Opini Pos Kupang

Sumpah/Janji dan Profanasi

Mircea Eliade (1907-1986) adalah seorang ahli sejarah agama-agama yang dikagumi di abad ini

Editor: Kanis Jehola
zoom-inlihat foto Sumpah/Janji dan Profanasi
Dok POS-KUPANG.COM
Logo Pos Kupang

Hanya tidak semua sumpah/janji politik itu menyebut nama Allah atau melibatkan Allah di dalamnya. Brazil, Russia, dan Singapura, misalnya, tidak menyebut nama Allah di dalam sumpah jabatan presiden, sedangkan Amerika Serikat, Jerman, dan juga Indonesia menyertakan nama Allah.

Bagi bangsa Amerika sumpah itu sakral, bukan sekedar formalitas-seremonial politik. Tentu kita masih ingat peristiwa Presiden Barack Obama mengambil sumpah dua kali. Karena, pengambilan sumpah di depan Mahkamah Agung, John Roberts salah membaca kata-kata sumpah dan Obama yang mengikuti mengucapkan juga yang salah itu.

Menyadari bahwa sumpah/janji itu melibatkan Allah dalam tindakan sekuler seorang manusia, maka Barack Obama sendiri kemudian meminta pengambilan sumpah ulang pada hari berikutnya.

Obama sungguh sadar bahwa sumpah itu bukan sekedar seremonial politik melainkan sesuatu yang sakral untuk mengawali seluruh tindakan sekulernya sebagai presiden. Ia sungguh sadar bahwa Allah dapat menolongnya dalam memimpin bangsa dan negara besar Amerika Serikat.

Mengingat sakralitas dari sumpah/janji itu juga, baru-baru ini Joe Biden, presiden AS ke-46, yang menggantikan Donald Trump, ketika mengucapkan sumpah meletakkan tangannya di atas Alkitab pusaka miliki keluarganya yang sudah berumur satu abad.

Di atas Alkitab berkuran besar dan sudah mulai pudar itu, Joe Biden mengangkat sumpah dengan keyakinan penuh sebagai seorang beriman Katolik, yang ditutup dengan kata-kata, sesuai tradisi sumpah AS, "So help me, God" (Semoga Tuhan membantu saya).

Indonesia juga memiliki tradisi sumpah/janji yang menyebutkan nama Allah di dalamnya, mulai dari Presiden, DPR, pejabat tinggi negara, gubernur, bupati/walikota. Dan untuk kita di Provinsi Nusa Tenggara Timur sebentar lagi kita melangsungkan pelantikan 9 (sembilan) atau 8 (delapan) bupati terpilih, dalam Pemilukada 2020/2021 baru-baru ini, menjadi bupati.

Dasar pra-politis negara

Pertanyaan kita: Apakah politik itu sakral? Politik tidak sakral, politik itu sesuatu yang profan, akan tetapi ia tetap ada hubungan dengan yang sakral. Pertanyaan ini mengingat kita akan perdebatan akademis, pada tahun 2005, antara J Habermas, seorang filsuf besar kontemporer Jerman dengan Yoseph Ratzinger, seorang teolog besar Katolik zaman ini, yang tidak lama setelah perdebatan itu menjadi paus dengan nama Benediktus XVI.

Bagi Ratzinger, tidak cukup negara modern mendasarkan seluruh aktivitasnya pada hukum. Negara modern tidak cukup mendasarkan eksistensinya pada "dasar politis"saja, yakni hukum ("rule of law"). Negara modern membutuhkan juga sebuah "dasar pra-politis", yaitu moral yang diajarkan oleh agama-agama.

Sedangkan menurut Habermas, negara modern harus didirikan dan dijalankan di atas dasar politis saja, yaitu hukum. Habermas melihat adanya kesulitan dengan melibatkan agama di dalam negara modern dimana negara modern itu semuanya sudah majemuk agama.

Dengan adanya dasar pra-politis itu maka bahasa agama bisa masuk ke dalam ruang publik dan akan menyulitkan negara modern itu sendiri.

Satu hal yang dapat kita ambil dari perdebatan itu adalah bahwa tradisi sumpah-janji dalam memangku jabatan publik bukanlah melulu bernilai politis. Sumpah/janji adalah salah satu bentuk perwujudan dasar pra-politis negara. Agama hadir di sana bukan untuk terlibat dalam pembuatan keputusan politik melainkan untuk memberikan motivasi dan orientasi moral bagi politik,

Akan tetapi, kita harus selalu sadar bahwa pengakuan dasar pra-politis ini, mudah menjerumuskan kita untuk mencampurkadukan urusan negara dan agama, terutama negara dimana ada mayoritas mutlak suatu agama dan sisa-sisa kecil lainnya agama-agama lain, seperti Indonesia.

Tetapi syukurlah, bangsa kita sungguh menyadari itu, maka di dalam Peraturan Presiden dan Mendagri kata-kata pembuka dan penutup sumpah-janji itu dirumuskan menurut faham teologi agama masing-masing, hanya isi yang disumpahkan itu saja yang sama.

Halaman
123
Berita Terkait
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved