petugas pengusung jenazah membuat aku merasa bangga. Aku hanya berpikir, disaat ribuan nyawa manusia melayang akibat covid-19, apa yang terjadi jika tak ada di antara kita menolak menjadi relawan pengusung jenazah covid-19? Aku  yakin, mereka bekerja demi kemanusiaan. Demi kita semua. 

Kami Manusia, Butuh Hidup

Aksi kemanusiaan petugas pengusung membuat aku segera menelepon seorang petugas yang kebetulan aku kenal. Kepadaku, ia pun menceritakan suka duka selama ia menjalani aksi kemanusiaan itu. 

Ia menceritakan jika sejak bertugas sebagai pengusung jenazah, bukan saja keluarga, tetangga rumahpun menjauhinya. Merasa tersisihkan dari lingkungan keluarga itu pun ia rasakan hingga di tempat kerjanya. 

"Orang takut dekati kami, mungkin takut terpapar. Tapi saya tetap konsisten untuk kerja karena kami berdiri disini demi kemanusiaan," ungkapnya. 

Bekerja dengan bayang-bayang kematian di depan mata tak menyurutkan semangat pria ini. Ia pun mengaku, tiga rekannya ikut terpapar selama menjalankan misi kemanusiaan itu. Dua diantaranya kini sudah dinyatakan sembuh, sementara satunya hingga kini masih menjalani isolasi. 

Mirisnya, ia mengaku upah mereka sejak Januari hingga Maret 2021, belum dibayar. Selama bekerja, ia mengaku dibayar Rp 525.000 untuk satu jenazah covid-19 yang diusung.

"Kami ada 30 orang dan dibagi tiga tim. Satu tim 10 orang," ujarnya kepada wartawan, Selasa (16/3/2021). 

Ia merincikan, sejak Januari ia bersama 29 rekannya mengusung 25 jenazah, Februari 19 jenazah dan Maret ada 5 jenazah. Sayangnya, upah yang dijanjikan tak kunjung dibayar. 

Mereka pun sudah menanyakan ke dinas kesehatan soal nasib mereka. Namun, hanya janji dan janji yang diterima.

"Kami juga manusia, butuh makan minum. Kami sudah bertaruh nyawa. istri anak jadi taruhan. Kami di sini karena kemanusiaan, tapi kami juga butuh hidup," keluhnya. 

Ia berharap, pemerintah Kota Kupang tak menutup mata akan nasib mereka. 

Keterbatasan Anggaran

Terpisah, Sekertaris Dinas Kesehatan Kota Kupang, Rudi Priono yang juga Ketua Gugus Tugas Covid-19 Kota Kupang mengaku upah petugas jenazah belum dibayar.

Hal itu, menurut dia, karena dinkes masih mengusulkan ke pemkot (Tim Anggaran Pemerintah Daerah) lewat mekanisme pengajuan Rencana Kebutuhan Belanja (RKB).

"Kita masih usulkan, di dokumen anggaran dinkes tidak tertampung karena keterbatasan plafon anggaran," kata Rudi. 

Menurut dia, dari RKB yang diajukan oleh TAPD, nantinya akan direview, apakah lewat mekanisme Biaya Tidak Terduga (BTT) atau  refocusing/realokasi anggaran.

Baca juga: Kadis Kesehatan Akui Pemprov Belum Memiliki Regulasi Terkait Pemakaman Jenazah Covid-19

Baca juga: Pemakaman Pasien Covid-19 Diatur Masing-Masing Satgas Kabupaten Kota

Baca juga: Anton Ali Bebas, Jaksa Siap Lakukan Perlawanan

"Jadi, anggaran untuk upah petugas jenazah masih berproses, mudah-mudahan minggu ini atau paling lambat minggu depan sudah bisa direalisasikan," tutupnya. (Laporan Reporter POS-KUPANG.COM, Amar Ola Keda)
 

Sumber: Pos Kupang
Berita Terkait
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved