Breaking News

Opini Pos Kupang

Urgensi Kesehatan Mental di Tengah Pandemi Covid-19

Tak dapat dielak bahwa kita semua sedang mengalami dampak dari mewabahnya virus corona

Editor: Kanis Jehola
zoom-inlihat foto Urgensi Kesehatan Mental di Tengah Pandemi Covid-19
Dok POS-KUPANG.COM
Logo Pos Kupang

Kebijakan Pemerintah untuk melakukan pembatasan jarak/kontak fisik yang lazim dikenal sebagai Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB), pada nyatanya membuat banyak orang harus beraktivitas tak sebagaimana biasa.

Akibat `dirumahkan' banyak masyarakat mulai merasa penat. Dalam kategori orang yang lebih tua, kebijakan ini juga berdampak pada penurunan kognitif dan demensia, menjadikan mereka lebih mudah cemas, marah, stres, dan gelisah.

Di lain sisi, para tenaga kesehatan pun mulai bekerja lebih berat akibat jumlah pasien yang membludak dalam waktu bersamaan.

Menurut Centers for Disease Control and Prevention (CDC), pandemi ini berisiko memunculkan gangguan mental (psikis), terutama pada tenaga medis dan petugas kesehatan. Mereka sangat mungkin terserang depresi, kecemasan, dan gangguan stres pasca trauma.

Mereka yang berada di garda depan peperangan melawan wabah ini, ternyata dibayangi risiko gangguan mental akibat beban ganda merawat pasien dan stigma dari masyarakat.

Merambahnya stigma negatif masyarakat kepada para pasien yang suspek, atau yang berstatus probable, juga pasien terkonfirmasi, serta para tenaga medis, setidaknya menjurus ke perilaku viktimisasi. Suatu tindakan viktimisasi antara lain dapat dirumuskan sebagai suatu penimbulan penderitaan (mental, fisik, dan sosial) pada pihak tertentu (khusus pasien terkonfirmasi dan keluarganya) oleh pihak-pihak lain, demi kepentingan tertentu.

Yang dimaksud dengan pihak-pihak lain ialah siapa saja yang terlihat dalam eksistensi suatu viktimisasi (individu dan/atau kelompok dalam masyarakat).

Stigmatisasi dan viktimisasi, pada hakekatnya menambah beban dan tekanan psikologis yang tak terbendung. Keluarga pasien, dan tenaga kesehatan, bahkan dijauhi dan dianggap sebagai carrier atau `penyebar' virus. Akibatnya, segala aktivitas mereka terhambat, karena harus menjaga jarak, menghindari kontak langsung dengan orang lain, dan mengisolasi diri.

Tekanan psikis dari mereka yang distigma semakin berat ketika menerima luapan informasi dari media sosial yang simpang siur, bahkan yang hoaks, termasuk laporan soal kekurangan pasokan APD, kapasitas rumah sakit yang masih kurang atau standar pelayanan yang dinilai `buruk'. Akibat stigma keliru ini, banyak orang salah kaprah dalam mengantisipasi atau meminimalisir penyebaran Covid-19.

Di tengah problematika yang belum surut ini, tentu kita tidak boleh kehilangan harapan. Kita harus yakin bahwa dalam waktu tidak lama lagi, pandemi ini akan berlalu. Apalagi vaksin sudah tersedia, maka hemat saya, kita harus yakin bahwa pandemi ini pasti akan berlalu.

Sangat wajar kalau sebagai manusia kita memiliki rasa cemas, gelisah, khawatir, dan takut akan bahaya virus ini. Akan tetapi dengan pikiran yang positif, saya kira persoalan ini bisa cepat teratasi.

Kesehatan tubuh (fisik) harus diimbangi dengan kesehatan mental (psikis) yang mumpuni. Berdasarkan hal tersebut, Himpunan Psikologi Indonesia (HIMPSI) bekerja sama dengan Perhimpunan Dokter Spesialis Jiwa Indonesia (PDSJI) menyarankan beberapa langkah preventif untuk meminimalisir kecemasan yang mempengaruhi kondisi mental di saat wabah Covid-19 yang saban hari semakin masif, diantaranya:

Pertama, kurangi paparan berita tentang Covid-19, sebisa mungkin akses sumber berita terpercaya, dan memperbanyak akses ke berita positif. Kedua, di media sosial, unggahlah berbagai hal positif dan menyenangkan serta membawa harapan.

Carilah sumber informasi yang menguatkan, seperti cerita dari pasien yang sembuh atau ketangguhan dari para tenaga medis dalam melaksanakan tugas.

Ketiga, Berusalahan untuk terus memberikan dukungan dan bantuan pada semua orang, tetap menjaga hubungan sosial yang baik dengan orang lain (dengan tetap melakukan physical distancing), dan jika diperlukan, konsultasikanlah semua keluh-kesah yang dihadapi pada orang yang dipercaya atau kepada para psikolog dan psikiater atau profesi lain yang sesuai.

Halaman
123
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

Berita Populer

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved